Minggu, 16 Februari 2014

Sepenggal Kisah dari Adisana



Sepenggal Kisah dari Adisana

Apa yang terlintas di pikiran anda, ketika mendengar kata “Adisana”. Apakah yang terlintas di pikiran anda adalah sebuah desa di wilayah kecamatan Bumiayu yang identik dengan kekerasan. Apakah ada persepsi lain yang lebih baik tentang Adisana, misal desa Adisana identik dengan dunia pertanian. Atau esa Adisana identik dengan rel kereta api yang disitu terdapat Jembatan Sakalimalas. Memang pendapat seseorang mengenai Desa Adisana dapat berbeda-beda, semua itu dapat muncul dari pengalaman individu yang pernah mempunyai memori terhadap desa tersebut. Semua persepsi di atas memang di miliki oleh desa yang terletak di sebelah timur Bumiayu tersebut. Desa Adisana yang berbatasan langsung dengan desa Dukuhturi  dan Penggarutan di sebelah Barat dan dipisahkan oleh Sungai Keruh. Di sebelah Selatan berbatasan dengan desa Langkap, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Cilibur. Di sebelah Utara berbatasan dengan desa Benda dan Sirampog.
Tetapi dari kebanyakan orang mengenal desa Adisana, adalah karena identik dengan keributan yang dilakukan oleh para pemudanya. Adisana tidak melulu identik dengan keributan, di balik semua itu terdapat jasa yang patut dikenang oleh masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Mungkin ada yang bertanya-tanya, kejadian seperti apa yang membuat desa Adisana berjasa. Di desa Adisana terdapat sebuah jembatan kereta api, yang menghubungkan antara desa tersebut dengan dukuh Talok Dukuhturi. Nah semua itu bermula dan dimulai sejarahnya di Jembatan Sakalimalas yang legendaris di kalangan masyarakat Bumiayu. Jembatan yang dibangun mulai kira-kira tahun 1915 era kolonial Belanda, sebagai jalur kereta di daerah wilayah tengah. Secara historis pemerintah kolonial membuat jalur kereta api, untuk kepentingan industri gula.
Di mana ini berkaitan dengan sejarah Kabupaten Brebes, pembuatan jalur kereta api awalnya sebagai penunjang indusrti gula di wilayah brebes. Kalau sepanjang pantai (utara) Kabupaten Brebes terlintas oleh jalur jalan kereta api, itu dahulu milik maskape (perkumpulan) Belanda : Semarang-Cheribon-Stoomstram Maatschaapij disingkat : S.C.S. Dan pembuatan jalur kereta di pesisir utara, murni untuk pendukung trasnportasi pengangkutan tebu ke pabrik. Adapun jalur jalan kereta api yang melintasi diagonal (sudut-menyudut) kawasan Kabupaten Brebes, jurusan Purwokerto-Cirebon, itu dahulu milik pemerintah Hindia Belanda, di sebut : Staats- Spoor, disingkat S.S. Mungkin dari kata Spoor inilah orang Jawa menyebut kereta api dengan kata Sepur. Jadi dari sini secara historis sudah jelas, jalur rel kereta api di bangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan yang berbeda.
 Rel kereta api jalur tengah tentunya melewati wilayah Bumiayu, yang secara geografis adalah wilayah pegunungan dan lembah yang banyak sungai. Sehingga bisa dipastikan pembuatan rel harus membelah bukit dan membuat jembatan-jembatan. Hal ini dapat dilihat di jalur kereta di wilayah Bumiayu, terdapat jembatan besar kereta api yaitu jembatan Kali Pucung di Kalijurang dan jembatan Sakalimalas di Adisana. Dalam penulisan Artikel ini akan difokuskan pada salah satu peristiwa yang patut dikenang. Yaitu suatu peristiwa yang terjadi di jembatan Sakalimalas, dan melibatkan masyarakat Adisana yang heroik.
Jembatan Sakalimalas yang secara etimologis berasal dari bahasa Jawa. Yaitu dari kata Saka yang artinya tiang, pilar, penyangga dan limalas yang menunjuk pada jumlah angka yaitu lima belas. Jadi jembatan Sakalimalas sebagaimana kita tahu memang mempunyai tiang penyangga berjumlah 15(limabelas). Maka dari itu setelah jadi dan berdiri kokoh, jembatan tersebut dinamakan Sakalimalas. Jembatan tersebut membentang di tengah Kali Keruh, dan menghubungkan antara dukuh Talok dan desa Adisana. Karena Kali Keruh merupakan salah satu sungai tebesar di wilayah Bumiayu, maka dari itu jembatan Sakalimalas mempunyai tiang yang cukup banyak supaya kuat dan kokoh. Kali Keruh yang besar dan berarus deras, dapat menjadi ancaman bagi jembatan Sakalimalas. Dari cerita para orang tua yang kadang dibumbui mistis, Kali keruh ketika banjir memang dapat menghanyutkan apa saja. Hal ini memang terbukti dari keganasan Kali Keruh, dapat merobohkan satu tiang dari jembatan Sakalimalas.
Peristiwa robohnya salah satu tiang dari Sakalimalas, terjadi pada tanggal 8 Maret 1972. Tanggal kejadian tersebut dapat ditelusuri pada prasasti yang dapat dilihat di tembok SD Adisana I(SD Jaya). Waktu itu terjadi hujan yang sangat lebat dengan intensitas yang cukup lama, sehingga mengakibatkan Kali Keruh banjir. Hujan pada waktu siang sampai sore mengakibatkan Kali Keruh Banjir besar. Akibat arus yang cukup deras dan banjir yang cukup lama, mengakibatkan salah satu saka jembatan Sakalimalas roboh. Menurut cerita dari nara sumber yaitu bapak Agus Taufik, robohnya jembatan tersebut terjadi sekitar pukul tiga sore. Kebiasaan masyarakat desa Adisana, ketika Kali Keruh banjir besar selalu menengok atau menyaksikan banjir tersebut. Dari dulu Kali Keruh memang terkenal akan banjir besarnya, yang sering menghancurkan dan membuat desa-desa di pingiran kalikeruh harus waspada.
Akibat dari banjir tersebut maka salah satu tiang Sakalimalas roboh, dan tak lama kemudian diketahui oleh masyarakat Adisana. Masih menurut Bapak Agus Taufik, setelah di ketahui tiang itu roboh, beberapa perwakilan dari warga Adisana melaporkan ke pihak terkait. Pelaporan kejadian tersebut ke pihak kepolisian dan Stasiun Bumiayu. Tak lama setelah kejadian robohnya tiang tersebut, warga Adisana langsung menyaksikan dan menuju ke TKP, ingin melihat langsung bagaimana kondisi dari jembatan Sakalimalas. Menurut cerita narasumber tiang itu ambruk dan terpotong menjadi tiga bagian. Warga Adisana memenuhi tempat kejadian sekitar jembatan. Waktu itu gerimis masih turun, rel kereta api dipenuhi oleh warga yang ingin menyaksikan.
Mengetahui jembatan Sakalimalas terpotong, warga Adisana jiwa heroiknya muncul dan bersiaga menghentikan jika ada kereta yang akan melintas. Warga Adisana memenuhi sepanjang rel kereta yang melewati pinggir desa tersebut. Rel kereta dipenuh warga dari mulai sebalah jembatan sampai ujung timur. Tak berapa lama dari arah timur muncul kereta api bisnis, dan warga mulai beraksi mencoba memberikan kode peringatan dan teriakan-teriakan supaya kereta tersebut berhenti. Menurut cerita dari narasumber, pada mulanya kereta masih terus berjalan namun sudah melambat. Masinis dari kereta tersebut masih belum percaya dengan adanya kejadian tersebut. Masinis kereta baru percaya ketika ada warga yang secara sigap naik ke kereta yang berjalan lambat, dan memberi informasi langsung kepada masinis tersebut.
Setelah itu kereta tersebut berhenti di desa Adisana sebalah timur sebelum jembatan, tepatnya di sekitar Dukuh Mingklik Adisana. Masinis kereta tersebut kemudian turun dan meninjau langsung jembatan Sakalimalas yang roboh. Masih menurut cerita dari narasumber, ternyata gerbong kereta tersebut mengangkut para ABRI. Jadi kereta yang melintas tersebut membawa tentara atau TNI, bukan penumpang biasa. Setelah berhenti di Adisana, kereta yang membawa rombongan TNI tersebut mundur sampai ke stasiun Kretek Paguyangan. Melihat situasi jembatan yang tidak bisa dilalui, maka rombongan tersebut dilimpahkan menggunakan bis. Dapat dibayangkan jika kereta tersebut lewat maka akan terjun bebas ke Kali Keruh, berapa banyak nyawa yang akan melayang. Tidak diketahui mengapa kereta tersebut tetap lewat, padahal warga sudah melaporkan ke pihak stasiun. Mungkin karena jeda peristiwa ambruknya tiang dan lewatnya kereta tersebut cukup singkat. Sehingga tidak ada persiapan dari pihak stasiun, atau karena mungkin peralatan komunikasi perkeretapian terganggu akibat Sakalimalas ambruk.
Akibat jembatan Sakalimalas yang terbelah, maka aktivitas perjalanan kereta api di jalur tengah lumpuh total. Sebagiamana kita tahu, kejadian atau bencana yang besar mengundang rasa penasaran dari seseorang. Tak terkecuali robohnya tiang Sakalimalas mengundang rasa penasaran warga Bumiayu dan sekitarnya untuk menyaksikan langsung. Setelah tersiar kabar jembatan Sakalimalas ambruk, maka masyarakat Bumiayu dan sekitarnya antusias menyaksikan dan mengabadikannya dengan foto. Pada tahun tersebut hanya beberapa yang mempunyai kamera foto, maka dari itu untuk arsip visual dari kejadian tersebut sangat sulit dicari. Kemungkinan ada di kabupaten atau di arsip pusat perkeretaapian. Tetapi menurut cerita dari narasumer, banyak warga di Kecamatan Bumiayu bahkan dari luar Bumiayu seperti Ajibarang, menyaksikan langsung runtuhnya tiang Sakalimalas. Memang secara visual Sakalimalas mempunyai bentuk yang monumental, sehingga banyak menyita perhatian. 
Peristiwa ambruknya jembatan tersebut segera ditindaklanjuti oleh pemerintah, dalam hal ini adalah oleh Kementrian Perhubungan dan PT. Kereta Api Indonesia. Perbaikan segera dilaksanakan guna menunjang kelancaran transportasi darat. Perbaikan salah satu tiang tersebut, memakan waktu cukup lama sekitar tiga bulanan. Jadi selama proses perbaikan tersebut, jalur tersebut lumpuh total. Perbaikan salah satu tiang tersebut, tidak seperti bentuk yang semula tetapi diganti dengan bahan baku rangka baja. Ini dapat dilihat pada struktur jembatan Sakalimalas sekarang, dan bahkan sekarang pemandangan jembatan legendaris tersebut sudah berbeda. Sudah terdapat satu jembatan di sebelahnya, karena penambahan satu jalur menjadi dua jalur rel.
Setelah jembatan Sakalimalas selesai di perbaiki dan diganti dengan tiang rangka baja. Kemudian jembatan tersebut diresmikan oleh menteri perhubungan, yang pada waktu itu menjabat adalah Frans Seda. Peresmian jembatan Sakalimalas bersamaan dengan diresmikannya SD Adisana I(SD Jaya). Peresmian tersebut pada tanggal 16 Juni 1972, dan upacara peresmian tersebut berlangsung di halaman SD Adisana I. Menurut cerita dari Bapak Agus Taufik, peresmian tersebut berlangsung meriah dan ramai, terdapat layos dan panggung untuk acara seremonial. Jadi sebagai wujud dedikasi dan terimakasih kepada warga Adisana juga rakyat Bumiayu, maka pemerintah menganugerhkan Sekolah Dasar (SD). Sekolah Dasar tersebut merupakan sekolah pertama di kelurahan Adisana. Dan untuk ukuran tahun itu, sekolah tersebut merupakan Sekolas Dasar, yang secara infrastruktur sudah bagus dan baik di wilayah kecamatan Bumiayu.          
Warga Adisana dalam peresmian itu, dijamu dengan makan-makanan yang serba enak dan mewah (untuk ukuran pada tahun itu). Pada waktu peresmian tersebut PT. K.A.I, sengaja membawa makanan dengan kereta khusus untuk masyarakat Adisana. Dan kereta yang membawa makanan tersebut, berhenti tepat di samping SD Adisana I, bukan di Stasiun Bumiayu. Warga Adisana menikmati jamuan makan yang untuk ukuran tahun itu tergolong mewah dan istimewa. Warga dapat menikmati makanan dan minuman yang belum pernah dirasakannya. Makanan dan minuman kaleng yang istimewa dapat dinikmati gratis oleh warga Adisana. Seperti misalnya minuman berkarbonasi merk Sprite, minuman tersebut baru dirasakan warga Adisana pada waktu peresmian tersebut. Di mana pada waktu itu ekonomi bangsa dan penyebaran kemakmuran belum merata, sehingga untuk dapat menikmati makanan atau barang-barang yang mewah cukup sulit.
Itulah peristiwa yang heroik dari masyarakat Adisana, tentang ambruknya salah satu tiang jembatan Sakalimalas. Dengan kesadaran tinggi dan semangat kebersamaan, warga Adisana berusaha mengentikan laju kereta api yang membawa rombongan tentara. Dan sebagai bentuk dedikasi, pemerintah menganugerahkan Sekolah Dasar (SD), selain itu juga di buat patung sebagai peringatan akan penyelamatan kereta api tersebut. Patung tersebut sebagai bentuk simbolis penyelamatan yang dilakukan warga. Sosok patung tersebut merupakan pak tani yang telanjang dada dengan membawa cangkul di pundaknya. Dan tangan kanan Pak Tani diangkat ke atas sembari memegang baju dan melambai-lambaikannya, sebagai isyarat untuk menghentikan laju kereta api. Patung tersebut dulu letaknya di samping SD Adisana I dan menghadap ke timur. Tetapi patung Pak Tani tersebut sekarang sudah tidak ada, roboh dan termakan usia. Dari sudut pandang semiotika, patung tersebut menandakan masyarakat Adisana yang mayoritas dulu sebagai petani. Sedangkan gestur dari patung pak tani tersebut, menandakan sikap yang berusaha memberi sinyal bahaya kepada kereta api yang melaju.
Cerita tentang robohnya salah satu tiang Sakalimalas, masih dapat didengar dari para orang tua yang tinggal di lingkungan desa Adisana. Penulisan artikel ini sebagai bentuk kepedulian Komunitas Pecinta Sejarah Bumiayu (Kompas Boemi). Yang kedepannya berusaha menacatat peristiwa-peristiwa dan tempat bersejarah di lingkungan kecamatan  Bumiayu. Penulisan ini sebagai bentuk stimulus untuk dapat memicu, kepedulian kawan-kawan dari komunitas untuk dapat melestarikan sejarah di Bumiayu dan sekitarnya. Melalui fotografi, artikel, video atau bentuk lainnya cerita sejarah atau tempat bersejarah dapat dilestarikan. Dan untuk melengkapi penulisan artikel ini, maka dibuatkan ilustrasi sebagai pelengkap visual tentang kejadian robohnya tiang jemabatan Sakalimalas. Ilustrasi ini dibuat karena keterbatasan sumber visual, semoga saja dapat menggambarkan peristiwa yang sesungguhnya. Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang menarik kepada teman-teman Kompas Boemi.

Referensi :
·         Sejarah Kabupaten Brebes, Pemkab Brebes, 2011.
·         Wikipedia
·         Narasumber Bpk. Agus Taufik.





Minggu, 19 Januari 2014

Rumah-Rumah Tradisional Makam Dawa di Tengah Modernisasi.

Rumah-Rumah Tradisional Makam Dawa di Tengah Modernisasi.

Manusia dalam sejarahnya selalu berolah pikir untuk dapat bertahan hidup. Peradaban demi peradaban lahir dari pemikiran dan kreativitas manusia itu sendiri, yang bertujuan untuk bertahan hidup dan menunjukan eksistensi komunalnya. Manusia bertahan hidup dari mulai mencari makan, berburu, bercocok tanam, membuat pakaian hingga membangun tempat tinggal. Rumah atau tempat tinggal pada  awalnya, sebagai tempat perlindungan diri dari cuaca, serangan binatang buas, atau bahkan tempat berlindung dari serangan musuh. Dan fungsi asli rumah memang masih tetap sampai sekarang, tetapi dibalik itu terdapat fungsi lain yang mempunyai nilai simbolis.
Dalam konteks ini manusia memang mempunyai sifat dasar untuk mencipta atau membuat karya. Sehingga manusia juga di juluki sebagai “Homo Faber”, yaitu kecenderungan untuk membuat karya untuk kepentingan kehidupan. hasil karya yang diciptakan manusia tentunya tidak dibuat begitu saja, segala sesuatu yang buat oleh manusia tersebut mempunyai fungsi, kegunaan, dan nilai. Nilai ini dapat bermacam-macam, misalnya sejauh dapat mencerminkan arti kegunaan, keindahan, sosial, ekonomis dan lain sebagainya. Dengan demikian berkarya berarti menciptakan nilai : dalam setiap karya terwujudlah suatu idea dari manusia. Dalam konteks penulisan artikel ini adalah hasil ciptaan manusia yaitu berupa rumah sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai media sosial dengan lingkunnya.
Dalam penulisan ini akan dibahas tentang rumah-rumah tradisional di Dukuh Makam Dawa, Desa Galuh Timur, Tonjong. Di mana di kampung Makam Dawa, masih terdapat rumah-rumah tradisional, yang terbuat dari Gribig atau Gedeg (ayaman bambu) dan kayu sebagai bahan utamanya. Tulisan ini kiranya menjadi penting, sebagaimana kita tahu perkembangan budaya dan teknologi begitu cepat di era milenium. Tetapi di sisi lain masih terdapat artefak-aretafak sejarah di lingkungan Kecamatan Bumiayu, salah satunya adalah bangunan-banguan rumah tradisional yang masih tetap bertahan sampai sekarang. Kita tidak tahu dalam beberapa tahun kedepan bagaimana nasib rumah tradisional tersebut. Kenapa rumah-rumah tersebut masih tetap bertahan sampai sekarang, banyak faktor yang memengaruhinya dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Di era yang serba modern dan digital seperti ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, kampung-kampung yang masih terdapat rumah tradisional dapat dengan cepat hilang. Modernisasi memang sudah lama sekali,  muncul bersamaan dengan revolusi industri pada abad ke-18 di Eropa. Modernisasi dan digitalisasi tentunya mengubah mindset individu dan menimbulkan efek di lingkungannhya. Sehingga bagaimana caranya supaya manusia itu tetap bisa bertahan di jaman yang serba cepat ini. Begitu juga dengan kemajuan di bidang arsitektur, perumahan-perumahan elit telah merambah kota-kota kecil. Perumahan dengan beragam model bangunan yang modern, vintage, minimalis, sampai kontemporer mengisi perkotaan. Di lingkungan kota Bumiayu sendiri sudah banyak perumahan-perumahan yang menawarkan berbagai fasilitasnya.
Dengan gempuran modernisasi di segala bidang tersebut, disisi lain masih terdapat sisa masa lalu yang  masih bertahan. Salah satunya adalah rumah-Rumah tradisional di Makam Dawa, Galuh Timur sampai sekarang masih ada dengan kondisi yang masih asli dan ada beberapa rumah tradisional yang sudah di poles. Dukuh Makam Dawa yang terletak di Desa Galuh Timur, merupakan salah satu Dukuh yang paling ujung dari Desa tersebut. Untuk dapat sampai ke Makam Dawa, dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor juga mobil. Jarak dari Bumiayu ke Makam Dawa sekitar 12 km, kondisi jalan yang berkelok-kelok, sedikit menanjak juga kondisi jalan dengan aspal yang sudah rusak membuat perjalanan ke sana menjadi sedikit terhambat. Memang Dukuh tersebut dapat dikatakan jauh dari keramaian kota, masih terdapat ladang dan perkebunan milik rakyat juga di kelilingi pegunungan yang masih rimbun. Kondisi masyarakatnya cukup hangat, ramah, semangat kebersamaan dan solidaritas masih tetap terjaga, ini terbukti cepat akrabnya dengan tim Kompas Boemi (Komunitas Pecinta Sejarah Bumiayu) dengan penduduk setempat.
Mata pencaharian penduduk di Makam Dawa kebanyakan bertani, buruh, mungkin ada beberapa yang merantau ke kota-kota besar. Kondisi di kampung tersebut dapat dikatakan masih banyak tedapat ladang-ladang, sehingga penduduk setempat bekerja mengolah ladang tersebut. Dari segi pendidikan di kampung tersebut terdapat Madrasah dan Sekolah Dasar. Sehingga anak-anak dapat bersekolah formal di pagi hari dan memupuk ilmu agama pada sore hari di Madrasah. Lingkungan di kampung tersebut masih terdapat ladang atau pekarangan yang rimbun dipenuhi semak, rumah-rumah berada di tengah-tengah dan menyatu dalam satu komplek. Jalan-jalan yang menghubungkan blok kampung cukup sempit tetapi sudah di aspal dan juga di paving blok.

Rumah-rumah yang becorak tradisional masih cukup banyak, dan letaknya di pinggir jalan utama kampung tersebut. Namun ada beberapa yang letaknya agak masuk, dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Rumah-rumah tradisional tersebut berderet dengan rumah-rumah yang sudah modern (terbuat dari batu bata dan semen). Di depan atau belakang rumah tradisional masih terdapat ranggon (kandang kambing), dan juga kebiasaan masyarakat jawa selalu memelihara ayam. Sehingga di rumah-rumah tersebut terdapat kandang ayam atau dalam bahasa Bumiayu adalah ranggap. Tetapi ada beberapa rumah yang tiang-tiang bagian depan sudah menggunakan cor semen, sebagai pengganti tiang kayu. Di depan rumah-rumah tradisioanal tersebut, terdapat kursi panjang atau rusbang, sehingga terasa jaman dulunya. Kursi panjang tersebut sebagai tempat bercengkrama keluarga, melepas lelah, dan santai ketika sore hari. Sebagai simbol modernisasi yang terlihat di rumah tradisional di Makam Dawa, adalah terdapat antena TV atau bahkan parabola terpasang di atap rumah. Hal ini menandakan modernisasi telah merambah ke perkampungan yang terisolir, dan jauh dari perkotaan ternyata sudah tersentuh oleh modernisasi bahkan digitalisasi.
 Secara historis keberadaan rumah tradisional, memang termasuk rumah yang mencerminkan kondisi rakyat kecil yang secara ekonomi masih di bawah. Hal ini mungkin dikarenakan oleh berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi bangsa dan juga iklim politik di negeri ini. Pembangunan yang tidak merata sehingga memunculkan kesenjangan sosial yang cukup jauh, antara kelas arsitokrat (elite) dengan kaum rakyat kecil (wong cilik). Dengan kondisi pembangunan yang tidak merata tersebut, mengakibatkan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.

Memang rumah-rumah tradisional dapat dikatakan sebagai saksi sejarah peradaban perjalanan bangsa Indonesia. Rumah tradisional sebagai cermin masyarakat In Lander, di mana rakyat Indonesia memang dulunya hidup di bawah tekanan penajajah Belanda. Sejak jaman penjajahan perbedaan kelas dalam masyarakat Jawa sudah ada sejak dulu. Sehingga dalam masyarakat Jawa secara historis di kenal golongan sosial dalam masyarakatnya.  Orang Jawa membedakan dua golongan sosial : 1. Wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota dan 2. Kaum Priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Imbas dari perbedaan kelas di masyarakat Jawa, mengakibatkan perbedaan yang sangat mencolok dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bahkan tempat tinggal.
Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah gedeg atau kayu yang terdiri atas beberapa kamar, dengan lumbung padi kecil dan kandang, di mana barangkali terdapat seekor kerbau beberapa ekor kambing dan ayam. Itulah mengapa kaum petani membuat rumah yang terbuat dari gedeg atau gribig, itu tak lain adalah sebagai pembeda antara wong cilik dan kaum priyayi. Nah rumah-rumah di Makam Dawa sebagai bukti bahwa perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa sampai saat ini masih ada. Dan memang identiknya dalam masyarakat yang hidup di kampung-kampung membuat rumah dari bambu dan kayu, karena alasan ekonomi dan juga kelas sosial yang sudah terbentuk sejak dulu.
Maka dari itu rumah pada dasarnya tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sudah masuk ke ranah semiotika sebagai penanda dan simbolisasi. Manusia membangun tempat tinggal untuk kenyamanan dan melindungi dari cuaca ekstrim, itulah makna denotatif yang muncul dalam konsep sebuah rumah. Namun kisah semiotik pada bangunan tidak berhenti sampai di situ. Kisah tersebut mengungkapkan bahwa bangunan merupakan tanda identitas, status, kekuasaan dan seterusnya. Jadi ketika suatu kelompok masyarakat membuat banguan, secara sadar atau tidak sadar mereka telah menciptakan tanda kultural sebagai ciri. Maka dari itu dalam konteks ini rumah-rumah tradisional secara semiotik, menandakan apa yang dimaksud dengan penanda konotatif. Jadi terdapat makna simbolis dan kurtural dalam arsitektur rumah tersebut. Walaupun kita kadang tidak menyadarinya, tetapi dalam ilmu pertandaan memang terdapat makna dalam kata atau benda.
Rumah tradisional di Makam Dawa terbuat dari gedeg atau gribig, secara semiotik gedeg tersebut menandakan bahwa rakyat kecil identik dengan sifat yang lemah dan ketidakberdayaan. Tetapi walaupun rakyat kecil lemah dan tak berdaya, secara paradoks gedeg tersebut menandakan solidaritas yang masih tetap terjaga dilingkungan masyarakat kampung. Penanda solidaritas tersebut dapat dilihat, pada corak anyaman bambu dari gribig atau gedeg yang saling kait-mengait. Ketika ketidakmampuan dan sifat lemah tersebut bersatu, maka yang terjadi adalah kekuatan yang dapat mengalahkan keangkuhan.Ukuran rumah tradisional tidaklah tinggi atau besar, tetapi mempunyai ukuran yang kecil juga sedang. Ukuran tersebut jelas menandakan kapasitas ruang gerak dari rakyat kecil, yang secara sosial politik terkadang dibatasi oleh kekuaasaan yang angkuh. Ukuran rumah yang rendah tersebut juga menandakan, bahwa rakyat kecil selalu tunduk dan taat pada norma yang berlaku di masyarakat dan tidak sombong atau angkuh. Tentunya tanda semiotik tersebut akan kontras, ketika kita membicarakan vila dan gedung-gedung pencakar langit di kota besar. Istana, vila, dan pencakar langit didirikan untuk menampilkan kekuasaan dan kekayaan.
Rumah tradisional tersebut sebagai ciri kebudayaan Jawa, yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Di mana budaya Jawa kaya akan simbolisasi dalam setiap unsur kehidupan. Budaya Jawa menyimpan nilai-nilai yang tinggi akan kebudayaan adiluhung nenek moyang kita. Filsafat Jawa selalu mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan alamnya, dan kearifan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu rumah-rumah tradisional di Makam Dawa, menyimpan kearifan lokal dan aset sejarah yang mesti kita lestarikan. Walaupun tidak di pungkiri modernisasi akan menerjang, dan masuk ke sendi-sendi perkampungan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan rumah-rumah tersebut akan hilang. Dan semua itu akan menjadi sebuah cerita sejarah bagi anak cucu kita di kemudian hari. Maka dari itu mulai dari sekarang kita hendaknya sadar akan pentingnya nilai sejarah, terlebih sejarah bangsa kita kaya akan nilai-nilai budaya dan tradisi. Sebagimana yang Bung Karno katakan “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang”.[]

Ditulis oleh:
Alik Setiawan S.Sn.
Bumiayu, 19 Januari 2014
Referensi :
·         Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Marcel Danesi, 2011, Jalasutra, Yogyakarta.
·         Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Frans Magnis Suseno, 1984, Gramedia, Jakarta.
·         Sekitar Manusia, Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, Soerjanto Poespowardjo dan K. Bertens, 1978, Gramedia, Jakarta.








Selasa, 24 Desember 2013

IPBS Ikut Berpartisipasi dalam Acara SASMI FAIR 2013 “REKREASI SENI”, SASMI (Sanggar Seni Mahasiswa Ekonomi), Universitas Jendral Soedirman (UNSOED).



IPBS Ikut Berpartisipasi dalam Acara SASMI FAIR 2013 
“REKREASI SENI”,
SASMI (Sanggar Seni Mahasiswa Ekonomi),
Universitas Jendral Soedirman (UNSOED).

Di tahun 2013 Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS) Bumiayu, sudah banyak melaksanakan dan mengikuti kegiatan seni, diantaranya adalah Pameran “Seni Untuk Rakyat”, Juri Lomba Menggambar tingkat SD se-Brebes Selatan, dan Festival Budaya Bojongkoneng di Banjarnegara. Dan kali ini IPBS mendapat undangan istimewa dari Sanggar Seni Mahasiswa Ekonomi (SASMI), Universitas Jendral Soedirman (UNSOED), Purwokerto. Undangan dari Sasmi tersebut sebagai bukti bahwa komunitas seni IPBS, sudah mulai dipertimbangkan di luar wilayah Bumiayu. Komunitas IPBS yang sudah berdiri sejak tahun 2005, mengalami progres yang cukup signifikan dalam perjalanan estetiknya. Kegiatan-kegiatan sudah banyak dilaksanakan sebagai bukti eksistensi dan tanggung jawab komunitas terhadap seni budaya dilingkungan kota Bumiayu.

Dalam acara Sasmi Fair  2013 “REKREASI SENI” yang berlangsung dari tanggal 20-21 Desember 2013 dan bertempat di Lapangan Parkir Utara UPT Perpustakaan UNSOED, IPBS ikut serta dalam perhelatan event tahunan yang diadakan oleh Sanggar Seni Mahasiswa Ekonomi Unsoed. Sasmi Fair kali ini menampilkan UKM Seni, Industri Kreatif, dan Seniman se-Jawa. UKM seni yang ikut berpastisipasi antara lain dari ISI Jogja, UGM Jogja, UPI Bandung, UNES Semarang, UMP Purwokerto, dan komunitas seni yang ikut antara lain Watu Apung, Thre Brother, My Art, dan tentunya IPBS Bumiayu. IPBS Bumiayu mewakili komunitas seni yang ada di Bumiayu, dan tentunya membawa nama Seniman Bumiayu semakin di kenal di wilayah Banyumas dan sekitarnya.

Kenapa IPBS layak bersanding dengan UKM seni di Jawa? hal ini karena IPBS secara kekaryaan sudah dapat dipertanggungjawabkan, dan tentunya memiliki cirikhas yang berbeda dengan UKM atau komunitas yang lain. Dalam acara Sasmi Fair “Rekreasi Seni” IPBS menampilkan karya seni berupa Lukisan Kanvas, Lukisan Kaca dan Bokumi (Boneka Kayu Temi). Karya seni tersebutlah yang membedakan dengan komunitas lain, sehingga IPBS layak untuk tampil dan ikut serta dalam event tersebut. Di mana konsep Sasmi Fair Sendiri adalah menampilkan karya seni dan produk industri kreatif yang memiliki cirikhas.

Karya seni dan produk kerajinan yang ditampilkan IPBS cukup memberikan warna yang berbeda dalam kegiatan tersebut. Hal itu terbukti dengan ramainya stand IPBS yang dikunjungi oleh para pengunjung, serta yang membuat karya seni dari IPBS yang berbeda adalah dengan menampilkan lukisan kaca dan bokumi. Dalam kegiatan tersebut pengunjung dapat berinteraksi langsung mengenai cara pembuatan karya seni yang ada di stand IPBS. Di stand IPBS pengunjung dapat belajar membuat Bokumi, dan tentunya dapat bertanya tentang pembuatan Lukis Kaca. Selama kegiatan berlangsung di stand IPBS banyak pengunjung yang tertarik membuat Bokumi, maka dari itu stand IPBS dapat dikatakan terdapat interaksi dan edukasi. Dengan ikut berpartisipasinya IPBS di Sasmi Fair, diharapkan dapat memberikan pemikiran positif dan edukasi melalui karya seni yang dipamerkan. Berikut ini dokumentasi IPBS di acara Sasmi Fair 2013 “Rekreasi Seni” :
Poster Sasmi Fair "Rekreasi Seni" 2013
Stand IPBS di Sasmi Fair "Rekreasi Seni" 2013.
Suasana Sasmi Fair "Rekreasi Seni" 2013.
Pengunjung di stand IPBS Bumiayu.
Pengunjung Cantik di stand IPBS.
Profil dari Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS) Bumiayu.

Lukisan Kaca karya dari Kharunhisa Seniman IPBS.

Punggawa IPBS featuring Sarwono Aji dari Gesebu UMP.
Punggawa IPBS
Punggawa IPBS 2.



Mas Pace dari My Art Purwokerto ikut hadir di stand IPBS.
Diskusi ringan dengan Mas Pace dari My Art Purwokerto.
Plakat, kenang-kenangan dari Sasmi-Unsoed-Purwokerto.
Punggawa IPBS di depan stand.