Jumat, 26 Oktober 2012

catatan (ter)pinggir wacana seni di Bumiayu

Catatan (ter)pinggir Wacana Seni di Bumiayu

Bumiayu adalah kota kecamatan yang terletak di ujung selatan kabupaten Brebes. Masyarakat Bumiayu pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, petani, dan juga buruh. Tulisan ini merupakan kegundahan hati, penilaian saya, pemikiran saya, dan juga saran serta kritik saya tentang tentang dunia berkesenian di wilayah Bumiayu dan Brebes pada umunya. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dalam kaitan ini saya mencoba menulis seobjektif mungkin tanpa memihak golongan atau kelompok tertentu.

Kesenian Tradisional.

Dunia kesenian di Bumiayu memang dapat dikatakan cukup ramai untuk ukuran kota kecamatan. Beragam kesenian baik tradisional dan modern muncul ke permukaan. Walaupun secara historis mungkin akar kesenenian di daerah tersebut(Bumiayu) cukup sedikit atau bahkan dapat dikatakan tidak ada. Dalam artian kesenian daerah di wilayah Bumiayu, kesenian daerah yang ada merupakan persilangan atau pengadopsian dari kesenian daerah lain. Secara historis kesenian di Bumiayu memang tidak ada, kesenian yang ada di wilayah Bumiayu atau Brebes merupakan adopsi dari budaya daerah lain seperti jawa barat dan banyumas. Kesenian tradisional seperti sintren, calung, tari topeng, kuda lumping, sisingaan dll, merupakan kesenian yang hampir dapat dijumpai wiliyah Jawa mempunyai bentuk kesenian tersebut. Jadi bukan bentuk murni dari wilayah Brebes, Sintren misalnya populer di Cirebon, calung juga merupakan bentuk kesenian dari Jawa Barat dan tari topeng juga hampir di semua kebudayaan mempunyai bentuk budaya topeng.

Coba amati saja, bagi temen-temen yang tinggal Bumiayu, berapa kali dalam satu tahun pernah melihat atau menyaksikan pertunjukan seni tradisional? Atau menyaksikan pameran seni rupa atau melihat pertunjukan seni musik (band) kontemporer?. Dapat dikatakan pertunjukan kesenian tradisional sangat minim atau bahkan tidak pernah, ada mungkin hanya di lingkup kecil. Kesenian tradisional seperti apa yang sering disaksikan, apakah tari atau seni musik tradisional  sudah sangat jarang kita lihat di Bumiayu, memang secara historis tidak mengakar kuat pada masyarakat. Mungkin yang sering saya lihat dan saksikan adalah bentuk seni seperti genjring (rebana), itu juga biasanya dimainkan untuk mengiringi hajatan sunatan masal atau pengajian pada hari-hari besar Islam. Kesenian itu hadir pada acara hajatan di kampung yang kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. Calung, kesenian tradisional ini sering muncul pada acara-acara seperti karnaval, pasar rakyat, Bumiayu Fair, atau dalam rangka hari jadi Brebes.

Ada pula kesenian tradisional sisingaan, kesenian tradisional ini pernah saya lihat pada acara kirab budaya hari lahir Brebes yang ke-333 di Bumiayu. Bentuk kesenian tradisional yang merupakan perpaduan seni tari, patung dan musik ini merupakan bentuk kesenian yang cukup populer di wilayah Jawa. Karena kesenian ini tidak hanya ditemui di daerah Brebes tetapi juga di daerah lainnya. Lantas apa lagi bentuk kesenian tradisional lain yang temen-temen saksikan di wilayah Bumiayu. Mungkin bentuk kesenian tradisional lainnya adalah wayang kulit atau wayang golek. Pertunjukan wayang ini juga tidak terlalu sering kita lihat di Bumiayu, hanya pada waktu-waktu tertentu pada saat ada peringatan-peringatan atau hajatan. Dan masih terdapat kepercanyaan masyarakat lama, bahwa nanggap wayang di wilayah lor kali keruh adalah pamali, akan terjadi hal yang tidak baik jika pertunjukan wayang tetap dilaksanakan. Entah sampai kapan kepercayaan masyrakat tersebut dapat dirubah, suatu bentuk warisan nenek monyang yang ambigu dan pebuh enigma di era modern.

Mungkin pertunjukan wayang yang sering mampir di wilayah Bumiayu adalah rombongan wayang dari tegal yang di komandoi oleh Ki Enthus Susmono. Pertunjukan wayang yang di dalangi Ki Enthus, selalu menarik perhatian masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Dimana pertujukan wayang yang didalangi Ki Enthus selain bermuatan sosial dan mengandung pesan moral juga selalui dibumbui dengan lelucon gaya tegal  (dengan bahasa prokem ngapak). Dan lelucon yang muncul pada pagelaran wayang tersebut dapat dikatakan juga jorok atau saru, tetapi masyrakat justru senang dengan lelucon  khas Ki Enthus.Kira-kira bentuk kesenian tradisional seperti apalagi yang teman-teman sering saksikan di wilayah Bumiayu. Yang jadi pertanyaan apakah nantinya kesenian tradisional seperti di atas akan dapat bertahan dan dilestarikan oleh generasi penerus kita. Sedangkan kalau dilihat secara sosial, masyarakat Bumiayu seolah cuek atau tidak kritis dalam memahami atau mengapresiasi seni tradisional. Hal ini mungkin wajar saja, dikarenakan secara historis dunia kesenian di Brebes memang tidak mempunyai akar historis yang cukup.

Dalam buku sejarah kelahiran Brebes atau cerita cerita-cerita legenda yang diceritakan oleh para orang tua kita memang tidak sedikit pun bercerita tentang kesenian. Atau bahkan orang tua kita juga tidak tahu menahu tentang sejarah nenek moyang kita, sungguh ironis bila kita semua tidak memahami daerah tempat kita tinggal. Berbeda dengan daerah lain yang mempunyai akar historis yang jelas, dalam hal ini adalah budaya nenek moyang kita. Sebagai contoh budaya Cirebon sangat kuat akar sejarahnya, dimana pada periode dulu Cirebon adalah kerjaan yang dipimpin oleh sultan. Sehingga cukup jelas akar historis dalam hal kesenian dan bidang lainnya.

Bagi pembaca yang membaca tulisan ini mudah-mudahan dapat tergugah untuk dapat mempertahankan nilai-nilai tradisi di wilayah Brebes atau di Bumiayu. Minimal kita dapat mencintai nilai tradisional dan mengetahui historisitas dari daerah yang kita tinggali sehingga nantinya akan tumbuh rasa memiliki apa yang ada di daerah kita. Lantas apa yang terjadi pada dunia seni kontemporer di Bumiayu, kesenian apa saja yang ada dan meyeruak ke permukaan. Influence mana yang mempengaruhi budaya pop atau budaya massa yang hadir di wilayah Bumiayu. Sejak kapan kira-kira budaya pop tersebut mulai muncul di Bumiayu, jenisnya apa saja dan siapa para penggiatnya.

Budaya Pop di Bumiayu.

             Budaya pop secara sederhana adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik industrial untuk menghasilkan nilai profit dari konsumen massa. Budaya populer bersifat populer dan dipasarkan secara masal, sehingga dengan adanya buday pop akan memberi ruang sempit untuk seni-seni tradisional atau seni rakyat (folk) yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu. Disini saya tidak akan mengutip teori dari pakar budaya seperti Jean Baudilard, Rolland Barthes, Dominic Strinati, John Storey, Bryan Turner, Yasraf Amir Piliang, Idy Subandy, atau siapalah, saya sudah dapat memprediksi nantinya ada beberapa komentar yang tidak enak di dengar. Tapi disini saya menulis kegundahan atau pemikiran saya tentang kesenian di Bumiayu sesuai kapasitas saya. Padahal bentuk kutipan bukan berarti copy paste, di era postmodern ini kutip-mengutip dalam teks atau seni sudah sangat wajar bukan berarti tidak kreatif, ini merupakan bentuk INTERTEKSTUALITAS menurut Julia Kristeva. Atau PARODI, KOLASE, RE-INTERPRETASI, MONTASE, atau KITSCH, PASTICHE, bahkan NIHILISME  dalam dunia seni pada umumnya sudah menjadi biasa.

Okelah tidak usah panjang lebar meributkan kutipan atau bahasa ilmiah yang tidak mudah dipahami, memang walaupun menggunakan bahasa yang rendah hati atau bahasa ilmiah yang asing, nantinya akan tetap mendapat respon yang beragam bahkan tidak nyaman di kuping. Intinya INTERTEKSTUALITAS itu akan terus berjalan dan akan terus ada menghiasi berbagai kajian budaya baik verbal atau visual. Selanjutnya akan mulai dari mana pokok bahasan kita tentang budaya populer di Bumiayu. Sebelumnya ada beberapa pertanyaan tentang budaya pop di Bumiayu. Apakah ada budaya pop di Bumiayu? Apakah masyarakat tahu tentang budaya pop? Apa saja yang termasuk budaya pop di Bumiayu?Apakah para pelaku budaya pop di Bumiayu merasa berada di jalur ini atau...? Dari mana pengaruh budaya pop tersebut dan siapa yang menjadi sasarannya? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi pokok bahasan yang menarik dan tentunya akan mengundang banyak pro dan kontra. Pada pokoknya saya hanya mengutarakan kegundahan pemikiran, dari pada dipendam ada baiknya diwacanakan ke publik lewat dunia virtual. Walaupun sekedar wacana bukan berarti hanya sebagai utopia atau enigma, tetapi mudah-mudahan nantinya menimbulkan pencerahan dunia kesenian di Bumiayu.

Melalui virtualitas diharapkan dapat meresap dan merembes halus ke titik-titik vital atau sendi-sendi pelaku seni atau penggiat seni di Bumiayu. Dari pengertian di atas kita sudah mengetahui budaya pop adalah budaya yang diciptakan dengan teknik industri untuk mendapatkan untung dan bersifat massa. Nah kalo kita lihat di kota kecil seperti Bumiayu bentuk budaya seperti di atas kira-kira seperti apa, seni apa saja yang termasuk budaya pop? Apakah seni rupa masuk dalam kategori budaya pop? Atau hanya seni musik yang termasuk dalam budaya pop?. Dalam konteks ini kesenian populer yang tumbuh di Bumiayu adalah jenis seni musik, lantas apakah bentuk seni rupa bukan termasuk kategori populer di Bumiayu. Secara subtsansial bentuk seni visual tidak termasuk budaya pop, dalam konteks ini dikarenakan proses pembuatan seni rupa tidak bersifat masal atau masinal. Dalam pengertian seni rupa disini adalah fine art, bukan kerajinan atau yang dikerjakan dengan mesin.

Sebelum membahas musik populer di Bumiayu, sedikit akan saya ceritakan penglaman saya dalam duni seni rupa di kota kecil yang kotor dan berdebu pada waktu kemarau dan becek ketika musim hujan (adakah di antara temen-temen yang kritis melihat kondisi kebersihan di kota kita tercinta, yang dikenal dengan Bumi yang Ayu). Seni rupa sudah menjadi bagian dari hidup saya, sudah sejak kecil saya menekuni dunia seni, mulai dari menggambar, membuat kerajinan dll. Mungkin terlalu panjang jika membicarakan perjalanan hidup saya, dan terlalu naif juga. Kita awali saja ketika saya mulai mengadakan pameran bersama seni lukis, di trotoar tepatnya di depan Pegadaian Bumiayu pada tahun 2006. Pameran yang dapat dikatakan sebagai stimulus untuk membangkitkan kembali dunia seni rupa yang sudah mati suri. Pameran di trotoar dengan tampilan apa adanya tanpa penutup atau tayub, dapat dikatakan cukup nekat, bagaimana tidak dana yang sedikit dan waktu cukup singkat dalam persiapannya.

Selanjutnya tahun 2007 saya bersama teman-teman komunitas mengadakan pameran seni lukis kembali dengan tema “BumiArtyou”. Saya tidak mau panjang lebar menjelaskan tentang sejarah seni rupa, yang saya inginkan ada pembahasan yang berimbang. Dan memang seni rupa yang saya kibarkan bersama temen-temen komunitas bukan termasuk budaya pop. Disamping itu pembahasan seni rupa sudah tertulis dalam posting yang lama dalam blog ini. Lantas budaya pop seperti apa yang ada di Bumiayu, apakah seni musik yang sudah ada dapat dikatakan pop. Kita harus tahu secara substansial budaya pop terlebih dahulu, dimana psoses munculnya budaya tersebut melibatkan industri dan media. Apakah musik yang ada di Bumiayu dapat dikategorikan budaya pop. Menurut hemat saya iklim seni musik yang ada di Bumiayu belum dapat dikategorikan dalam ranah populer, walaupun ada yang beranggapan mereka membawakan aliran pop, pop romantis, atau pop rock. Dimana secara substansial budaya pop adalah bersifat massa, memang musik bersifat massa, lalu apakah musik dalam konteks ini sudah terindustrialisasi atau termonopoli oleh kapital.

Memang secara universal musik sudah termasuk budaya pop, secara historis musik populer sudah mulai muncul sejak periode 50-an. Dimana pada waktu tumbuh dan berkembang jenis musik populer seperti jazz, blues, soul, regea, dan rock n roll. Seiring dengan tumbuhnya musik pop maka musik pop masuk dalam ranah industri, dengan jalan memperbanyak rekaman, pentas, video, fashion, gaya hidup, dan gaya rambut. Semua yang berhubungan dengan musik telah menjadi lahan komoditas yang subur dan akan terus dipanen oleh para kapitalis dan industri monopolistik. Secara historis perjalanan seni musik di Bumiayu mulai muncul kapan saya tidak begitu mengetahui secara persis, mungkin dari temen-temen komunitas musik mengetahui kapan tepatnya musik Bumiayu muncul ke publik. Lantas jenis musik apa saja yang tumbuh dan berkembang di Bumiayu, setahu saya jenis musik yang tumbuh dan berkembang adalah dangdut, campursari, pop, rock, regea, grunge, metal dan underground(menyebut istilah untuk jenis musik ekstrim).

Apakah semua jenis musik yang ada tersebut sudah dimonopoli oleh kaum kapital atau sudah dijadikan komoditas oleh pihak-pihak terkait. Memang dalam dunia seni ada komponen-komponen pendukung dalam menciptakan dan memasarkan sebuah karya seni. Komunitas musik yang ada di Bumiayu saya rasa secara substansial belum merambah ke ranah populer, komunitas yang ada di kota tersebut masih sebatas ekstase sebuah komunal. Musik yang ada belum terindustrialisasi dan belum bersifat massa, walaupun bersifat massa itu hanya sesaat saja tidak lebih dari sebuah ekstase. Jadi pertanyaan sudah jelas, pencapaian seperti apa yang didapat sebuah kelompok musik atau band yang berasal dari Bumiayu. Untuk dapat menjadi populer tentunya ada sebuah pencapaian yang intens, antara lain album rekaman, show yang intens, atribut band, sovenir, video klip, fashion,dll.

 Dalam pengamatan saya ada beberapa kelompok yang sudah sempat masuk dapur rekaman dan mengeluarkan album, tetapi setahu saya album mereka dalam bentuk kompilasi atau mungkin split album(dapat diklarifikasi pengamatan saya barangkali kurang tepat). Selanjutnya apakah sebuah video klip  merupakan sebuah pencapaian dalam sebuah budaya musik pop, video, televisi, sudah tentunya menjadi bagian dari budaya pop. Dalam konteks ini tentunya di imbangi dengan sebuah album rekaman dan rangkain tour atau show yang nantinya akan melahirkan gaya berpakaian, gaya rambut, dan gaya hidup dari sebuah band. Dalam pengamatan saya ada beberapa band Bumiayu yang mencoba eksis membuat video klip yang kemudian diunggah melalui youtube. Dengan adanya dunia cyberspace memudahkan dalam mencapai sebuah popularitas, lewat dunia maya kita sudah dapat terhubung dengan manusia yang ada di belahan dunia lain, walaupun pada kenyataannya itu adalah sebuah virtualitas. Idealnya ditayangkannya sebuah video klip dari sebuah band atau kelompok musik adalah sebagai bentuk promosi, dan tentunya sebagai bentuk interpretasi dari sebuah album musik grup tersebut.

Yang menjadi aneh ketika video klip tersebut tayang, tetapi album dari sebuah kelompok musik tersebut belum ada, hal ini tentunya menjadi ironi dalam iklim dunia musik. Tetapi dijaman yang serba virtual ini semua dapat dilakukan dan semua orang dapat menikmatinya tanpa perlu kritis menanyakan dari mana barang ini siapa pembuatnya dll. Dan tentunya fahan pragmatis telah merasuki dunia seni di Bumiayu, dunia serba instan dilakukan untuk mencapai popularitas. Manusia kontemporer telah hanyut dan terlena dalam sebuah ekstase virtual.Di sisi lain dahulu pada awal 2000-an, band-band underground sudah lebih dulu masuk dalam album kompilasi yang dengan label rekaman dari Purwokerto. Walaupun pada kenyataannya eksistensi grup band underground tidak dapat dapat bertahan lama. Dalam pengamatan saya disini eksistensi menjadi penting, kenapa tidak kecenderungan trend musik atau trend apa saja di Bumiayu tidak bertahan lama hanya ramai pada awal-awalnya saja atau dalam istilah Bumiayuan “Demyar”. Nah banyak faktor yang mempengaruhi sebuah eksistensi dalam dunia kesenian, salah satunya adalah yang fundamental adalah orang Bumiayu masih dalam urusan perut belum merambah ke level yang lebih tinggi.

Ada sebuah ungkapan bahwa “Seni Tidak Akan Hidup di Tengah-tengah Orang yang Lapar”, sesuai dengan keadaan yang ada di kota Bumiayu. Manusia-manusianya masih dalam proses mencari dan memenuhi kebutuhan paling primer yaitu makan dan bertahan hidup. Kita tahu bahwa seni adalah salah satu kebutuhan manusia juga, yaitu kebutuhan tersier yang akan terpenuhi jika kebutuhan pokok lainnya telah terpenuhi. Lalu apakah jika kebutuhan pokok terpenuhi maka seni akan menjadi ramai dan mendapat apresiasi, jawabannya bisa ya  bisa tidak. Sekarang yang jadi permasalahan adalah tidak semua orang mencintai dan menyukai seni yang sama. Butuh proses dan pembelajaran seni dalam diri masyarakat tersebut. Masalah pembelajaran seni menjadi permasalahan kedua, jadi butuh waktu dan proses yang tidak singkat untuk dapat membuat masyarakat Bumiayu “melek” seni dan mencintai seni sebagai bagian dari kehidupan.

Nah hal-hal di atas merupakan permasalahan yang tidak sepele dan tentunya para pelaku seni di Bumiayu harus menyadari kondisi tersebut. Selanjutnya dalam pengamatan saya berikutnya tentang seni di Bumiayu, terjadi centralisasi dalam sebuah iklim seni dan tidak seimbangnya dunia kesenian di Bumiayu. Centralisasi dalam hal ini adalah terpusatnya sumber atau influence dari ikon  atau dapat dikatakan terdapat sebuah pemujaan ikon. Walaupun beragamnya seni yang ada di kota tersebut, tetapi ikonisasi tetap belum juga menghilang. Hal ini berimbas pada tidak seimbangnya iklim seni di Bumiayu, dan tentunya ada seni-seni yang terpinggirkan. Kita amati saja jenis kesenian apa yang sering tampil di Bumiayu dan sudah menjadi avant garde. Walaupun tidak semua orang dapat menikmati jenis kesenian tersebut, hanya kelompok tertentu.Disamping itu pula peran dewan kesenian dalam pengamatan saya masih subjektif, sudah ada jalur yang permanen dan turun temurun dan terus dilalui oleh orang tetap pula. Sehingga orang diluar jalur tersebut akan menjadi outsider dan menjadi orang asing dalam dunia kesenian di Bumiayu.

Mungkin itu sedikit kegundahan saya tentang iklim kesenian di Bumiayu, tujuan saya menulis ini tidak lain adalah sebagai sebuah bahan renungan kita bersama para pelaku seni di Bumiayu. Bahwa di kota kita tercinta ini tumbuh dan berkembang insan seni yang potensial dan berkompeten. Akan menjadi ironi jika tidak seimbangnya dunia kesenian di Bumiayu, hanya memunculkan satu jenis kesenian yang dominan. Dalam kehidupan semua harus seimbang atau balance, sebagaimana yang dikatakan oleh orang Yunani kuno “ Apabila kita terlalu banyak dalam segi kehidupan apa saja, bagaimana itupun menyenangkan hal itu, itu tidak baik. Mereka menyebutnya sebagai jalan tengah. Kehidupan ini akan menjadi penuh dan berarti, jika satu dengan yang lain seimbang. Suka cita di dalam pikiran, tubuh, perasaan, kehidupan sosial, dan perkara-perkara rohani harus dijaga agar tetap seimbang”.[]

 

 

 

memahami seni rupa anak



Memahami Seni Rupa Anak
Salah satu potensi dasar pada diri anak yang perlu dikembangkan sejak dini adalah potensi kreativitas. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengembangkan kreativitas anak antara lain melalui kegiatan/pengajararan seni rupa khususnya dalam bentuk kegiatan menggambar. Gambar anak-anak menjadi sesuatu yang penting untuk pertumbuhannya dan merupakan refleksi anak dalam pendidikan kreatif. Melalui gambar anak, dapat dikaji berbagai hal yang berkaitan dengan pengalaman, fantasi, imajinasi, tingkat kecerdasan, kebebasan berekspresi, kreativitas, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya Guru memegang peran penting dalam pendidikan, tentunya juga dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan potensi kreatif anak.
Berdasarkan pendapat para ahli, gambar anak diciptakan berdasarkan penglihatan dan perasaan terhadap lingkungannya. Adanya perbedaan tingkatan usia dan tipe pada diri setiap anak menjadikan karyanya memiliki karakteristik yang tentunya berbeda dengan orang dewasa atau berbeda pada tiap tingkatan usia dan tipe di antara anak. Untuk memahami karakteristik gambar anak-anak, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru atau pendidik agar dapat  memberi motivasi dan stimulasi yang tepat yaitu:
Periodesasi.
Masa yang dilalui selama hidup manusia biasanya dibagi-bagi, digolongkan menurut tahap-tahap tertentu  berdasarkan perkembangan jasmani maupun jiwanya.Penggolongan waktu tersebut disebut periodesasi atau pembagian masa. Demikian pula halnya mengenai ciri-ciri gambar anak-anak, juga dapat diidentifikasi berdasarkan periodesasi. Penggolongan periodesasi pola gambar pada anak, banyak dikemukakan para ahli seni. Salah satu yang paling populer adalah teori dari Victor Lowenveld, ia membagi periodesasi ciri-ciri gambar anak menjadi beberapa tahap, antara lain :
·         Tahap Coreng moreng (2-4 tahun)
Sejak usia 2 tahun seluruh anggota badan anak berusaha untuk sekedar digerakan, karena pengaruh syaraf motoriknya. Goresan pada tahap menggambar ini semula tidak terarah, tebal tipis, bengkok, putus-putus, panjang pendek tetapi dengan hasil yang serba kebetulan dan pada diri anak akan tercapai kepuasan. Lama-lama mereka dapat menggerakkan anggota badan dengan tujuan yang jelas. Maka terjadilah aksi coret-coret yang makin lama makin jelas arahnya. Sehingga pembinaan pada usia ini hanyalah memberi stimulasi yang tetap mengiyakan, membubuhi ceritanya, serta lebih mengaktifkan imajinasinya. Jadi biarkan saja anak pada usia ini untuk lepas dalam menggambar, kita hanya perlu mengawasinya saja dan memberi pancingan atas objek yang di gamabarnya.

·         Tahap Masa Prabagan (4-7 tahun)
Pada masa selanjutnya yaitu masa prabagan, disini anak dapat mengendalikan motoriknya maka anak akan dapat melihat hubungan antara yang dihasilkan dengan bentuk-bentuk objektif. Telah terjadi perubahan dari coret-coret ke arah bentuk yang lebih esensial. Dengan perubahan ini kita dapat lebih mengenali dan menafsir bentuk yang ada, lama-lama akan terbentuk bagian-bagian lain yang lebih menunjang imajinasinya. Masalah ruang belum dapat dipecahkan, warna cenderung tidak sesuai dengan warna aslinya. Artinya pada masa itu masih memerlukan pengenalan-pengenalan teknik yang paling mudah, seperti menggambar kepala hanya dengan lingkaran, langit hanya dengan goresan asal, pohon dengan gambar yang paling sederhana dll. Disini diperlukan pembinaan yang lebih terarah pada perkembangan teknik atau cara yang secara mudah dan memperkenalkan objek gambar lainnya (misalnya dengan cara rekreasi, atau sejenisnya) sehingga dapat dihasilkan variasi gambar yang lain.

·         Tahap Masa Bagan (7-9 tahun)
Pada masa ini merupakan konsep tentang bentuk dasar dari pengalaman kreatif, anak pada usia ini telah memiliki konsep cerita yang sudah banyak. Pengamatan telah makin teliti dan semakin tahu siapa dirinya dalam hubungan dengan lingkungannya. Pada usia ini pengaruh guru sangat besar. Anak telah memiliki pengalaman sosial, yaitu hal-hal yang sebenarnya sudah diketahui, disikapi karena desakan emosi subjektifnya. Karena kesadaran meningkat, anak mulai gelisah dan secara kritis mengontrol dirinya antara pengamatan dan hasil-hasil gambar masa lalu. Disini peran guru bertugas mengaktifkan pengalaman anak tersebut.
Penggambaran ruang telah muncul tetapi masih sederhana, terutama dalam memahami lingkungan dimana mereka berada. Sebagian pengalaman ruang masih sederhana dan diletakan dalam satu garis vertikal sebagai garis dasar. Komposisi objek masih tumpuk-menumpuk atau tersusun ke atas. Dan pada soal warna telah disikapi sebagaimana bentuk yang mendekati pada warna aslinya. Misalkan warna pohon akan diberi warna hijau dan matahari akan diberi warna kuning atau orange.

·         Tahap Masa Permulaan Realisme (9-11 tahun)
Di usia ini anak semakin cerdas dalam memngungkapkan imajinasinya.  Konsepsi semakin mendetail, tampilan lebih proposional, berkat meningkatnya intelektual mereka. Rasio mulai digunakan di samping emosi subjektif. Jadi pada masa ini sudah ditinggalkan penggambaran bagian yang dilebih-lebihkan karena fungsi aktifnya. Artinya ia telah dengan lebih bebas menggambar figur-figur atau bentuk-bentuk yang lebih bebas dalam seluruh bidang gambar. Hanya dalam usia ini mereka belum banyak memanfaatkan atau kesulitan dalam persoalan perspektif. Gejala yang paling terlihat pada usia ini adalah kedekatan figur yang lebih nyata, walaupun pada segi warna tidak terlalu cocok dengan kenyataan.


·         Tahap Masa Realisme Semu (11-13 tahun)
Pada masa ini telah banyak dipengaruhi oleh intelegensi yang semakin matang. Ada pendekatan realistis dengan alam sekitar, meskipun barangkali belum sepenuhnya kesadaran sebaik orang dewasa. Tingkah lakunya makin gelisah, banyak bergerak dan ada gejala suka membentuk grup sebagai manifestasi kesadaran akan perlunya kerjasama. Sehingga dalam usia ini anak lebih mendekati perangai remaja yang memiliki seluk-beluk yang sangat bervariatif. Untuk pola gambar sudah cukup matang, pewarnaan juga sudah sesuai. Namun bentuk yang sudah realis, masih kurang kuat dalam artian realitik tetapi masih ada kekurangan seidikit dalam bentuknya.


Dengan adanya pembagian periodesasi dalam kcenderungan gambar anak, maka diharapkan kita para pendidik dapat lebih peka dalam menanggapinya. Selanjutnya tugas guru adalah membimbing dan mengarahkan tiap anak didiknya yang mempunyai kecenderungan secara umum yaitu kecerdasan visual spatial.