Senin, 22 Juli 2013

Eksotisme Kaligua di Bumiayu

 Eksotisme Kaligua di Bumiayu

Warga di kawasan Brebes Selatan tentunya tidak asing lagi dengan Kaligua, ya sebuah tempat wisata agro di kaki Gunung Slamet. Kaligua mempunyai eksotisme alam yang selalu menggoda untuk dikunjungi, hawa dingin pegunungan yang sejuk membuat kita merasakan ketenangan yang tidak kita dapatkan di suasana kota. Mata kita akan dimanjakan secara visual, dengan hamparan gunung, lembah hijau, perkebunan sayur, pepohonan pinus, dan kebun teh yang sangat luas. Keberadaan kawasan kebun teh kaligua sudah ada sejak penjahahan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda melalui divisi dagangnya yaitu V.O.C (Vereenigde Oost Indische Compaignie), mengeruk kekayaan alam bumi persada berupa rempah-rempah dan hasil buminya. Hal itu berlangsung cukup lama, dan seluruh wilayah Nusantara tidak luput dari usaha Belanda untuk mengeruk kekayaan alamnya. Hal itu pula berlaku di wilayah Brebes, hingga terciptanya perkebunan teh kaligua.

Sekilas Sejarah Kebun Teh Kaligua.
Keberadaan kebun teh di wilayah Brebes tepatnya di kecamatan Paguyangan, tentunya memiliki unsur historis yang menarik untuk dipelajari. Kesejarahan tersebut sejalan dengan proses kemerdekaan bangsa Indonesia, yang dulunya benama Hindia Belanda. Tanah Hindia merupakan tanah yang subur di negeri timur, negeri timur dimata orang Barat mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Dari mulai hasil bumi, rempah-rempah, batu mulia, minyak dan warisan budaya Hindu-Budha. Unsur alam dan budaya tersebut ternyata membuat bangsa Eropa berlabuh di tanah nusantara. Kedatangan bangsa Eropa (Inggris, Belanda) tersebut memang bermaksud untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan alamnya. Disamping juga sebagai bukti untuk menunjukan keperkasaan suatu Bangsa tersebut. Bangsa Eropa yang mempunyai kebiasaan menaklukan daerah-daerah baru, dengan segala cara berusaha menaklukan daerah jajahan tersebut. Cara-cara yang kasar dan kadang tidak manusiawi dilakukan oleh Penajajah, untuk dapat mencapai tujuan guna menghasilkan kekayaan bangsanya sendiri.
Diwilayah Jawa hampir keseluruhannya telah dijajah oleh kolonial Belanda, karena itu di Jawa telah dijadikan pusat eksploitasi V.O.C yang sangat menguntungkan. Untuk dapat mengeruk keuntungan secara ekonomis, segala cara dihalalkan untuk dapat mewujudkannya. Tak terkecuali kekerasan dan kerja paksa dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap rakyat pribumi. Masyarakat pribumi merasakan penderitaan yang sangat panjang dan menyiksa. Begitu pula yang terjadi di kawasan Brebes, mengalami sistem kekerasan yang dilakukan pemerintah Belanda. Daerah kabupaten Brebes pada waktu itu merupakan daerah yang ramai walaupun masih banyak hutannya. Daerah pegungungan seperti Bumiayu dan sekitarnya, pada jaman pelaksanaan tanam paksa (cultuurstelstel) banyak ditanam  kopi, terutama di wilayah Paguyangan.
Jadi secara historis wilayah Brebes Selatan dulunya banyak ditanami kopi, tanaman teh baru dibudidayakan sekitar tahun 1837 di seluruh Jawa pada waktu itu. Sistem yang digunakan oleh Belanda dalam membuka lahan dan perkebunan dengan tanam paksa (cultuurstelstel). Sistem tanam paksa sendiri pertama kali diterapkan oleh Gubernur Jendral J. Van Den Bosch, yang diberlakukan sejak tahun 1830. Konsep ini sungguh jitu untuk mengeksploitasi ekonomi yang maksimal dalam dalam kondisi sosial ekonomi Jawa pada masa itu. Sistem tanam paksa sendiri memadukan unsur-unsur tradisional, yaitu menguasai tanah dan tenaga kerja lewat para penguasa pribumi, menggunakan paksaan untuk menanam tanaman ekspor kepada rakyat petani Jawa, dengan unsur-unsur modern yaitu manajemen produksi dan pemasaran di bawah monopoli pemerintah Kolonial. Tetapi pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu lebih mengutamakan komoditas tanaman kopi dan tarum. Tanaman teh, tembakau, dan jati hanya komoditas tanaman kelas dua.

Tanaman yang mempunyai komoditi adalah kopi, sehingga di wilayah Brebes juga banyak ditanami kopi khususnya di wilayah selatan. Budidaya tanaman teh sendiri di picu oleh keberhasilan Koloni Inggris yang mengeksploitasi teh di Srilangka dan Assam di India bagian Timur, membuat pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk mengembangkannya di Jawa. Di wilayah Brebes tentunya dibudidayakan tanaman teh di daerah pegunngan, karena salah satu syarat tanaman teh dapat tumbuh adalah di daerah pegunungan. Dan wilayah di Brebes yang terdapat pegunungan adalah di Brebes Selatan, tepatnya di daerah Paguyangan di kaki gunung slamet. Perkebunan teh Kaligua didirikan tahun 1899 oleh Cultuur Onderneming di Negeri Belanda, untuk perwakilan di Indonesia ditunjuk Van John Pletnu & Co yang berkedudukan di Jakarta. Tetapi dalam perkembangannya hingga tahun 1901 perusahaan ini di beli dan di kelola pengusaha Van de Jong. Dan pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942, pengelolaan kebun teh di ambil alih oleh Jepang.
Syarat penanaman teh tidak jauh dengan kopi, yaitu menggunakan tanah belukar atau tegal di lereng gunung atau perbukitan. Penanaman dan pemeliharaan kebun teh dilaksanakan dengan kerja-wajib oleh kuli kenceng seperti halnya kopi. Dapat dibayangkan ketika dulu sebelum ada kebun teh Kaligua, adalah hutan belantara dengan pepohonan yang besar dan rimbun. Sehingga untuk membuka lahan untuk perkebunan teh, membutuhkan pekerja untuk dapat menebang pohon-pohon di hutan. Melalui kekuasaan bupati inilah rakyat dikerahkan  untuk menebang pohon-pohon di hutan-hutan. Kerja-wajib tertua (yang diepergunakan oleh penguasa kolonial) ini disebut kerja Blandhong. Beratnya kerja-wajib blandhong sering menyebabkan rakyat melarikan diri ke kabupaten lain agar terbebas dari beban tersebut. Itulah sedikit cerita tentang para pekerja yang membuka lahan untuk budidaya tanaman teh di tanah Jawa tak terkeculai di Kaligua di Paguyangan.
Untuk melengkapi produksi teh tersebut, maka dari itu didirikanlah pabrik pengolahan teh untuk dapat dijadikan komoditas ekspor. Di Kaligua sendiri pendirian pabrik pengolahan teh tersebut, dikerjakan oleh para rakyat pribumi yang diperintah oleh pemerintah kolonial. Konon pada saat pembangunan pabrik, para pekerja membawa ketel uap dari Paguyangan menuju Kaligua ditempuh dalam waktu 20 hari. Peralatan tersebut dibawa dengan rombongan pekerja yang berjalan kaki naik sepanjang 17 km. Selama proses pengangkutan tersebut, para pekerja pada saat istirahat dihibur oleh kesenian ronggeng Banyumas. Sampai sekarang setiap memperingati HUT pabrik Kaligua setiap tanggal 1 Juni selalu ditampilkan kesenian tradisional tersebut. Dapat dibayangkan pekerjaan tersebut pada jaman itu belum ada transportasi modern, yang dapat mempermudah dan mempercepat suatu pekerjaan. Sehingga pekerjaan berat dikerjakan dengan tenaga manusia yang membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang cukup lama. Dengan pola kerja yang berat tersebut akhirnya kebun teh Kaligua dan sarana pendukungnya ada dan lestari sampai sekarang. Dan kebun teh Kaligua sekarang sudah menjadi magnet wisata yang potensial di wilayah Brebes Selatan, yang selalu ramai dikunjungi para wisatawan dari berbagai daerah.

Eksotisme Kaligua.
Hasil peninggalan kolonial Belanda tersebut sampai sekarang masih tetap terjaga, dan menjadi salah satu objek wisata andalan yang dipunyai oleh Kabupaten Brebes. Letak geografis dari Perkebunan teh Kaligua berada pada ketinggian 1200 - 2050 m dpl. Kondisi udara sangat dingin, berkisar 8° - 22° C pada musim penghujan dan mencapai 4° -12° C pada musim kemarau. Jadi tidak heran kalau wilayah perkebunan teh ini hampir selalu diselimuti kabut tebal. Perkebunan teh tersebut terletak di lereng barat Gunung Slamet (3432 m dpl) yang merupakan gunung tertinggi kedua di pulau jawa setelah Gunung Semeru. Dari salah satu tempat di perkebunan teh Kaligua kita dapat menikmati keindahan puncak gunung Slamet dari dekat, melalui puncak Sakub.
Untuk dapat mencapai ke pegunungan Kaligua dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau dapat menggunakan sepeda motor. Lokasi wisata agro Kaligua terletak sekitar 10 kilometer dari arah kota Kecamatan Paguyangan, atau sekitar 15 kilometer dari Bumiayu. Jalur transportasi dapat ditempuh melalui jalur utara dari Brebes atau Tegal-Bumiayu-Kaligua, Cirebon-Bumiayu-Kaligua. Dan jalur selatan dari Purwokerto-Paguyangan-Kaligua, dimana transportasi jalur tesebut selalu ramai karena berada di jalur Provinsi. Semua transportasi umum tersebut kemudian harus berhenti di pertigaan Kretek, yang kemudian dapat dilanjutkan untuk dapat mencapai tujuan dengan menggunakan ojek atau anggkutan pedesaan. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi tentunya dapat lebih mudah untuk dapat sampai tujuan tanpa harus naik turun dari transportasi umum.
Ketika sudah berada di jalan utama yang menuju ke Kaligua, jalanan sudah mulai naik dan di kanan-kiri jalan terdapat rumah penduduk, sawah, sungai, pegunungan, lembah, dan hutan pinus. Jalan sudah mulai naik dan berkelok-kelok dan hawa pegunungan sudah mulai terasa. Akses jalan utama tersebut kondisinya masih mulus, sehingga mempercepat untuk dapat sampai ke lokasi. Ketika sudah memasuki desa Pandansari akan ditemui perkebunan sayuran, sayur yang ditanam di daerah tersebut berupa kentang, kobis, rangkok, dan sayuran lainnya. Hamparan hijau ladang sayur di kelilingi pepohonan rimbun memanjakan penglihatan kita, ditambah hawa dingin pegunungan yang sejuk membuat kita bisa berlama-lama menyelami keindahannya. Dari desa Pandansari naik ke atas lagi akan ditemui Telaga Ranjeng yang masih menyimpan banyak misteri dan cerita mistik.
Telaga Ranjeng yang terletak di antara desa Pandansari dan desa Taman, berada di tepi jalan utama sebelah kiri jalan. Untuk dapat masuk ke area Telaga Ranjeng kita tidak perlu berjalan jauh, hanya perlu memarkir kendaraan kita diarea tersebut dan kemudian dapat langsung masuk ke area Telaga tersebut. Telaga Ranjeng yang masih terjaga keasriaannya dikelilingi pohon yang sudah berusia ratusan tahun. Sehingga area tersebut terkesan rimbun karena banyak pepohonan dan tumbuhan semak yang tumbuh disekitar telaga tersebut. Yang menjadi istimewa dan unik adalah di telaga Ranjeng terdapat ribuan ekor ikan lele yang akan muncul dan mendekat ketika diberi makan. Untuk asal-usul dari ribuan ikan lele tersebut masih misteri, keberadaan ikan lele di telaga tersebut konon sudah ada sejak dulu. Menurut cerita dari warga sekitar jika kita mengambil ikan lele tersebut maka akan terjadi  bencana atau malapetaka. Memang dalam masyarakat Jawa terdapat hal-hal yang tidak diperbolehkan atau yang disesbut dengan pamali. Pamali dituturkan oleh para nenek monyang kita, supaya kita memerhatikan dan mematuhi peraturan yang ada. Seperti ketika berada ditempat yang masih asing atau sakral, kita dituntut untuk mematuhi aturan yang ada dan tidak merusak alam. Sehingga terjadi keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos, dengan terjaganya kondisi alam sekitar kita.
Dan biasanya pamali yang disampaikan oleh nenek monyang dalam bentuk metaphor, sehingga kita butuh waktu untuk dapat menafsirkannya. Tetapi pada intinya tujuannya adalah untuk kebaikan kita dan lingkungan sekitar atau alam dimana kita tinggal. Eksotisme dan keasrian Kaligua memang perlu kita jaga dan lestarikan, salah satunya adalah dengan berwisata dan mematuhi aturan yang ada. Setelah puas menikmati keindahan telaga Ranjeng yang masih menyimpan misteri, perjalanan dapat diteruskan menuju ke kebun teh kaligua yang hijau dan luas. Perkebunan teh Kaligua merupakan kawasan wisata agro dataran tinggi yang terletak Kaligua di Desa Pandansari. Kebun Kaligua dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) Jawa Tengah dan merupakan diversifikasi usaha untuk meningkatkan optimalisasi aset perusahaan dengan daya dukung potensi alam yang indah. Hasil pengolahan perkebunan teh Kaligua adalah berupa produk hilir teh hitam (black tea) dengan merk “Kaligua” dalam kemasan teh celup dan serbuk. Jadi wisatawan yang berkunjung dapat langsung menikmati hangatnya teh hitam (black tea) Kaligua atau dapat membeli sebagai oleh-oleh.
Perkebunan teh yang hijau dan sangat luas tersebut tidak selesai kalau dijelajah selama satu hari. Luas dari kebun teh Kaligua yang mencapai luas 607,25 Ha, dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung untuk berwisata. Fasilitas pendukung untuk menjaga kebersihan lingkungan di area kebun teh, disediakan tempat sampah khusus yang dibagi menjadi dua yaitu sampah organik dan non-organik. Jadi ketika berkeliling kebun teh jagalah kebersihan dengan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Untuk fasilitas yang lain seperti pos atau gasebo untuk istirahat terdapat di area kebun teh, sambil istirahat sekaligus dapat menikamati indahnya kebun teh yang hijau dan luas. Fasilitas lain seperti penginapan atau vila juga tersedia, untuk mereka yang ingin berlama-lama menikmati alam pegunungan yang indah. Di area kebun teh juga dapat dijadikan untuk camping, dan juga terdapat fasilitas untuk kegiatan outbond serta lapangan untuk kegiatan yang bersifat kelompok.
Selain fasilitas yang disediakan oleh pengelola dari dinas pariwisata, di area kebun teh Kaligua masih terdapat situs-situs bersejarah yang tidak boleh kita lewatkan. Situs seperti Gua Jepang, Tuk Bening, yang berada di balik bukit kebun teh. Gua Jepang merupakan salah satu situs sejarah peninggalan Jepang ketika menjajah Indonesia. Gua Jepang secara fungsional sebagai tempat persembunyian tentara Jepang ketika ketika selesai berperang dan sebagai tempat untuk mengatur siasat perang.  Gua Jepang memang terletak di daerah pegunungan, peninggalan Jepang berupa gua persembunyian hampir dapat di temui di seluruh pegunungan di Jawa. Untuk dapat masuk ke gua Jepang di area Kebun teh Kaligua harus didampingi oleh petugas. Karena kondisi gua yang gelap, lembab, sempit, dan becek, harus mempertimbangkan unsur keselamatan. Tak jauh dari gua Jepang terdapat mata air, yaitu Tuk Bening dengan airnya yang jernih dan segar. Konon menurut cerita, sumber air ini menjadi cikal bakal nama Kaligua.
Di aera kebun teh tersebut juga terdapat makam para sesepuh, yang dulu membuka lahan perkebunan Kaligua. Makam tersebut antara lain makam Van Dee Jong, Mbah Joko, Aki Soka, dan Aki Waslim. Kebun teh Kaligua selalu menarik untuk dikunjungi, dengan berbagai keindahan alamnya dan situs-situs bersejarahnya. Kebun teh Kaligua merupakan wisata andalan dari Kabupaten Brebes, kita sebagai warganya hendaknya berusaha menjaga dan melestarikan warisan sejarah tersebut. Sehingga wisata dengan panorama alam yang ada di wilayah kabupaten Brebes dapat terus lestari. Maka dari itu kita dituntut aktif dalam melestarikan wisata alam dan berwisata dengan sadar akan peraturan. Dengan berwisata dan mematuhi aturan yang ada, diharapkan dapat terjadi keseimbangan antara alam dan manusianya.[]
Referensi :
·        Sejarah Kelahiran Brebes, Pemkab Brebes, 2011.
·        Eksploitasi Kolonial Abad XIX, A.M. Djuliati Suroyo, 2000.
·        Wikipedia dan website terkait.










  












Minggu, 14 Juli 2013

Oil Painting Techniques: Brilliant Light with Brian Keeler

Sejarah dan Perkembangan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia)



Sejarah dan Perkembangan Persagi
(persatuan ahli gambar indonesia)
Sejarah perjalanan seni rupa di Indonesia mempunyai rentang waktu yang cukup panjang. Tidak hanya sebatas pada waktu Indonesia sudah merdeka, tetapi jika di runut terdapat fase dalam pemetaan seni rupa di Indonesia. Tentunya ketika membicarakan sejarah panjang seni lukis Indonesia Modern, tidak dapat dilepaskan periode-periode sebelumnya. Yaitu periode Raden Saleh dan Moi Indie, jadi diharapkan akan terjadi kejelasan kausalitas dari tiap periodenya. Pembahasan tulisan ini seputar seni rupa modern di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Di mana kita tahu seni rupa modern Indonesia mempunyai cikalnya pada masa penajajahan Belanda. Pengaruh pemikiran dan artistik Barat sungguh besar dalam mengubah kondisi masyarakat In Lander. Walaupun ada yang beranggapan orang In Lander dikekang kebebasan dalam mengakses pendidikan, dan pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan Ningrat atau Bangsawan.
Selanjutnya sebagai pokok bahasan tulisan ini adalah periode di mana terdapat gejolak dalam pemikiran dan artistik pada masa Pergerakan Indonesia. Yaitu ditandai dengan munculnya organisasi pelajar dan lahirnya tokoh-tokoh Pergerakan yang akan mengubah nasib Hindia Belanda menjadi Indonesia. Pada masa itu pula lahir sekelompok seniman yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Sebelum kelahiran Persagi tentunya disebabkan oleh periode sebelumya, yaitu periode Mooi Indie atau mazhab Hindia Molek yang memuja keindahan alam Nusantara dan gadis pribumi.
Salah satu lukisan Mooi Indie Karya dari Wakidi, pelukis pribumi yang lukisannya tentang pemandangan.
Periode Mooi Indie yang memesona.
Kekayaan dan keindahan Nusantara tidak hanya menggoda Kolonial Belanda untuk menjajah Hindia Belanda yang subur dan hijau serta kaya akan hasil bumi. Selain menjajah Hindia Belanda(Indonesia sebelum merdeka) koloni Belanda juga terpesona dengan keindahan alamnya. Sehingga selain mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda dan menjajah rakyat pribumi. Belanda dengan para pekerja seninya juga mendokumentasikan keindahan alamnya. Dengan mendokumentasikan alam, flora, fauna serta kehidupan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, juga didokumentasikan melalui lukisan untuk apreasiasi seni.
Gaya lukisan mooi Indie atau Hindia Molek muncul di Batavia pada awal abad 20. Di mana pada waktu terdapat berbagai status sosial yang beragam di Batavia, salah satunya adalah kalangan masyarakat menengah Belanda yang tinggal di lingkungan pribumi. Kalangan menengah Belanda tersebut membawa pola baru dalam kehidupan, salah satunya adalah dengan megoleksi benda-benda seni termasuk lukisan. Memasuki tahun 1920-an pertumbuhan tempat tinggal orang Belanda di Batavia adalah di kawasan Weltervreden Selatan dan Tenggara. Di samping itu, sepanjang kawasan tepi kota yaitu Gondangdia Baru dan Menteng berderet-deret bangunan orang Belanda dengan halaman depan dan di belakang yang rapi dan teratur. Kelompok masyarakat menengah Belanda itulah yang menjadi patron seni lukis yang mulai berkembang. Kondisi megoleksi lukisan tersebut mulai tumbuh pada akhir abad ke-19.
Sebagai penanda sekaligus penguat akan hadirnya budaya yang mengandung nilai estetika tersebut datang dari pemerintah kolonial sendiri. Pemerintah kolonial mendirikan lembaga kebudayaan Nederlandsch Indische Kunstkring pada 1 April 1902. Kemudian dalam perkembangannya lembaga kebudayaan ini dikenal di Batavia dengan sebutan Bataviaasche Kunstkring. Lembaga kebudayaan tersebut menjadi penampung aspirasi kalangan elite Belanda dan intelektual pada kelas menengah Belanda. Lembaga kesenian tersebut menaungi berbagai seni, antara lain seni lukis, musik, tari, drama, maupun pidato kebudayaan dan membaca. Dengan adanya lembaga kebudayaan tersebut, maka dunia seni pada zaman itu menjadi semarak dan bergairah. Pameran dan pertunjukan sering diadakan di gedung tersebut. kegiatan yang dibuat dengan makna sejarah besar adalah pameran seni lukis pada tahun 1903 yang menampilkan karya duplikat dari Rembrant van Rijn di Batavia.
Dengan berdirinya lembaga kesenian sebagai patronase seni lukis dan tersedianya prasarana-prasarana yang lain semakin membuka kesempatan ruang yang kondusif untuk mempertemukan minat masyarakat dan visi pelukis. Maka dari itu banyak pelukis profesional Eropa yang berdatangan ke Hindia Belanda, untuk dapat mengeksplor alamnya yang indah. Walaupun sebelumnya ada pelukis yang bekerja di bawah instruksi pemerintah Belanda. Mereka adalah pelukis yang ditugasi oleh V.O.C atau pemerintah Hindia Belanda untuk membuat pendokumentasian sebagai laporan dinas dan kepentingan ilmiah. Mereka itu boleh dikatakan pekerja di bidang artsitik yang mendokumentasikan melalui sketsa atau lukisan. Pelukis yang ditugaskan antara lain C.G.C. Reinwardt, A.J.Bik, Th.Bik dan A.A.J. Payen. Pelukis yang terakhir disebut dikenal sebagai guru dari pelukis pribumi bangsawan Raden Saleh.
Lukisan dari Walter Spies "Die Landschaft un ihre Kinder" 1941, yang melukiskan pemandangan alam di Bali.
Selain itu pula muncul pelukis-pelukis profesional yang bekerja untuk melukis, tidak diperintah oleh pemerintah kolonial. Mereka datang dari daratan Eropa tepatnya negeri Belanda, pelukis tersebut datang untuk dapat mendokumentasikan keindahan alam Hindia. Tercatat nama-nama pelukis terkenal di Hindia Belanda seperti, P.A.J. Moojen, W.O.J. Nieuwenkamp yang datang pada tahun 1904. Selanjuthya menyusul pelukis lain seperti, Du Chattel, Carel Dake, Dolf Breetvelt, Isaac Israel, Marius Bauer, dan Romualdo Locatelli. Kedatangan pelukis tersebut membawa faham baru dalam aliran seni, yaitu aliran impresionisme dan ekspresionisme. Di mana pada waktu itu di Eropa memang sedang berkembang aliran jenis baru tersebut, sehingga para pelukis tersebut membawa faham baru yang lebih segar bagi wacana seni di Hindia Belanda. Mereka melukis alam dan kehidupan di negeri yang eksotis dan kaya akan cahaya. Sehingga mereka rela datang dari jauh untuk dapat menangkap momen estetis tersebut. Di mana pemandangan alam dengan hamparan sawah, sungai, tumbuhan tropis, dan adat penduduk pribumi, selalu menggoda untuk dapat digoreskan di atas kanvas.
Kedatangan para pelukis dari Eropa tersebut membuat semarak dunia kesenian di Batavia pada waktu itu. Para pelukis tersebut pada umumnya tergoda oleh eksotisme dunia timur. Mereka mendatangi tempat-tempat seperti lembah, gunung, desa, sungai, hamparan sawah, melukis kegiatan adat dan gadis desa yang cantik. Mereka berkelana ke berbagai daerah di Jawa, Sumatra hingga ke Bali. Keindahan alam Hindia memaksa mereka untuk dapat berlama-lama tinggal di Hindia, untuk dapat mendokumentasikan moment estetis alam dan kebudayaan. Para pelukis yang menetap lama di Hindia antara lain Willem Dooyewaard, Rolland Strasser, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Willem Hofker. Para pelukis di atas tergoda dengan eksotisme alam Hindia, khususnya pulau Bali yang memiliki keindahan alam bagai surga.
Pada intinya para pelukis Eropa tersebut datang ke Hindia untuk melukis keindahan alamnya yang eksotis. Dan dari lukisan yang dihasilkan para pelukis Eropa tersebut melahirkan istilah Mooi Indie. Sebutan istilah tersebut tentunya tidak terdapat dalam terminologi sejarah seni lukis mainstream Barat. Karena istilah Mooi Indie sendiri menjadi populer di Hindia Belanda (Indonesia) semenjak S.Sudjojono memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Namun sebelumnya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi lukisan pemandangan Hindia Belanda karya cata air Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portofolio di Amsterdam tahun 1930.
Periode Mooi Indie telah begitu besar menyumbang dalam lanskap seni rupa modern di Indonesia awal. Tetapi setelah cukup lama menjadi barometer seni lukis modern Hindia Belanda, akhirnya Mooi Idie mendapat reaksi keras dari kaum Bumiputera. Dan seiring dengan gejolak ekonomi serta politik yang tidak kondusif menjelang tahun 1930-an. Di mana pada tahun-tahun tersebut lahir pemikiran kritis dari kaum Bumiputera, mereka merindukan akan kebebasan yang setelah sekian lama terpasung oleh kolonial. Gerakan-gerakan mulai muncul dalam bidang pendidikan, politik, kebangsaan, nasionalisme dan kebudayaan. lahir pula kelompok-kelompok pergerakan yang nantinya akan membawa ke gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Di lain pihak lahir pula pergerakan budaya yang memperjuangkan nilai-nilai nasionalisme, salah satunya adalah Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia.
Foto Anggota Persagi dalam rapat tahunan 1940 di Jakarta.
Lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia).

Lahirnya Persagi tentunya bukan tanpa sebab atau kasualitas, Persagi lahir sebagai bentuk protes atas nilai estetika oleh yang di usung oleh Mooi Indie. Tentu saja tidak disebabkan oleh satu persoalan tersebut di atas, tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi lahirnya pergerakan budaya tersebut. kondisi ekonomi dan politik pada masa tersebut memang menuntut pembaruan dalam segala bidang, tak terkecuali dalam bidang seni dan budaya. Di mana pada waktu kondisi ekonomi di Batavia memang sedang kacau. Memasuki  tahun 1930-an, keadaan Batavia telah  berbeda dengan awal abad 20. Keadaan semacam itu membuat keadaan masyarakat pribumi semakin sulit dalam kehidupan, dan memang keadaan pada zaman tersebut belum dapat dikatakan nyaman. Kondisi sosial masyarakat bawah yang kehidupannya berat, ternyata menggugah kesadaran dan visi baru kelompok Persagi untuk mengungkapkan realitas yang ada.  Tokoh utama dalam pergerakan budaya tersebut adalah Sudjojono yang menorehkan pemikirannya dalam tulisan yang banyak di muat di majalah atau surat kabar pada waktu itu.
Memang pada waktu itu kondisi Hindia Belanda sedang dalam progres untuk menuju pencerahan yang dikomandoi oleh kaum Pribumi terpelajar. Pada dasawarsa kedua abad 20-an memang muncul pergerakan pemuda yang di pelopori oleh Boedi Utomo sejak tahun 1908. Selanjutnya di susul dengan berdirinya perguruan Taman Siswa tahun 1922, Sumpah Pemuda 1928, dan pada bidang sastra muncul Poejangga Baroe tahun 1933, serta Polemik Kebudayaan 1935 sampai 1939. Dengan adanya organisasi pergerakan pemuda tersebut, ternyata menjadi stimultan dan terus memunculkan perkumpulan di bidang lain. Salah satunya adalah perkumpulan seniman yang mengibarkan bendera Nasionalisme dan berpihak pada Kerakyatan. Tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1938 Persagi lahir, yang merupakan akronim dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia.
Suasana rapat tahunan Persagi.
Deklarasi Persagi pada bulan Oktober tersebut berlangsung di  Gedung Sekolah Rakyat “Ksatryan School met de Qur’an”, di Gang Kaji Batavia. Pengurus Persagi pada periode pertama terdiri dari Agus Djaja sebagai ketua, Sudjojono sebagai sekretaris dan Rameli sebagai komisaris. Selain nama pengurus di atas sebagai anggota Persagi antara lain Soediardjo, L.Setiyoso, Emiria Soenassa, Saptarita Latief, Herbert Hoetagaloeng, S. Toetoer, Sindhusisworo, Soeaib, Soekirno, Soerono, Suromo dan Otto Djaja. Sebagai kelompok pergerakan di bidang budaya yang mengibarkan semangat baru dan panji-panji Nasionalisme Kerakyatan, Persagi aktif mengadakan rapat tahuan, diskusi, melukis bersama, dan pameran.
Tujuan dari kelompok Persagi ditekankan pada pencarian corak seni lukis Indonesia yang baru lewat kerjasama di sanggar dan diskusi antara sesama anggota. Pemahaman dari Persagi melukis tidak hanya pemandangan sawah, sungai, pantai dan gadis yang cantik. Tetapi melukis harus juga melihat dari sisi kemanusiaannya, selain estetika tedapat nilai lain yang harus dimunculkan dalam sebuah karya seni. Keyakinan lainnya adalah dalam melukis hendaknya bersikap sederhana dan jujur mengungkapkan objek. Realitas objek-objek di sekitar pelukis sesungguhnya merupakan kesaksian kehidupan yang kaya. Berkarya dengan jujur dan sederhana artinya membuat karya seni sesuai dengan realita yang ada dan tanpa ada untuk membaguskan objeknya. Misalkan lingkungan sekitar tentang peperangan, penderitaan rakyat kecil, gadis desa, objek tersebut digambar dengan jujur tanpa ada unsur rekayasa untuk memperindahnya. Biarkan realita itu bicara dalam sebuah karya seni, itulah faham yang diterus dikobarkan oleh kelompok Persagi.
Adalah S. Sudjojono yang aktif menyuarakan semangat seni lukis Indonesia Baru melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah dan surat kabar. Seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan suatu bangsa dengan sendirinya seharusnya mengungkapkan  corak yang cocok dengan watak bangsa itu. Meskipun demikian, lukisan-lukisan Indonesia pada saat itu belum juga mempunyai corak Indonesia. Hal itu karena kultur yang ada masih hilir-mudik. Di satu pihak masih besifat kejawaan, kekunoan, dan di lain pihak bersifat kebaruan jawa dan bahkan kebarat-baratan. Lewat tulisannya, Sudjojono menganjurkan kepada para pelukis untuk mempelajari kehidupan rakyat jelata di kampung-kampung dan di desa-desa.
Lukisan Agus Djaja "The Pursuit"
Bertolak dari kebiasaan para pelukis Mooi Indie, para pelukis yang tergabung dalam Persagi mencipta lukisan dari objek yang ada di lingkungan sekitar. Para pelukis tersebut melukis tentang kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka, tentang susana kampung, tentang penderitaan rakyat, seni pertunjukan, perjuangan, gerilyawan, dan gadis pribumi dengan nuansa yang sesungguhnya. Jadi para anggota persagi melukis realita tentang penderitaan rakyat jelata, selain menyentuh nilai estetika lukisan hendaknya menyentuh nilai kemanusiaan. Tetapi tidak semua anggota persagi mencipta karya yang berbau kemanusaiaan tetapi ada juga yang masih menggambar pemandangan. Selain itu ada juga yang mengadopsi tema budaya lokal seperti wayang, dimana itu terlihat pada corak lukisan Agus Djaja. Lukisan Agus Djaja mengadopsi unsur wayang, yang telah dideformasi dan tampak lebih ekspresif dan manusiawi. Hal ini dapat dilihat pada lukisannya yang berjudul “The Pursuit” (Pengerjaran). Dalam lukisan tersebut tampak sosok wayang sedang naik kuda sambil memanah, dimana lukisan tersebut merepresentasikan tokoh Arjuna yang gagah berani dalam dunia pewayangan.
Selain itu lukisan-lukisan Agus Djaja menggambarkan tentang kesenian rakyat, seperti yang berjudul “Ronggeng”, Tjap Go Meh”, “Topeng”, De Goochelaar (Tukang Sulap), dan “Koeda Kepang”. Lain lagi dengan Sudjojono, lukisan Sudjojono mencerminkan kegelisahan dalam menyelami realitas kehidupan. Karya-karya dari Sudjojono antara lain “Di Depan Kalmboe Terboeka”, “Mainan”, “Djoengkatan”, “Anak-anak Soenter”, “Tjap Go Meh” dan “Kawan-kawan Revolusi”. Selanjutnya ada pelukis Emiria Soenassa, adalah salah satu pelukis wanita Indonesia pertama yang bergulat dengan seni lukis sebagai ekspresi. Maka dari itu Emiria bergabung dengan Persagi sebagai media untuk mengepreksikan konsep estetikanya. Karya dari Emiria memiliki corak primitif yang mengungkapkan rasa naif yang jujur. Dimana itu tercermin dalam beberapa karyanya antara lain “Roemah di Tepi Hoetan” dan “Perkawinan Dajak”.
Karya dari Sudjojono "Di Depan Kalambu Terbuka" sedang di display oleh Mike Susanto (Dosen saya sewaktu Kuliah) dalam suatu pameran.
Otto Djaja merupakan pelukis termuda dalam Persagi, dan merupakan adik dari Agus Djaja. Karakter lukisan dari Otto Djaja mempunyai karakter naif yang cukup kuat. Karya-karyanya yang dikenal mempunyai karakter naif antara lain pada “Pertemoean” dan “Kethoek Tiloe”. Selanjutnya pelukis Persagi lainnya adalah R.M. Soerono, Soediardjo, dan Suromo. R.M. Soerono merupakan salah satu pelukis yang berbakat dalam seni lukis. Bakat seninya diasah oleh pulukis Belanda yaitu Velthyusen, hingga menjadi pelukis profesional. Lukisan-lukisannya antara laian berjudul “Terug van de Weide” (Kembali dari Padang Rumput), “Tarian Timoer” dan “Perahu Majang”. Anggota lain yang sudah terjun ke dunia profesional dalam dunia artistik adalah R.Soediardjo dan Suromo. Kedua orang tersebut bekerja sebagai drafter (penggambar) yang menangani pekerjaan lukisan kaca, mural dan keramik di biro arsitek Robert Deppe, di Batavia. S.Soediardjo mendapat perhatian besar dari para pengamat seni, karena kekuatan ekspresi lukisannya yang di pamerkan di Batavia Kunstkring yaitu “Bade om Zielenheid” (Doa untuk Pendeta)
Suromo adalah pelukis yang mengasah kemampuan artistiknya dengan bekerja di Batavia, sebagai desainer atau penggambar pada perusahaan Robert Deppe. Selain itu Suromo memeroleh kemampuan melukisnya dengan belajar akademis di Pringadi. Setelah pada masa setelah Persagi Suromo tetap dikenal sebagai pelukis yang aktif, dengan sifat sebagai “een geboren schilder” (pelukis berbakat), yang lebih suka bekerja dengan produktif daripada berdebat dalam wacana. Anggota Persagi lainnya adalah Abdul Salam, pelukis kelahiran Banyumas 1912, adalah ilustrator majalah mingguan “Pembangoen” dari surat kabar “Pemandangan”. Selain itu ia juga bekerja di bagian menggambar Kantor Statistik dan di kantor Biro Reklame “A de le Mar” Batavia. Suromo juga mengasah bakat melukisnya pada pelukis Belanda Pip Pijpers. Karya-karya dari Suromo memunculkan karakter kejujuran dan mengabdi pada realitas yang ada.
Pelukis Persagi selanjutnya adalah G.A. Soekirno, yang karakter lukisannya mempunyai kecenderungan pada gaya karikatural. Pelukis-pelukis di atas adalah yang memegang mempunyai karakter dalam ide maupun konsep. Mereka mencoba membuat lukisan dengan gaya tersendiri tanpa dibayang-bayangi oleh gaya Moii Indie. Sehingga dari corak lukisannya  cenderung ekspresif dan impresionisme, di Smana kedua aliran tersebut memang berasal dari Eropa. Tetapi ada Pelukis Persagi yang masih tetap berkarya di bawah pengaruh Mooi Indie. Mereka adalah Herbert Hutagaloeng dan S. Toetoer, yang masih berkutat dengan lukisan pemandangan yang indah dan hijau. Lukisan dari Herbert Hutagalung yang pernah dipamerkan dalam pameran bersama Persagi adalah “Eenzaam Bamboevolt” (Rakit Bambu yang Terasing). S. Toetoer yang masih senada karyanya dengan Herbert Hutagaloeng, menampilkan jenis karya yang masih berbau Mooi Indie. Karya-karya yang pernah dipamerkan dalam pameran pertama persagi antara lain “Indonesische Venus”, “Pemandangan di Molenvliet” dan “Pemandangan di Mega Mendoeng”. Menurut beberapa pengamat S.Toetoer mempunyai kekuatan warna yang berkualitas.
Untuk dapat membuktikan eksistensi kelompok mereka, maka dari itu Persagi mencoba mengadakan pameran sebagai bukti keberadaannya. Tetapi bukan usaha yang mudah untuk dapat memamerkan karya seni mereka pada zaman itu. Di mana kekuatan birokrasi pemerintahan di Batavia pada waktu itu masih dipegang oleh pemerintah Belanda. Persagi mencoba untuk dapat berpameran di gedung Bataviasche Kunstkring, tetapi upaya untuk pameran di gedung tersebut di tolak. Penolakan tersebut langsung dilontarkan oleh ketua dari Bataviasche Kunstkring, Mvr. De Loos Haaxman bahwa bangsa Indonesia dianggap hanya cocok sebagai petani. Pernyataan yang senada datang dari pelukis Velthuysen di koran Nieuwsgier , bahwa pelukis Indonesia lebih baik menanam padi saja, daripada melukis. sebab kalau menanam padi, orang Jawa udah mengerti dan menguasai.
Lukisan Otto Djaja "Pertemuan" yang memilki corak naif yang kuat.
Itulah pernyataan dari para penguasa Belanda yang diskriminatif, maka dari itu Persagi mencari jalan lain untuk dapat pameran perdana. Tetapi pada akhirnya Persagi dapat berpameran di toko buku Koff & Co. Pameran perdana tersebut diikuti oleh para anggota Persagi dan karya yang dipamerkan tanpa seleksi yang ketat, para pelukis dapat memutuskan lukisan yang akan dipamerkan. Pameran perdana tersebut berlangsung di bulan April 1940. Tahun berikutnya Persagi akhirnya dapat juga berpameran di gedung Bataviasche Kunstkring pada tanggal 7 sampai 30 Mei 1941. Keberhasilan tersebut merupakan fenomena yang sangat bermakna untuk pelukis pribumi. Laporan bernada positif datang dari surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, mengungkapkan bahwa pelukis pribumi yang sebagian besar adalah para pemuda, tidak menemui kesulitan dalam berkarya. Warna-warna lukisan mereka mencolok, dan pandangan keseniannya sering muncul lebih menyakinkan daripada bentuk lukisannya yang masih mencari-cari.
Itulah beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Persagi sebagai bukti eksistensi kelompok. Dengan membawa faham baru tentang corak seni lukis Indonesia yang baru, pelukis tersebut lepas dari tradisi lama. Dalam karya-karya mereka menampilkan beragam objek yang tidak hanya eksotis dan romantis. Tetapi dalam karya mereka terdapat kedalaman makna berupa nilai-nilai yang ditanamkan terhadap karya seni. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudjojono tentang gaya lukisan Mooi Indie. Bahwa lukisan-lukisan Mooi Indie yang serba tenang dan damai dikatakan sebagai pelepas jemu para turis yang dinegerinya hanya melihat skyscrapers (bangunan-bangunan pencakar langit). Lebih jauh Sudjojono mengungkapkan bahwa seniman Persagi tidak bisa menghormati pelukis-pelukis yang enak-enak menggambarkan lembah, gunung, awan-awan, dan mimpi di sorga sambil berkata : “O, romantisnya Priangan”. Disisi lain pelukis-pelukis itu tidak mendengarkan para petani yang mengeluh, merintih, dan menangis sebab kakinya terekena cangkul, berdarah dan luka parah. Lukisan-lukisan Mooi Indie itu barankali bagus, namun rasa kemanusiaannya tidak ada.
S.Sodjojono tokoh sekaligus penggerak Persagi.
Dengan keragaman konsep estetis atau kekayaan wacana dalam tubuh Persagi akhirnya melahirkan berbagai bentuk karya yang khas dari setiap senimannya. Disamping itu mereka mempunyai pandangan yang sama dalam mencari corak seni lukis Indonesia yang baru. Serta memperjuangkan harkat pelukis pribumi di mata orang Belanda, maka dari itu lukisan-lukisan anggota Persagi mempunyai corak yang lain dibandingkan dengan Mooi Indie. Kredo antiteknik dalam proses kreatif mereka semakin menguatkan kecenderungan kebebasan menuju ke corak lukisan ekspresionisme. Dalam perjalanan Persagi yang cukup singkat itu, tahap pematangan visi estetik anggotanya baru tercapai setelah Persagi bubar. Persagi bubar pada waktu pendudukan Jepang di Batavia sekitar tahun 1942, tetapi eksponen-eksponennya masih tetap berkarya dan tumbuh menjadi pelukis-pelukis yang mengisi kehidupan seni lukis Indonesia modern.
Itulah Persagi yang memberontak tradisi lama yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, dimana konsep estetis yang menurutkan selera turistis dihantam dengan konsep jiwa Nasionalisme kerakyatan. Dengan megibarkan panji-panji kerakyatan diharapkan corak seni lukis Indonesia baru akan muncul. Walaupun secara teknik karya dari pelukis Persagi masih mengadopsi dari Barat, yaitu teknik ekspresionisme dan impresionisme. Tetapi kandungan estetika dan konsep seni yang ada dalam karya seniman Persagi, mempunyai jiwa yang diharapkan membawa corak yang baru. Melalui penciptaan objek yang sesuai dengan realita diharapkan dapat memunculkan semangat dan jiwa Nasionalisme akan tumbuh pada tiap senimannya. Wacana paradigma seni lukis Indonesia Baru dari Persagi, akhirnya memberikan warisan yang laten yaitu perdebatan orientasi antara Timur dan Barat. Indentitas merupakan elemen yang menjadi wacana krusial dalam setiap periode perkembangan seni lukis modern Indonesia. Dengan itu Persagi telah membuktikan lewat paradigma dan karya yang membawa perubahan dalam seni lukis Indonesia modern.[]
///Diolah dari berbagai sumber.