Minggu, 28 April 2013

Sejarah dan Perkembangan Pensil

Sejarah dan Perkembangan Pensil



Pensil, benda yang satu ini jelas sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita. Benda yang panjang, bulat, atau segi enam dan ditengahnya terdapat elemen hitam yang dapat meninggalkan goresan hitam ketika di gores di atas kertas. Ya, itulah pensil yang sudah kita ketahui keberadaannya dan tentunya sudah tidak asing lagi di kehidupan kita sehari-hari. Kata pensil sendiri berasal dari bahasa Latin penicillus, yang artinya ekor kecil karena bentuknya memang seperti kuas kecil. Penggunaan pensil sebagai alat tulis, dan juga untuk membuat karya seni memang praktis dalam pengaplikasiannya. Benda yang praktis, kecil, mudah disimpan, dan digunakan tentunya mempunyai sejarah yang tidak tiba-tiba. Semuanya melalui tahapan demi tahapan. Tentunya kita harus tahu sejarah ditemukanya pensil dan perkembangan dari alat tulis yang sederhana tersebut. Berikut penulis akan mencoba merangkum tentang sejarah pensil dari literatur yang ada, dan semoga bermanfaat bagi kita semua.

Latar belakang sejarah.
Sejarah ditemukannya pensil kira-kira dapat telusuri sejak jaman Renaisance, tepatnya pada abad ke 15 dimana humanisme, ilmu pengetahuan dan seni modern sedang mulai berkembang di Eropa. Pada periode Renaisance pensil masih dalam bentuknya yang belum sempurna seperti sekarang. Pada zaman tersebut seniman Renaisance sudah mempergunakan batangan perak yang dibentuk seperti potlot untuk menggambar dan membuat sketsa. Bentuk awal pensil yang berupa batangan perak tersebut dikenal dengan nama zilverstift atau silverpoint. Secara teknis bentuk dari silverpoint masih agak tajam sehingga dapat merusak permukaan kertas. Maka dari itu penggunaannya pada waktu dengan cara menggosok ujungnya dengan amplas halus. Dan biasanya untuk mendapatkan warna keabu-abuan yang bagus, maka landasan yang dipakai berupa kertas dan papan yang dilapisi dengan pigmen putih.

silverpoint, pensil generasi pertama
Pada zaman Renaisance pensil generasi pertama tersebut sudah banyak digunakan oleh para seniman pada waktu itu. Seniman seperti Leonardo da Vinci, Albercht Durer, dan Rembrant Van Rijn dll. Selanjutnya bentuk pensil mengalami perkembangan dalam bentuk dan bahan baku dan kemasannya. Setelah periode Renaisans dengan pensil peraknya, selanjutnya pensil menggunakan bahan baku dari timah hitam. Pada waktu itu penggunaan timah hitam(lead/lood), dimasukan ke dalam selongsong (pot) seperti kulit domba atau potongan kecil berbentuk tongkat dibebat dengan tali. Pembungkusan timah hitam tersebut dikarenakan sifat dari timah yang teksrurnya mengandung minyak.Tidak seorang pun tahu siapa yang mula-mula mempunyai ide untuk memasukkan timah hitam ke dalam wadah kayu. Karena itu istilah lead pencil (pensil timah) atau pot lead/lood  masih digunakan sampai sekarang. Dari penggabungan kata pot dan lead, maka lahirlah istilah potlod atau potlot digunakan untuk menyebut jenis pensil ini yang berbahan timah hitam.
 Pada tahun 1504 di Borrowdale/Cumberland Inggris, perkembangan selanjutnya para seniman sudah memikirkan untuk mengolah dan menggunakan bahan mineral grafit sebagai bahan untuk melukis. Pemikiran dari para seniman tersebut, baru mulai di buat menjadi bentuk pensil yang berbahan baku dari grafit pada tahun 1662. Walaupun bahan grafit sudah dikenal pada tahun 1400-an. Kemudian bahan grafit tersebut digunakan menjadi bahan baku pensil, menggantikan timah hitam dalam selongsong kayu (pot). Namum penamaan “potlood”, sudah terlanjur untuk menyebut jenis pensil dari grafit, yang sebenarnya adalah sebutan untuk jenis pensil berbahan timah. Untuk mengklarifikasi penyebutan pada jenis pensil timah hitam yang dikenal dengan nama potlood, maka pada tahun 1789, ahli Geologi Jerman, Abraham G. Werner memberikan nama grafit, yang berasal dari perkataan Yunani graphein, yang berarti menulis. Jadi, isi pensil bukan timah melainkan bahan mineral grafit, yang kita kenal dengan pensil dengan bentuknya yang sekarang ini (modern).
Perkembangan pensil grafit selama bertahun-tahun, akhirnya Inggris memonopoli industri pembuatan pensil. Karena bahan grafit cukup murni untuk digunakan tanpa perlu diproses lagi. Tetapi di Prancis, seorang insinyur melakukan eksperimen dalam pengolahan bahan baku pensil tersebut. Hal ini dikarenakan  grafit Eropa kurang bermutu, maka pabrik-pabrik pensil di sana bereksperimen dengan berbagai cara untuk memperbaiki isi pensil. Insinyur Prancis tersebut adalah Nicolas-Jacques Conté. Conte mencampur bubuk grafit dengan tanah liat, membentuk campuran itu menjadi batang-batang, dan membakarnya dalam perapian. Dengan mengubah-ubah perbandingan grafit terhadap tanah liat, ia bisa membuat isi pensil yang menghasilkan berbagai gradasi warna hitam, proses yang digunakan sampai sekarang. Penemuan Nicholas Jaques Conte tersebut dikenal dengan sebutan “Pensil Konte”. Jenis pensil ini mempunyai kepekatan warna hitam dan tidak mengkilat ketika dogoreskan di permukaan kertas.

Nicholas Jaques Conte.
Pemrosesan pensil di era modern dibuat dengan menghancurkan grafit murni dan tanah liat menjadi bentuk bubuk. Campuran ini kemudian diberi air, dianginkan, dan kemudian dibakar selama tiga hari. Kemudian isi pensil yang telah dicetak menjadi bentuk yang panjang dan tipis dilapisi dengan kayu halus. Awalnya pensil lebih banyak dibuat dalam bentuk persegi karena keterbatasan mesin produksi. Nuremberg, Jerman adalah tempat kelahiran dari massa-diproduksi pensil pertama di 1662. Dipicu oleh Faber-Castell, Faber-Castell didirikan pada tahun 1761 di Stein, Jerman. Berawal dari pabrik pensil yang dibangun oleh Kaspar Faber (masa hidup 1730-1784) di Nuremberg, perusahaan itu pada awalnya hanya memproduksi pensil yang disebut ”Bleiweißstifte”. Kemudian bisnis itu berubah nama menjadi “A.W.Faber” yang diambil dari nama putra Kaspar, Anton Wilhelm Faber (masa hidup 1758-1810). Sepeninggal Kaspar, Anton Wilhelm mengambil alih kendali bisnis warisan sang ayah dan membuatnya berkembang pesat. Selanjutnya pendirian Lyra, Steadtler dan perusahaan lain, industri pensil aktif dikembangkan di seluruh revolusi industri abad ke-19.
Pada abad ke-19, pembuatan pensil menjadi bisnis besar. Grafit ditemukan di beberapa tempat, termasuk Siberia, Jerman, dan yang sekarang disebut Republik Ceko. Di Jerman dan kemudian di Amerika Serikat, sejumlah pabrik dibuka. Mekanisasi dan produksi massal menekan harga, dan pada awal abad ke-20, bahkan anak-anak sekolah menggunakan pensil. Awalnya pensil grafit diberi balutan kertas yang dirobek sesuai keinginan pemakainya. Namun kemudian ditemukan cara lebih praktis dan efisien dengan menyelimuti seluruh batang grafit dengan dua bilah kayu yang ditoreh untuk menyediakan tempat bagi batang grafit dan kemudian disatukan. Pensil di era modern dibuat dengan menghancurkan grafit murni dan tanah liat menjadi bentuk bubuk, diberi air, dianginkan, dan dibakar selama tiga hari, dicetak, dilapisi dengan kayu halus (awalnya lebih banyak dibuat dalam bentuk persegi). Namun hari ini, pensil lebih banyak ditemui bentuk bulat karena lebih nyaman digenggam. Dan selongsong pensil (grafit) tersebut berkembang tidak hanya dalam bentuk kayu, tetapi terbuat dari bahan plastik dan logam seperti yang kita lihat sekarang ini.

Komposisi bahan dan jenis pensil.

Ø      Pensil Grafit.
Pensil grafit adalah pensil yang kita gunakan sehari-hari dan pensil jenis ini merupakan jenis yang paling populer digunakan. Komposisi bahan yang digunakan dalam pensil jenis ini antara lain grafit sebagai bahan utama, kemudian dicampur dengan tanah liat dan bahan pengikat (binder). Grafit adalah bahan mineral/tambang yang merupakan satu keluarga dengan karbon, charcoal, dan diamond. Grafit berwarna iron grey yang mengkilat metalik, selain digunakan sebagai bahan utama pensil grafit juga digunakan sebagai komponen pengecoran logam serta sebagai pelumas. Bahan-bahan tersebut di atas kemudian dicampur dan di cetak dalam bentuk silinder kecil, yang kemudian dimasukan dalam selongosng kayu atau plastik.

Pensil grafit ini mempunyai tingkatan dalam ketebalan dan kerasnya bahan grafit tersebut. Maka dari itu pabrik yang membuat pensil jenis ini mencantumkan kode sebagai penanda dan sekaligus sebagai pembeda karakter pensil. Untuk pengaturan kode dicantumkan dengan kode H (hard) , yang menginformasikan bahwa komposisi grafit/lead yang keras. Yang berati komposisi bahan ini mengandung tanah liat yang dominan. Sedang kode B (boldnes) yang berarti kandungan grafitnya lebih dominan dari tanah liat, sehingga diperoleh ketebalan yang cukup.
Sedang jumlah tingkatan adalah 9 H untuk menandai yang paling keras, sedangkan 8 B untuk menandai yang paling tebal dan lunak. Semakin besar kode angka tersebut maka akan semakin keras untuk kode H dan semakin tebal dan lunak untuk kode B. Kelompok kode H biasanya digunakan untuk menggambar teknik, sedangkan kelompok kode B biasanya untuk menggambar bebas. Sedang untuk tingkatan medium diberi kode HB, digunakan untuk menulis. Perkembangan bentuk pensil ini mengalami perubahan dalam bentuk yang cukup bervariasi. Bentuk pensil tidak hanya silinder, ada juga bentuk polygonal, persegi, dan oval yang mempunyai mata pensil yang lebar.
 Warna pada pensil memperlihatkan area produksinya. Pabrik-pabrik di Amerika Utara memberi warna kuning, Jerman dan Brasil memberi warna hijau. India dan beberapa wilayah Asia memberi warna hitam dan merah. Swiss memberi warna merah. Sedangkan Inggris memberi warna kuning dan hitam. Kebanyakan standardisasi warnaini diciptakan produsen Faber-Castell. Namun ban yak pula produsen yang tidak mengikuti standar ini. Pensil Modern Pensil sekarang adalah alat tuilis dan gambar yang canggih sekaligus serbaguna, yang setiap tahun diproduksi di seluruh dunia hingga milliaran batang. Pensil dapat membuat garis sepanjang 60 kilometer dan menulis 45.000 kata.
Ø      Pensil Konte.
Nama pensil konte di ambil dari nama penemunya yaitu Nicholas Jaques Conte, seorang insinyur berkebangsaan Prancis. Pada dasarnya pensil jenis ini merupakan jenis arang gambar. Hanya saja telah melalui proses pembuatan yang lebih praktis. Yaitu melalui proses produksi dengan dicetak/press dan kemudian dimasukan kedalam tabung (pot), ataupun gulungan kertas yang padat. Keistimewaan dari pensil konte adalah dapat diruncingkan, sehingga dapat dipakai untuk membuat garis-garis detail maupun arsiran yang halus.
Untuk karakteristik dari jenis pensil konte ini mempunyai beberapa karakteristik yaitu, tipe soft, medium dan hard. Nama sebenarnya dari pensil jenis in adalah pensil arang, tetapi kita sudah terlanjur menyebutnya dengan pensil konte. Dimana penyebutan pensil jenis ini kerena merk dagang yang populer adalah Conte.  Yang diambil dari nama penemunya yaitu Nicholas Jaques Conte. 

Ø      Pensil Logam (stifthouder)/Pensil Mekanis.
pada prinsipnya pensil logam (bahasa Belanda : stifthouder) adalah sama dengan pensil grafit. Hanya yang membedakan dalam kemasanya saja atau pembungkusnya. Yaitu grafit tidak lagi di bungkus dengan kayu atau kulit, tetapi menggunakan selongsong logam atau plastik. Dan pensil tersebut sudah diberi tombol mekanis, sebagai alat penekan batangan grafit agar keluar dari selongsong jika akan dipakai.
Pensil mekanis ditemukan di Britania Raya pada 1822 oleh Sampson Mordan dan Gabriel Riddle. Awalnya Pensil Morgan berlabel SMGR. Simpson Morgan terus membuat pensil dan benda perak yang lebar sampai Perang Dunia Kedua, ketika pabriknya dibom.
Antara 1822 sampai 1874, lebih dari 160 hak paten telah didaftarkan berkaitan dengan keanekaragaman untuk mengembangkan pensil mekanis. Pensil mekanis berisi pegas dipatenkan pada 1877 dan mekanisme pengisian melilit dikembangkan pada 1895. Pensil mekanis untuk ukuran 0.9 milimeter dikenalkan pada 1938, dan kemudian diikuti dengan 0.7, 0.5, 0.3 bahkan ukuran 1.4 juga ada dan vesi 0.4, 0.2 kini diproduksi. Pensil mekanis menjadi tenar di Jepang dengan beberapa pengembangan di tahun 1915 oleh Tokuji Hayakawa, seorang pekerja besi yang selesai magangnya. Pensil mekanis ciptaannya dinamakan Ever-Ready Sharp Pencil.

Ø      Pensil Warna.
Pensil warna merupakan perkembangan dari pensil hitam, dimana untuk memenuhi kebutuhan para seniman atau ilustrator. Kegunaan dari pensil warna yang praktis memudahkan dalam membuat karya seni seperti desain, ilustrasi dan drawing. Komposisi dari pensil warna tentunya berbeda dengan pensil hitam. Komposisi dari warna pensil warna terdiri dari Leads, untuk pensil warna merupakan campuran antara pigment (organic dan inorganic), Kaolin, Carboxy Methyl Cellulose, Wax dan Surfactant. Bahan-bahan tersebut harus dicampur, dan di bentuk sehingga menjadi bentuk leads yang sempurna. Leads tersebut lalu dipotong dengan ukuran pensil dan melewati proses pengeringan.Setelah Leads mengering, leads dimasukkan ke dalam dua lembaran kayu yang sudah dicetak dengan bentuk alur dengan tambahan lem perekat. tersebut lalu di panaskan sehingga pensil tidak mudah patah.

Setalah semua komposisi bahan tersebut masuk dalam selongsong kayu, kemudian proses terakhir adalah pemberian warna pada selongsong kayu tersebut. Biasanya pemberian warna disesuaikan dengan warna dari leads pensil tersebut. Setelah itu baru proses pemberian merk atau branding. Secara historis perkembangan dari pensil warna ini, di kembangkan oleh Kaspar Feber yang mendominasi produk pensil di dunia. Yang kemudian dikembangkan oleh anaknya Anton Wilhelm, yang kemudian memegang indusrti pensil ternama yaitu A.W. Faber Castel. Dalam perkembangan selanjutnya, pensil warna penggunaanya menggunakan campuran air untuk mendapatkan kesan aquarel. Pensil warna jenis ini penggunaannya dengan cara menggoreskan lebih dulu di permukaan kertas, kemudian setelah itu goresan tadi disapu dengan kuas yang sudah dicelupkan ke air. []





Sabtu, 20 April 2013

Bioskop Sena Dalam Kenangan


BIOSKOP SENA DALAM KENANGAN

Masyarakat kota Bumiayu dan sekitarnya tentu tidak asing lagi dengan nama Gedong Bioskop Sena. Sebuah tempat pertunjukan masyarakat yang menyajikan film-film layar lebar, baik film Hollywood, India, Mandarin, ataupun film Nasional. Tetapi semuanya itu kini hanya tinggal kenangan dan menjadi sebuah ceritera dari para orang tua kita. Bioskop Sena merupakan sebuah kebanggan bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Dimana pada waktu itu periode tahun 50-an sampai 90-an, bioskop Sena ramai dikunjungi masyarakat Brebes Selatan untuk menyaksikan film-film favorit mereka. Namun segala sesuatunya memang mempunyai umur atau masa di dunia ini. Begitu juga nasib Gedong Bioskop Sena, sekarang hanya tersisa puing-puing yang tak terawat.
Keadaan semacam ini memang di pengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah sengketa kepemilikan gedung atau lahan tersebut, dan pengaruh teknologi yang menggantikan film layar lebar ke bentuk yang lebih portabel yaitu vcd dan dvd dan juga internet. Kondisi gedung tersebut sekarang sungguh memprihatinkan. Kondisinya tinggal puing hanya menyisakan bagian depan gedung tersebut dan tulisan “SENA”, yang masih terpasang di bagian atas depan gedung tersebut. Walaupun bagian samping gedung tersebut masih ada tetapi kondisinya sudah tidak utuh lagi. Gedung Sena bukan hanya sebuah bioskop yang menyajikan pertunjukan film, tetapi jika ditelusuri lebih jauh gedung tersebut memilki nilai historis yang penting dan sebagai saksi bisu sejarah di Bumiayu.
Eks, Bioskop Sena tampak dari depan, terlihat ditumbuhi rumput liar dan tembok sudah rapuh.

Sekilas Sejarah Gedong Sena.
Gedung yang terletak di jalan Ahmad Dahlan sebelah timur kantor Polsek Bumiayu, mempunyai perjalanan panjang sampai menjadi gedung bioskop Sena. Secara historis bioskop Sena memang mempunyai sejarah yang membekas di hati masyarakat, dan menjadi saksi bisu sejarah di Bumiayu. Gedong Sena berdiri di lahan bekas sekolah milik Tiong Hwa Hwee Koan (THHK). Yang awal pendiriannya dimulai sekitar tahun 1951. Di mana sebelum berdirinya Gedong Sena, yaitu pada tahun 1947 terjadi Agresi Militer Belanda I. Yang berimbas kepada keamanan nasional bangsa Indonesia yang baru dua tahun menikmati kemerdekaannya. Dimana imbas tersebut juga menyeluruh sampai ke pelosok penjuru tanah air, tak terkecuali di Bumiayu. Yang terjadi di Bumiayu adalah ketidakstabilan dalam keamanan dan terprovokasinya warga pribumi.
Pada saat terjadi agresi militer belanda I, di Bumiayu terjadi kerusuhan yang mengakibatkan dibakarnya bangunan-bangunan milik warga Tiong Hwa. Bangunan milik warga Tiong Hwa di bakar masa, dan tak terkecuali sekolah milik Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) ikut dibakar pula. Kerusuhan tersebut di picu bahwa warga Tiong Hwa tidak pro terhadap kemerdekaan. Sehingga yang terjadi adalah kebencian rakyat pribumi terhadap warga Tiong Hwa, dan memuncak pada pembakaran bangunan-bangunan milik Tiong Hwa. Kerusuhan antara warga pribumi dan warga Tiong Hwa pada waktu itu, menurut sejarah adalah karena politik adu domba penjajah Belanda. Menurut sumber sejarah yang berkaitan dengan peristiwa Agresi Militer Belanda I, bahwa warga Tiong Hwa dimanfaatkan oleh Belanda sebagai mata-mata. Di wilayah Brebes pada waktu itu warga Tiong Hwa dijadikan mata-mata Belanda untuk mengetahui “sarang” gerilya warga pribumi. Regu mata-mata Tiong Hwa disebut Po Ang Tui (PAT). Dari kausal tersebut maka timbullah kebencian rakyat in lander terhadap warga Tiong Hwa, dan berakibat kerusuhan antar etnis dan kekacauan keamanan.
Agresi Militer Belanda I mengakibatkan ketidakstabilan dalam segala bidang, bagi bangsa yang baru merdeka tersebut. Hal ini berimbas pada keamanan nasional, dan terhentinya aktivitas para warga pribumi. Dikatakan sepanjang Revolusi (1945-1949), lokasi bekas sekolah Tiong Hwa di Bumiayu menjadi sepi. Hal ini dikernakan kondisi kemanan yang tidak kondusif dan warga masih khawatir dengan Agresi Belanda. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 Juni 1949 Belanda meninggalkan Yogyakarta. Secara tidak langsung kedaulatan bangsa Indonesia kembali utuh. Pada waktu itu pula Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) kecuali Irian Barat pada bulan November 1949, yang berarti daerah-daerah yang diduduki Belanda termasuk kabupaten daerah Brebes harus kembali ke pangkuan RIS.
Setalah Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi, kondisi keamanan nasional kembali pulih. Aktifitas warga kembali berangsur normal dan diimbangi dengan perbaikan infrastuktur. Setelah kondisi kota Bumiayu yang berangsur aman dan kondusif, aktivitas warga juga kembali seperti biasa. Warga Bumiayu seolah membutuhkan kesegaran setelah kondisi yang carut marut akibat agresi militer Belanda. Maka dari itu pada 1951 di bangun sebuah gedung hiburan yang berdiri di atas tanah bekas sekolah Tiong Hwa tersebut. Gedung pertunjukan tersebut pada awalnya diberi nama Venus. Tetapi kemudian nama Venus diganti dengan Sena, karena pada saat itu di nilai terlalu kebarat-baratan, disebabkan semua yang berbau barat di larang pemerintah. Dimana pada waktu itu kepemimpinan bangsa Indonesia di pimpin Soekarno, yang mempunyai kebijakan anti Imperealisme Barat.
Pada awalnya pembangunan gedung Sena tersebut masih sebagai gedung pertunjukan, sebagai sarana hiburan rakyat dan tentara sehabis perang kemerdekaan. Lebih jauh kompleks sekolah Tiong Hwa tersebut pada jaman penjajahan, memang kerap dijadikan sebagai tempat pertunjukan. Jadi sebelum gedung Sena berdiri, memang pada waktu itu kompleks sekolah tersebut telah menjadi pusat hiburan masyarakat Bumiayu. Pada jaman pendudukan Belanda dan Jepang, kompleks tersebut sering dijadikan pementasan ketoprak, sandiwara dan tonil. Dan tentunya pada masa itu merupakan hiburan yang menarik bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya.
Setelah berdiri sebuah gedung pertunjukan yang awalnya bernama venus dan berubah menjadi sena, suasana hiburan di kota Bumiayu menjadi semarak. Gedung venus fungsi utamanya adalah sebagai gedung pertunjukan tonil, sebuah pertunjukan khas Belanda yang dipentaskan dan sebagai pengobat rindu tentara Belanda pada tanah kelahirannya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, gedung venus kemudian beralih fungsi menjadi sebuah bisokop. Nama venus masih tetap digunakan, hanya saja pertunjukan yang ditampilkan adalah film. Dimana film-film yang tayang pada waktu itu, adalah film “bisu” yaitu sebuah film hitam putih dan tidak bersuara.
Walaupun hanya menyaksikan film bisu, masyarakat Bumiayu pada waktu cukup terhibur. Film bisu seperti Charlie Chaplin sering ditayangkan di bioskop venus tersebut. Nama venus kemudian berganti menjadi Sena sekitar tahun 1955, dan pada tahun 1965 nama Sena sudah sangat terkenal di lingkungan masyarakat Brebes Selatan. Sejak saat itulah Gedong Sena menjadi tempat hiburan andalan dan favorit masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Pada periode awal Sena menjadi bioskop yang menayangkan film-film Barat dan Nasional. Dengan adanya hiburan berupa film format layar lebar, menjadi wahana hiburan dan sekaligus informasi bagi warga bumiayu. Film-film yang ditayangkan bioskop Sena selalu menarik dan dipenuhi para penonton dari sekitaran Bumiayu, seperti dari Sirampog, Tonjong, Paguyangan , Bantarkawung dan Salem. Dimana kota Bumiayu menjadi center dalam segala bidang bagi kecamatan-kecamatan disekitarnya, disamping kondisi demografi yang mendukung sebagai pusat aktivitas masyarakat.

Foto Eks, Gedong Sena, terlihat pula tembok sisi gedung yang sudah lapuk.

Memori dengan Gedong Sena.
Sebagai warga masyarakat Bumiayu tentunya mempunyai kenangan dengan Gedong Sena. Dimana setiap periodenya selalu menyuguhkan film-film yang menghibur dan menarik untuk selalu ditonton. Film-film yang ditayangkan mulai dari film-film Hollywood, mandarin, India, samapai film Nasional, tidak pernah sepi oleh pengunjung yang selalu ingin meyaksikan film favoritnya. Selera setiap individu berbeda dalam mengapresiasi karya seni, dalam konteks ini apresiasi terhadap film tentunya juga berbeda. Di Gedong Sena film yang disajikan memang variatif, tetapi mempunyai penikmat khusus. Film Hollywood tentunya tetap menjadi favorit dalam dunia perfilman.
Di bioskop Sena tidak hanya film Hollywood yang menjadi menu utama, setidaknya film-film India dan Mandarin selalu mendapat tempat di hati warga Bumiayu dalam menikmatinya. Di samping itu film-film Nasional juga tidak kalah ramai dengan film Barat, selalu saja ada yang menonton. Film Hidustan selalu ramai di kunjungi ketika di tayangkan di Gedong Sena. Para penontonya datang dari wilayah Bumiayu hingga ke pelosok, seperti Sirampog, Bantarkawung dan Paguyangan. Begitu juga dengan film Mandarin tidak kalah ramai dengan film India, karena produksi film dari tiap negara mempunyai ciri khas masing-masing. Sehingga selalu asik dan menarik untuk di tonton, film India identik dengan lagu dan tariannya dalam setiap film. Sedangkan film Mandarin khas dengan laga yang cepat dan sedikit lelucon di beberapa produksi filmnya.
Karakteristik dari tiap film tersebut tentunya memetakan para penikmat atau audiens dalam mengapresiasinya. Begitu juga dengan film-film Nasional yang ditayangkan di Bioskop Sena juga senantiasa dipenuhi para penonton fanatiknya. Dunia perfilman Nasional memang dari setiap periode mempunyai cirikhas masing-masing, latar budaya dan sosial mempengaruhi dalam produksi film Nasional. Film-film Nasional identik dengan drama, action, horor, sensualitas dan juga komedi. Dunia perfilman Nasional memang mengalami pasang surut, sehingga yang timbul adalah bagaimana cara mempertahankan kwalitas film. Pada periode 80-90-an, di bioskop Sena sering ditayangkan film-film Nasional dari mulai horor, action, drama, sensualitas hingga komedi. Film-film dengan narasi cerita tersebut senantiasa hadir dalam layar lebar di Gedong Sena.
Film dengan cerita silat atau pendekar pada era 90-an, ramai ditonton oleh para warga Bumiayu. Penulis ingat dulu ada sebuah tradisi dari beberapa sekolah di Bumiayu, menggiring para siswanya untuk menonton film Nasional yang di putar di Bioskop Sena. Film yang menggelorakan perjuangan dan budaya bangsa Indonesia, diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan terhadap film Nasional. Film-film seperti Fatahilah, Saur Sepuh dan Tutur Tinular, dan juga Rhoma Irama, ramai ditonton oleh para warga di Bumiayu dari semua kalangan juga oleh setiap umur. Film-film Rhoma Irama juga selalu ramai di tonton warga Bumiayu. Karena film Rhoma mengandung nilai budaya dan juga membawa misi moral dan sosial dalam setiap film, disamping misi humanisme lainnya. Film komedi Warkop juga sering ditayangkan di Bioskop Sena, film yang selalu mengundang tawa para penontonya menjadikan film Warkop senantiasa ditunggu.
Film-demi film terus ditayangkan oleh Bioskop Sena dari mulai siang hinggga malam hari. Dari siang sampai malam Sena selalu ramai dikunjungi oleh warga Bumiayu dan sekitarnya. Tetapi mulai rentang waktu 90-an akhir, Sena mulai sepi dan ditinggal para penggemarnya. Banyak faktor yang mempengaruh kenapa bisnis dunia perfilman mulai sepi. Salah satu faktor adalah perkembangan zaman dan kemajuan dibidang teknologi, menyebabkan minat menonton bioskop berkurang. Disamping juga kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mendera Bangsa Indonesia para akhir 90-an. Dimana pada waktu itu terjadi kudeta oleh kelompok reformis, dan menggulingkan kepemimpinan Suharto. Tetapi faktor yang paling berpengaruh adalah pergeseran dalam format film, sehingga mengubah dalam proses apresiasi karya film tersebut.
 Dengan adanya teknologi digital yang portabel, membuat dunia perfilman dan bisnis film layar lebar mulai sepi. Dengan adanya teknolgi seperti video compac disc (vcd), digital video disc (dvd), membuat film semakin dapat dengan mudah diaskses melalui teknologi portabel. Format film yang semakin simple membuat masyarakat Bumiyu berpindah dalam menikmati sebuah film. Masyarakat semakin pragmatis dalam setiap segi kehidupan tak terkecuali dalam menikmati sebuah film. Walaupun keberadaan vcd dan dvd pada waktu termasuk barang baru, karena bersifat baru tersebut masyarakat penasaran dan ingin mencobanya. Dengan adanya teknolgi baru tersebut di lingkungan kota Bumiayu, muncul penyewaan vcd dan dvd yang menyediakan ragam film. Disisi lain kondisi ekonomi bangsa Indonesia juga sedang dalam  kondisi krisis, sehingga banyak perusahaan atau bisnis yang gulung tikar. Hal ini karena perusahaan tidak dapat menutup biaya produksi.
Situasi semacam itu membuat Bioskop Sena tutup, Sena tutup atau berhenti beroperasi sekitar akhir tahun 1997. Setelah Sena tutup tentunya warga Bumiayu merasa kehilangan, sebuah tempat hiburan bioskop yang pernah berjaya kurang lebih lima dekade. Setelah tutup, Gedong Sena masih berdiri utuh dan masih terpampang poster-poster film di dindingnya. Sena masih berdiri kokoh tetapi tidak ada aktivitas seperti biasanya. Hari-hari setelah Sena tutup kompleks tersebut mulai sepi, hanya ramai oleh aktivitas pendidikan sekolah yang ada disekitarnya. Aktivitas hiburan sudah mulai hilang, warga Bumiayu sudah tidak dapat lagi menikmati suguhan layar lebar. Mereka sudah dapat menonton film lewat vcd, dvd, dan lewat televisi.
Tetapi bagi sebagian warga Bumiayu masih memendam kerinduan terhadap Gedong Sena. Itu terbukti setelah tutup beberapa tahun, Gedong Sena buka kembali sekitar tahun 2001-2002. Penulis masih ingat dimana pada waktu Sena buka kembali, masih saja ada penonton yang datang untuk menonton pemutaran film baru. Penulis sendiri serasa tidak percaya atau seolah mimpi, karena ingatan tentang Sena buka kembali serasa samar-samar. Tetapi memang Sena pernah buka kembali pada tahun tersebut, dan masih saja ada penggemar fanatiknya dan mendatangi Sena. Tetapi kejadian itu tidak bertahan lama, hanya sekitar beberapa bulan saja kemudian tutup lagi sampai dengan kondisi yang sekarang. Setalah Sena tutup  untuk yang kedua kalinya, gedung tersebut dibiarkan kosong dan tidak digunakan untuk kegiatan.

Bumiayu Underground Comunity, berpose bareng Betrayer di depan Clinic Underground.

Sena dan Musik Underground.
Sena yang sudah tutup tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan, gedung tersebut dibiarkan kosong dan tidak terurus. Tetapi disisi lain, dimana di Bumiayu pada waktu itu sedang tumbuh dan berkembang komunitas musik Underground. Komunitas musik ekstrim tersebut tertampung dalam wadah Bumiayu Underground Comunity (BUC). Dimana nama awal untuk komunitas tersebut adalah Bumiayu Corpse Grinder (BCG), dimana komunitas tersebut mulai muncul dan berkembang di Bumiayu sekitar tahun awal tahun 2000. Komunitas Underground di Bumiayu yang baru muncul tersebut, tentunya ingin menunjukan eksistensi kelompok mereka. Salah satunya adalah dengan mengadakan event atau acara musik yang menyajikan musik-musik keras. Idealnya dalam komunitas musik Underground tertanpung berbagai jenis musik, diantaranya adalah Black Metal, Ghotic Metal, Thrash Metal, Death Metal, Brutal Death, Grind Core dll.
Event pertama yang di adakan oleh kelompok Bumiayu Corpse Grinder (BCG), adalah Bumiayu Histeris I pada tanggal 17 Agustus 2000 bertempat di gedung Kawedanan Bumiayu. Dimana grup yang tampil antara lain Santet, Soulsick, Destruction, Horror, Trotoar Corp, Laknat, Akar dan Runtah Fir’aun. Event tersebut sebagai bukti bahwa di Bumiayu ada komunitas musik ekstrim dan patut diperhitungkan. Setelah event pertama sukses, event-event selanjutnya rutin di gelar hampir setiap tahun. Untuk penyelenggaraan event selanjutnya masih di gedung kawedanan dan selanjutnya di gedung Hok Gwan. Event Underground dengan judul seperti Bumiayu Histeris, Bumiayu Underground, Bumiayu Bawah tanah, Tembang Njero Lemah, intens diadakan setiap tahun di Bumiayu.
Event Underground tersebut memang selalu dipadati oleh para penggemar fanatiknya, hanya saja tempat penyelenggaraannya masih jauh dari nyaman. Disadari atau tidak Bumiayu pada waktu itu, memang belum mempunyai tempat pertunjukan yang layak. Bumiayu belum mempunyai gedung serba guna yang layak untuk berbagai seni pertunjukan. Dan bahkan sampai sekarang Bumiayu memang belum ada gedung serba guna, ke depannya Bumiayu diharapkan mempunyai gedung serba guna atau gedung kesenian. Jadi dengan kondisi semacam itu memaksa event-event musik yang berskala kecil, selalu di adakan di Gedung Kawedanan (eks. Kawedanan) dan event besar di Lapangan Asri.
Pamflet Event Underground Tembang Njero Lemah tahun 2003.
Kondisi yang tidak mendukung semacam itu membuat komunitas musik di Bumiayu, mencari tempat-tempat alternatif untuk dijadikan tempat pertunjukan. Di antara tempat yang dijadikan tempat alternatif untuk pertunjukan, adalah gedung Hok Gwan yang terletak di kompleks lap Asri. Dan tentunya adalah Eks. Gedong Sena yang sempat dua kali dijadikan untuk event musik Underground di Bumiayu. Event Underground yang sempat terdokumentasikan oleh penulis antara lain,  adalah Tembang Njero Lemah 30 Nopember 2003. Dan event Underground terakhir yang di adakan di eks Gedong Sena, adalah Bumiayu Undergroun IV 8 Februari 2004. Kedua Event tersebut menjadi titik kulminasi komunitas Underground Bumiayu, yang selanjutnya musik ekstrim di kota tersebut vakum.
Sedikit untuk mengingat event tersebut di atas, Tembang Njero Lemah pada tahun 2003 yang diadakan di eks.Bioskop Sena cukup ramai dipenuhi massa hitam. Event tersebut menampilkan band-band seperti Santet, Dhemit, Holly Guardian Angel, Anathema Dismorpheus, Zoilus, Demented, Sevile Dementia, Durgalameta, Authentic, dll.  Tahun selanjutnya yaitu pada tahun 2004 adalah Bumiayu Underground IV, acara ini menjadi penutup dan sebagai antiklimaks dari sebuah komunitas musik ekstrim di Bumiayu. Dimana pada event tersebut mendatangkan grup keras papan atas Indonesia yaitu Betrayer, yang melejit dengan hit Bendera Kuning. Selain Betrayer tampil juga band-band dari luar daerah seperti Sentet, Grafenberg, Against(Purwokerto),No Life, Kidung Kematian (Semarang), Erotic Nightmare (Brebes) dan Nilar Dunyo (Cilacap). Event yang terakhir ini sebagai penanda komunitas Underground Bumiayu akan vakum.
Pamflet Eevent Bumiayu Underground IV,tahun 2004 yang di adakan di Eks. Bioskop Sena.

Jadi Gedong Sena setelah tutup dan tidak digunakan, justru dimanfaatkan oleh komunitas musik yang ada di Bumiayu salah satunya adalah komunitas musik Underground. Kondisi seperti itu dikarenakan tidak adanya sebuah gedung serba guna atau gedung pertunjukan yang layak, sehingga komunitas yang ada di Bumiayu memanfaatkan tempat-tempat alternatif seperti eks. Bioskop Sena. Sekali lagi disini Gedong Sena juga menjadi saksi sejarah perkembangan musik di kota Bumiayu. Gedong sena tetap menjadi sebuah tempat yang akan selalu di ingat oleh warga Bumiayu. Dimana secara historis memang di kompleks tersebut dulunya sebagai tempat pertunjukan rakyat.
Dan diharapkan ke depannya di Bumiayu, akan mempunyai sebuah tempat pertunjukan atau gedung serba guna. Sehingga iklim berkesenian di Bumiayu akan tumbuh aktif dan dinamis, dimana gedung pertunjukan berperan penting dalam scene dunia seni. Dan tidak memnutup kemugkinan di kompleks eks.Gedong Sena dapat dibangun sebuah Gedung Pertunjukan Rakyat. Mengingatkan pada periode dahulu dimana seni yang menghibur rakyat akan selalu ramai, karena seni itu secara substansial akan disajikan dan dinikmati oleh audiens(rakyat). Penulis sebagai salah satu pelaku dan pemerhati seni di Bumiayu, mengharapkan kedepannya Bumiayu akan mempunyai sebuah gedug Pertunjukan Rakyat. Mudah-mudahan dari sebuah catatan kecil ini, dapat menjadikan wacana bagi para pembaca dan pelaku seni di Bumiayu dan sekitarnya. Terakhir  saran dan kritiknya penulis tunggu untuk menyempurnakan catatan kecil ini, yang menurut penulis masih jauh dari sempurna. 

Salam Budaya!!
Referensi
·         Nara Sumber dari Berbagai Tingkat Usia.
·         Radar Brebes, Selasa 11 April 2013.
·         Sejarah Kabupaten Brebes (e-book).





Selasa, 02 April 2013

Cultural Studies

Cultural Studies.


Masyarakat dan Media Kontemporer

Membaca peradaban manusia.
Dunia yang didiami manusia selalu berpogres meninggalkan masa lalunya, karena manusia itu sendiri dibekali akal dan pikir untuk mengolah dan mengubah dunia sesuai dengan yang diinginkan. Dan tentunya akal dan pikir itu terbatas tidak dapat mengubah atau menjadikan segala sesuatunya absolut, karena kesempurnaan absolut itu hanya Tuhan yang memiliki. Peradaban manusia dari masa ke masa selalu menghasilkan budaya dan hasil pikir yang tentunya berbeda. Peradaban manusia pra sejarah tentunya berbeda dengan peradaban klasik atau gothic. Pemikiran manusia terus berkembang dan belajar dari kesalahan masa lalunya, menjadikan manusia itu memiliki bekal untuk bangkit dan mengubah peradabannya sendiri. Semua pemikiran dan ide terus berkembang untuk menghasilkan sesuatu yang memudahkan manusia dalam menaklukan dunia itu sendiri.
Penemuan demi penemuan hadir melengkapi kehidupan dan sebagai penunjang untuk mencapai sebuah tujuan. Penemuan-penemuan penting dari masa ke masa menandai bahwa manusia memang membutuhkan alat atau instrumen untuk mencapai sebuah tujuan. Ide-ide yang dihasilkan manusia itu dapat dikatakan sebuah keajaiban dalam mengolah dan membuat peradaban semakin maju. Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf Yunani Sofokles “Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib dari pada manusia”. Tentunya pendapat di atas adalah sebuah ungkapan yang antroposentrisme, dimana dalam konteks tersebut mengabaikan kekuatan yang Absolut dan manusia sebagai pusat alam semesta. Memang manusia disebut juga homo sapiens, mahluk arif yang memiliki akal budi sehingga dengan demikin mengungguli semua mahluk hidup yang lain. Nama lain untuk menunjukan manusia adalah homo faber, manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan malah menciptakan alat-alatnya sendiri. Dalam bahasan ini memang akan difokuskan pada ide, pemikiran, ideologi, dan hasil karya cipta dari manusia.
Memang sebuah peradaban diciptakan oleh manusianya, sehingga ia dapat menaklukan dunia. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa manusia adalah mahluk yang serba butuh fisik dan rohani. Kebutuhan menunjukan bahwa manusia adalah mahluk yang belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus berkerja dan berkarya(menciptakan). Hal ini tentunya akan relevan dengan ungakapan Rene Descrates “Cogito ergo sum”, yang mengandung arti aku berpikir maka aku ada. Dari keterangan di atas menjadi jelas, bahwa manusia itu adalah mahluk yang terus berpikir untuk menghasilkan karya sebagai wujud eksistensi individual atau kelompok. Tetapi dalam perkembangannya manusai terkadang lupa atau dimanfaatkan oleh sebuah ciptaannya. Dalam konteks ini ia tenggelam dalam keramaian dan kebisingan massa, “Weltverlorenheit” kata Heidegger. Ia kehilangan kediriannya untuk menjadi fungsi bagi seluruh mekanisme hidup.
Kita tahu hasil budaya yang diciptakan manusia dapat berupa seni, alat-alat, penemuan, tempat ibadah, dan teknologi. Dan pada hakekatnya kebudayaan adalah perwujudan proses perkembangan manusia. Namun adalah ironi bahwa pada suatu ketika manusia diperbudak oleh hasil karya kreasinya sendiri. Disini manusia mulai dihimbau oleh hasil-hasil yang serba modern dan mutakhir, sehingga ia tidak sadar terperangkap dalam kehidupan mekanistis. Dan tentunya kita semua menyadari bahwa perkembangan teknolgi yang diciptakan manusia, dapat membawa manusia menemukan kemudahan, tetapi disisi lain manusia juga dapat diperbudak oleh hasil ciptaannya. Memang terjadi kontradiksi mengenai hasil ciptaan manusia, di sisi lain dapat membantu manusia tetapi di sisi lain dapat merugikannya. Itu semua tergantung dari manusianya sendiri dalam menggunakannya. Maka dari itu kita di tuntut bijaksana dalam menggunkaan segala sesuatunya entah itu teknologi, ilmu pengetahuan, atau yang lainnya.
Dengan adanya perkembangan teknologi memudahkan manusia dalam segala sesuatunya. Namun kalau kita tengok ke belakang, perababan manusia secara historis memang menuntut sebuah kemajuan dalam segala bidang, tak terkecuali dalam bidang teknologi dan juga pemikiran filsafat. Pemikiran filsafat seolah menyempurnakan dari sebuah peradaban manusia dan sebagai penyeimbang apa yang telah di capai oleh manusia. Peradaban Yunani melahirkan para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Thales, Anaximenes, Heraklitos, Parmenides dan masih banyak lagi. Dimana para filsuf jaman tersebut masih mencoba memecahkan misteri tentang alam semesta dan kehidupan di bumi. Pada periode selanjutnya muncul filsuf seperti Rene Descrates, Auguste Comte, Imanuel Kant, Hegel, Nietzshe, Sartre, Karl Marx, dan lainnya. Pada periode ini para filsuf mencoba memikirkan tentang manusia dan kehidupan.
 Hingga perkembangan filsafat manusia telah melangkah jauh dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal. Dari era klasik, modern dan postmodern, telah melahirkan banyak sekali para pemikir. Dalam konteks bahasan ini akan difokuskan pada hasil ciptaan manusia yaitu berupa teknologi, dan bagaimana kita menyikapi dan pemikiran seperti apa yang relevan dengan kondisi manusia postmodern pada saat ini. Memang tidak dapat dipungkiri dengan adanya teknologi kita dimudahkan dalam segala sesuatunya. Tetapi dalam praktiknya karena terdapat perbedaan dalam menyikapi teknologi maka yang terjadi adalah sebuah kelalahpahaman. Karena laju teknologi yang berkembang sangat cepat, sehingga ada sebagian manusia yang tidak siap dengan kondisi yang ada dihadapannya. Maka yang terjadi adalah  shock culture atau bahkan phantasmogoria, akibat yang ditimbulkan dari sebuah teknologi ciptaan manusia itu sendiri.

Kondisi Postmodern.
Di atas telah dibahas mengenai peradaban dan filsafat manusia yang mengubah arah pemikiran manusia dan juga hasil ciptaannya. Itu semua sebagai dasar dari tulisan ini, dimana pemikiran manusia dari masa ke masa selalu berubah. Sehingga yang timbul adalah perbedaan epistemologis atau paradigma dari setiap individunya. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu belantara postmodernisme yang menjadi bahasan tulisan ini. Pemikiran atau teori apa saja yang dirasa relevan dalam penulisan ini, sehingga nantinya tidak terjadi salah interpretasi. Memang pada era sekarang kita ini hidup dalam era postmodernisme, yang jauh berbeda dengan era modern atau klasik.
Sebelum era postmodern tentunya ada sebuah masa yaitu, modern. Modernitas adalah sebutan bagi kondisi kongkret sosial, ekonomi, politik, dan budaya, zaman modern berbeda dengan jaman pertengahan. Dan munculnya masa modern tersebut dipicu oleh peristiwa penting yang akan mengubah arah pemikiran manusia. Peristiwa-peristiwa penting yang mendorong modernitas antara lain (a) Revolusi Ilmu Pengetahuan (b) Revolusi Prancis dan (c) Revolusi Industri Inggris. Semua itu menjadi tanda dalam era pemikiran baru setelah abad pertengahan atau abad kegelapan. Dan era modern melahirkan elemen-elemen modernisasi seperti Sains dan Teknologi, Demokrasi dan Kapitalisme. Dan ciri masyarakat modern adalah heterogen, industrial, dan sekuler dimana sains dan teknologi ganti memainkan peran kunci menggantikan tradisi dan agama. Era modern sekaligus sebagai penanda lahirnya sebuah pemikiran selanjutnya, yaitu postmodern.
Postmodern adalah sebuah era setelah modern, dan ditandai dengan pemikiran yang lebih bebas dan lepas dari struktur. Istilah postmodernisme sendiri sesunggunya sudah digunakan sejak tahun 1917 oleh Rudolph Pannwitz. Pannwitz adalah seorang filosof Jerman yang secara kritis menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan barat modern. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa, istilah postmodern pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada 1930-an, untuk menunjukan reaksi minor terhadap modernisme. Terdapat perbedaan dalam mendifinisikan munculnya istilah postmodern, tetapi pada intinya era postmodern memutus hubungan dengan pemikiran masa lalu. Awalan ‘post’ mempunyai arti sesuatu yang datang setelahnya, sesuatu pecahan atau pemutusan dengan modern yang di definisikan dengan cara pembedaan pula dengan modern itu.
Postmodern ditandai dengan kondisi pemikiran yang bebas, Re-interpretasi, Parodi, Intertektualitas, Strukturalisme, Poststrukturralis, Dekontruksi, dan Semiotika. Sebagai realitas pemikiran baru postmodernisme meluluh-lantakan konsep modernisme seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya represantasi istimewa tentang dunia dan sejarah linier. Kondisi seperti ini seolah membebaskan pemikiran manusia keluar dari lingkaran, sehingga dihasilkan pemikiran-pemikiran baru. Dan sebagai aliran yang menekankan perbedaan, memperlihatkan kecondongan untuk meniru dan mengadopsi filsafat ‘inklusif’ yang menyerukan penggunaan secara eklektis unsur-unsur dari masa lampau. Dan kondisi postmodernisme, sebaliknya menghargai kembali narasi-narasi kecil (little naratives), yaitu permainan-permainan bahasa (language game) dan bersifat heterogen, yang dimainkan dalam institusi-institusi lokal yang plural, yang unik, dan mengacu pada aturan-aturan main yang bersifat determinasi lokal. Semua  itu menjadi satu paket dalam satu kemasan yang disebut postmodernisme.
Dalam dunia seni kehadiran postmodern disambut oleh para seniman dengan antusias, karena dirasa telah membebaskan dari belenggu kreativitas. Seniman postmodern dapat berkarya dengan mengadopsi reruntuhan pemikiran masa lalu dan menciptakannya dalam bentuk yang baru. Di antara berbagai ciri yang berasosiasi dengan postmodernisme dalam bidang seni adalah : penghapusan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari; runtuhnya perbedaan hierarkis anatara budaya tinggi dengan budaya umum; suatu pencampuran stilistik yang mementingkan ekletisisme dan pencampuran berbagai aturan; parodi, pastiche, (karya seni yang dimaksudkan untuk menyindir seniman lain), ironi, lelucon dan pertunjukan tentang ‘kedangkalan’ permukaan budaya: menurunnya keaslian/bakat produser seni; dan asumsi bahwa seni hanya merupakan pengulangan.
Lantas apa yang terjadi dalam dunia teknologi pada era kontemporer, apakah mengakibatkan efek pada manusianya? Dan bagaimana manusia postmodern menyikapi sebuah loncatan teknologi yang cukup jauh. Jika tidak ada kesiapan pada manusia dalam menghadapi gempuran teknologi yang begitu cepat, maka yang terjadi adalah shock culture dan phantasmogoria atau bahkan chaos interpretation. Memang kita harus siap dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat dan membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Menurut Toynbee kemajuan teknologi Barat telah menimbulkan krisis kemanusiaan melalui beban biaya perubahan yang diluar kapasitas kehidupan individu yang bisa diadaptasi. Memang inilah kondisi masyarakat kontemporer yang tidak dapat dilepaskan dari peran sebuah teknologi ciptaan manusia itu sendiri.

Masyarakat Cyber.
Salah satu tanda masyarakat kontemporer adalah kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi masyarakat yang menuntut segala sesuatunya serba cepat, instan, cepat saji, dan pragmatis. Dan sebagai solusi itu semua maka di gunakan teknologi, yang akan mempermudah manusia dalam mencapai tujuannya. Salah satunya adalah teknologi internet atau jaringan global, yang menghubungkan manusia dari berbagai belahan dunia melalui sebuah layar. Jaringan internet atau juga dapat disebut juga dengan istilah cyberspace atau dunia virtual. Jaringan intrenet mempermudah mendapatkan segala sesuatunya, dari mulai konsumsi, komunikasi, bacaan, literatur, informasi, dan bahkan seksualitas. Semua itu dapat hadir di jaringan internet dalam bentuk simulasi dari dunia nyata dan bersifat tidak aktual. Kapan tepatnya istilah cyberspace muncul di dalam kehidupan kontemporer tentunya dapat ditelusuri secara historis.
Istilah cyberspace diperkenalkan pertama kali oleh seorang novelis fiksi ilmiah William Gibson dalam bukunya Neuromancer. Dia mendifinisikan cyberspace adalah sebuah “....halusinasi yang dialami oleh jutaan orang tiap hari ....(berupa) representasi grafis yang sangat kompleks dari data di dalam sistem pikiran manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap komputer. Cyberspace telah menjadi bagian dari manusia postmodern, mereka sudah terbiasa menggunakan piranti dan aplikasi yang ada dalam jaringan komputer. Masyarakat modern dan postmodern dalam setiap segi kehidupannya sudah terkomputerisasi dan terkoneksi dengan jaringan global. Dunia cyberspace merupakan sebuah ruang simulasi, ilusi, tidak nyata, tidak aktual dan bersifat virtual. Dunia tersebut menjadi metafor sebuah “ruang” simbolis yang menjadi tempat “kediaman” jutaan manusia, tidak dalam pengertian fisik dan kadang-kadang ia dipertukarkan dengan istilah net.
Manusia kontemporer terkumpul dalam sebuah jaring (net) virtual, yang menjadikan mereka terhubung dengan manusia di belahan benua lain. Walaupun ruang tersebut tidak aktual atau bahkan sebuah simulakrum dari dunia nyata, tetapi manusia sudah terlena dengan apa yang diciptakannya. Dunia virtual adalah sesuatu yang nyata namun tidak konkret. Dan secara etimologis adalah apa yang menjadi esensi tetapi tidak dalam bentuk. Memang semua itu dapat melebur dalam sebuah layar digital, semua bersifat semu dan tidak konkret. Menurut Joseph Levy, virtual adalah keadaan yang tidak aktual dalam hakikat dan efek, tetapi aktual dalam fakta. Tetapi masyarakat postmodern menikmati segala kemudahan yang diperoleh dengan teknologi. Semua teknologi tersebut memudahkan manusia berselancar dalam mengarungi dunia dan mencari informasi yang cepat atau instan. Dan ini menjadi ciri masyarakat postmodern ditandai oleh kedangkalan, kepura-puraan atau kelesuan emosi, hilangnya historisitas, teknologi reproduktif, dan dasar semua ini adalah sitem kapitalis multinasional.
Manusia postmodern masuk dan menikmati sebuah ruang imajiner cyberspace, dan bersosialisasi menggunakan media tersebut, walaupun secara substansial ruang tersebut bersifat maya atau semu. Ruang cyberspace adalah data space, yang dibentuk oleh bit-bit atau bytes, yang terbebas dari hukum fisika. Di dalam cyberspace, hukum fisika yang bekerja dengan cara yang berbeda : tanpa gesekan (zero friction), gravitasi extra (extra-gravitation), dan geometri non-Euclidean, yang semuanya dapat menghasilkan pelbagai skenario kehidupan virtual yang sangat menjanjikan. Dengan adanya dunia cyber kita dapat merasakan dan mendapatkan pengalaman-pengalam baru. Dan pengalaman tersebut hampir sama dengan yang ada di dunia nyata. Dan sebagaimana telah disebutkan di atas dengan adanya kemudahan tersebut kita menjadi masyarakat yang tidak kreatif, serba instan, reproduktif, reinterpretasi, anti sosial, bricolage, dan intertekstualitas.
Memang itulah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya media virtual atau cyber, semua itu tidak dapat dihindari dalam kehidupan kita. Dengan adanya media cyber kita dapat pengalaman baru yang tidak terbayangkan sebelumnya di dunia nyata. Dengan adanya internet kita dapat melakukan kegiatan sehari-hari yang ada di kehidupan nyata (bisnis, rapat, diskusi, hiburan, belanja, kuliah, seks) dengan cara yang baru, yaitu virtual. Sehingga kita seolah dapat merasakan perasaan baru yang ditimbulkan oleh media cyber tersebut, walaupun perasaan tersebut tidak nyata tetapi rasa (sense) tersebut hampir mendekati apa yang ada di dunia nyata. Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi cyberspace merupakan pembesaran efek perasaan tersebut. Menurut Yasraf Amir Piliang terdapat lima perasaan yang diakibatkan oleh dunia cyber, yang pertama adalah perasaan meruang (sense of space), perasaan menyata (sense of the real), perasaan mendiri (sense of the self), perasaan mengkomunitas (sense of comunity), rasa menavigasi atau kuasa(sense of power).
Dan kita sebagai manusia postmodern seolah hanyut dalam sebuah ekstse yang ditimbulkan oleh media tersebut. Didalam dunia cyberspce selain kita dapat merasakan perasaan yang hampir sama dengan kehidupan nyata. Tetapi di sisi lain efek yang ditimbulkan oleh cyberspace adalah hilangnya nilia sosial dan batas sosial. Walaupun lewat media jejaring sosial yang ada di internet, kita dapat terhubung dengan komunitas atau individu lain. Tetapi semua itu bersifat semu dan tidak berdasarkan ideologi kebangsaan atau semangat berpikir kreatif, semua itu membuat kita larut dalam ektase hiburan semata. Di dalam era globalisasi dan abad virtual dewasa ini, banyak konsep-konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos. Itulah gambaran realitas sosial yang ditimbulkan akibat dari dunia cyberspace yang ada hanya realitas semu. Dan kita bahkan menjadi lupa dengan realitas sosial yang ada di sekitar kita. Kita lebih senang berkomunikasi dengan orang yang ada dalam media internet, dibanding dengan tetangga kita sendiri, dengan teman kita atau lingkungan keluarga, kita hanyut dalam sebuah komunitas virtual. Yang ada sekarang bukanlah satu komunitas yang diikat oleh satu ideologi politik tertentu, malainkan individu-individu yang satu sama yang lain berlomba dalam sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan masyarakat konsumer. Itulah sebuah ironi dalam rimba postmodern dan kita ternyata sudah melakukan hal-hal tersebut di atas.
Dengan adanya dunia virtual masyarakat kita dituntut untuk siap mengikuti arus, yang tidak mengikuti maka dapat dipastikan akan tertinggal dalam informasi dan juga ilmu pengetahuan. Dunia cyber menawarkan berbagai kemudahan dalam mengakses segala informasi, tetapi di sisi lain cyber juga mengakibatkan ketidakpastian dalam makna atau tanda. Dalam artian ketika kita mengakses sebuah informasi, tetapi apakah informasi tersebut valid atau tidak atau hanya pseudo bahkan hoax. Disini  terjadi ambiguitas dalam hal pemaknaan suatu informasi atau data yang diperoleh lewat internet. Tetapi itulah kondisi sekarang yang penuh dengan kedangkalan, reproduksi makna, reinterpretasi, intertekstualitas, dekontruksi, pastiche, bricolage, hiperkonsumsi dan lainnya. Salah satu problematika di dalam dunia hiper-realitas dan cyberspce adalah meluasnya kebrutalan tanda (cybersemiotic violence). Pemerkosaan terhadap gambar, hibrida visual yang tidak terkendali, image violence, cyber crimanilty, distorsi terhadap kebenaran, pembalikan arah informasi, pemutar balikan fakta, perusakan ikon-ikon pada situs, simulakrum media- adalah di antara pelbagai kekerasan semiotik, yang memenuhi sudut-sudut ruang di dalam dunia hiper-realitas dan cybersapace.

Ketika Gogling dan Re-Post dipermasalahkan.
Di atas telah dibahas panjang lebar dari mulai peradaban manusia, postmodern, cyber, maka dalam bahasan selanjutnya akan difokuskan, pada fenomena yang ada dilingkungan penulis tinggal. Penjelasan di atas diharapkan menjadi landasan dalam pokok bahasan berikut, sehingga tidak terjadi salah interpretasi atau salah penafsiran. Kita tahu dan menyadari di abad milenium ini, kita memang membutuhkan beragam infrormasi yang cepat dan aktual. Kita membutuhkan pengetahuan atau wawasan karena kita merasa dituntut oleh semangat jaman, yang memang menuntut kita selalu up to date dalam segala hal, tak terkecuali teknologi. Manusia postmodern memang ditandai dengan kemajuan teknologi, dan teknologi membuat manusia dapat mengakses segala informasi yang datang. Dan dengan teknologi manusia menciptakan barang-barang konsumsi dengan cepat.  Sehingga proses konsumsi akan terus dapat dipertahankan dalam rangka mewujudkan kapitalisme global.
Media sebagai perpanjangan tangan dari postmodenisme dan sekaligus kapitalisme, seolah menjadi alat yang sangat ampuh dalam menjalankan tugasnya. Kita tahu dalam postmodern segala sesuatunya menjadi bisa dan dapat dilakukan atau dilaksanakan. Paradigma postmodern lepas dari tradisi lama yang terlalu memenjara pikir manusia. Sehingga yang timbul pemikiran kritis yang membawa perubahan dalam peta ilmu pengetahuan manusia. Ferdinand de Sausure melahirkan semiotika diikuti oleh Roland Barthes dan Umberto Eco. Jaques Derida melahirkan paradigma dekonstruksi, Julia Kristeva menyarankan intertektualitas. Lahir pula istilah simulasi, bricolge, hiper-realitas, Genealogi, kitsch, parodi, pastiche, dan lainnya. Semua itu lahir di era postmodern, pemikiran atau konsep tersebut mempermudah manusia mengolah pengetahuan dan menciptakan.
Dalam konteks ini adalah ketika kita mengakses sebuah informasi melalui internet atau mengkopi informasi, masih ada sekelompok orang yang mempermasalahkan dari mana informasi tersebut di dapatkan. Jika kita memahami konsep dari postmodern maka kita tidak akan meributkan tentang bagaimana kita memperoleh sebuah informasi atau mengirim kembali informasi tersebut (re-posting). Dengan adanya media internet tentunya kita dapat dengan cepat memperoleh informasi, dengan mesin pencari google kita dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang kita inginkan. Disisi lain ketika kita menampilkan informasi tersebut dengan sedikit penambahan atau polesan, bukan berarti kita menyalahi sebuah aturan atau dikatakan tidak kreatif. Konsep postmodern adalah mengikuti percepatan informasi yang datang kehadapan kita, dan pemikiran postmodern adalah memungut puing-puing masa lalu dan menampilknnya dalam bentuknya yang baru.
Internet adalah media yang praktis, kita dapat menggunakannya dimana saja, apalagi sekarang internet sudah terkoneksi dengan jaringan telepon seluler (HP), semakin mudahlah kita memperoleh informasi. Mesin pencari informasi semakin banyak dan semakin praktis dalam pengaplikasiannya. Internet dapat juga dikatakan jendela dunia tentang infromasi terkini. Kita dapat mengakses informasi kapan saja dan dimana kita berada, dapat terkoneksi dengan jaringan global tersebut. Akan menjadi ironi ketika ada sekelompok orang yang mengatakan dengan sinis. Bahwa memperoleh informasi menggunakan mesin pencari seperti google atau istilahnya gogling seolah diharamkan(hal ini terjadi di lingkungan penulis berada, ada sekelompok individu yang masih konservatif). Sebagai bahan komparasi para pemikir Yunani ketika itu mereka mempelajari dan mencari informasi(ilmu) dari alam, dan memang kondisi pada saat itu masih pada periode yang mana teknologi belum semaju sekarang. Akan menjadi naif ketika sekelompok orang mencari kesalahan seseorang, dengan cara mengatakan bahwa gogling diharamkan atau tidak kreatif.
Pendapat tersebut mamang dapat dibenarkan adanya, hal ini karena informasi yang didapatkan dari internet tekadang tidak valid atau istilahnya hoax. Tetapi tidak semua informasi dari internet palsu atau psuedo, memang itulah kondisi yang diakibatkan oleh media dan yang terjadi adalah hiper-realitas media. Maka yang terjadi adalah ketidak percayaan pada sebuah informasi yang disajikan dihadapan kita. Informasi kehilangan kredibilitas disebabkan ia dianggap tidak lagi mengungkapkan kebenaran, tidak lagi merepresentasikan realitas. Angka-angka statistik, nilai tukar, inflansi, kerusuhan, skandal, angka pemilihan umum, hasil referendum, polling media- sebagai informasi kini kehilangan kredibilitas, disebabkan sebagain besar hanya dianggap sebagai topeng-topeng kesemuan yang tidak menggambarkan realitas sosial sesungguhnya. Mungkin inilah kenapa ada yang mengatakan bahwa mencari informsi dengan google atau dapat disebut gogling diragukan atau diharamkan. Maka yang terjadi adalah banalitas informasi adalah jenis informasi yang disajikan tanpa interupsi oleh pelbagai media komputer – apakah video, televisi, produk seni, audio visual, atau internet – adalah informasi remeh-temeh, informasi yang tidak ada yang diambil hikmah darinya.
Ironisnya informasi tersebut terus diproduksi dan disajikan kepada konsumen, meskipun setiap orang mengetahui informasi tersebut tidak berguna, oleh karena tidak mempunyai kredibilitas. Itulah kondisi media postmodern, bagi yang tidak siap akan mengalami shock culture dan yang terjadi adalah salah penafsiran terhadap informasi yang didapatkan. Masalah gogling tersebut tidaklah menjadi permasalahan yang cukup mengganggu dalam mencari dan mendapatkan informasi, tetapi yang menjadi masalah adalah subtansi dari informasi yang perlu diklarifikasi dan teliti lebih dalam. Maka dari itu kita jangan terlalu cepat menyimpulkan atau menjustifikasi ketika gogling adalah tidak kreatif atau haram. Dan informasi yang telah di dapat oleh kita, kemudian direproduksi oleh atau ditampilkan kembali adalah sesuatu yang wajar dalam rimba postmodern. Itu menandakan sebuah informasi membiak dalam media kontemporer.
Informasi tidak hanya berhenti sampai disitu, hal ini karena media internet mempunyai aplikasi yang dapat menghubungkan dengan portal satu dengan lainnya. Dan menurut Yasraf, bahwa informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa kendali di dalam media telah menciptakan kondisi fatalitas informasi (fatality of information), yaitu kecenderungan pembiakan informasi kearah titik ekstrem, yaitu kearah yang melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya, yang menggiring ke arah bencana (catastrophe), berupa kehancuran sistem komunikasi (bermakna) sendiri. Itulah sedikit gambaran yang terjadi dalam media kontemporer internet, dan masyarakat di tuntut bijak dalam menyikapi dan menghadapi laju teknologi yang begitu cepat. Kejadian tersebut tidak hanya dalam media informasi, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya seperti seni.
Dalam dunia seni ada istilahnya parodi, pastiche, dan kistch, dalam pemikiran atau ranah pengetahuan ada istilah dekonstruksi, poststruktruralis, dan intertekstulitas. Kesemuanya itu hadir dalam satu paket yang dinamakan postmodern, yang mengancurkan batas-batas tradisional yang konservatif. Melalui media internet dan aplikasi yang ada di dalam jaringan tersebut kita dapat dengan bebas melakukan apa saja. Yang terjadi adalah hiperealitas media, dan kita memang harus dituntut siap dalam menghadapinya.  Sehingga yang ditimbulkan dari media adalah bagaimana kita mengoperasikan dan mengolah informasi tersebut. Kembali ke kosep postmodern, konsep seperti intertekstulitas ataupun bricolage mungkin akan relevan dengan topik bahasan berikut yaitu re-post.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa informasi membiak dalam media kontemporer seperti televisi dan internet. Hal ini dapat dikatakan bahwa informasi tidak berhenti sampai disitu saja atau stagnan. Informasi akan mencari tempat barunya dengan tampilan yang sama atau sedikit dengan penambahan. Dan bukan tidak mungkin dengan penambahan atau perubahan akan terjadi disinformasi. Dalam istilah sekarang berkembang biaknya informasi tersebut dapat disebut dengan istilah re-posting atau re-post. Re-post dalam konteks penyebaran dan berkembangbiaknya informasi, dapat berupa gambar, teks, lagu, video atau data. Semua itu dapat ditampilkan kembali dalam sebuah tempat barunya, karena di dunia cyber terdapat ruang-ruang yang lebih bebas. Sebelum istilah re-post tersebut muncul dan menjadi trend dalam jejaring sosial seperti facebook atau twiter.
  Dalam wacana postmodern sebenarnya sudah ada istilah intertektualitas. Istilah intertektualitas (intertuality) pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang pemikir poststrukturalis Prancis. Dimana pengertian intertektualitas adalah kesalingbergantungan satu teks dengan teks sebelumnya, dalam bentuk persilangan berbagai kutipan dan ungkapan ungkapannya, yang satu sama lain saling mengisi. Sebagaimana yang dikemukakan kristeva sebuah teks dapat eksis, bila : di dalam ruang teks tersebut, beraneka ragam ungkapan-ungkapan, yang diambil dari teks-teks lain, silang-menyilang dan saling menetralisir satu sama lain. Sebagai contoh, sebuah karya tulis dapat meminjam material dari kisah dongeng, atau seni patung dapat meminjam meterial pertandaan dari arsitektur, dan sebagainya.
Selain interktektualitas di atas masih ada konsep pemikiran postmodern lainnya yang mencoba mendobrak kebekuan pikir, yaitu bricolage. Bricolage, menurut Levi-Strauss, adalah satu strategi intelektual atau proses berkarya dengan “...membangun sesuatu dari apa-apa (material) yang ada di tangan.” Material yang di maksud Levi-Strauss ini dapat berasal dari sisa-sisa material dari proses membangun sebelumnya. Material tersebut, dalam hal ini, dapat diinterpretasikan sebagai material dalam pengertian fisik atau material dalam pengertian konsep, ide atau gaya. Jadi bukan hal yang baru ketika kita menemui sebuah informasi atau gambar yang di re-post dalam bentuknya yang baru. Karena dalam wacana kritis postmodern itu semua sudah ada dan berlaku dalam wacana pemikiran.
Konsep Re-post atau dapat dikatan juga penggembungan informasi, dikarenkan media komunkasi tingkat lanjut menggiring  ke arah informasi yang cepat temponya. Menurut Yasraf komunikasi dan informasi berkembang ke arah kondisi penggembungan (exrescence), yang menciptakan masyarakat kegemukan (excrescental society) : kegemukan informasi, komukasi, tontonan, berita, data. Dalam konteks media kontemporer ini, dalam penggunaannya memang tidak adanya mekanisme kontrol. Sehingga yang tejadi adalah kebebasan dan banalitas dalam penyampaian informasi dan tontonan. Secara prinsip tidak ada sebuah institusi pun yang dapat mengendalikan dan mengatur cyberspace, termasuk institusi negara. Meskipun ada cyber-law, akan tetapi ia tidak (atau belum) berjalan efektif.
Jadi janganlah heran atau kaget ketika informasi mengalami penggembungan atau pembiakan, yang dalam konteks sekarang ini di sebut dengan istilah re-post dalam jaringan internet. Memang itulah kondisi media postmodern sekarang ini. Jika masih saja ada sekelompok atau komunitas (yang ada di lingkungan penulis) masih mengganggap haram atau kurang kreatif. Yang jadi permasahan adalah bagaimana kita merespon serbuan informasi tersebut dalam bentuk yang baru, dan bagaimana kita mengiterpretasi makna yang ada dalam sebuah informasi tersebut. Di dalam wacana kebudayaan global dewasa ini, yang dicirikan oleh sifat kesalingbergantungan (interdependence) dan kesalingterhubungkan (interconection) yang sangat tinggi dan yang sangat kompleks, diperlukan sikap-sikap yang lebih fleksibel, melingkupi, toleran, inklusif, dan holistik dalam melihat order dan disorder. Kita harus pintar-pintar menyaring informasi yang datang kepada kita, re-post yang datang dari teman kita tidak ada salahnya dikaji lebih dalam. Dan bukan berarti re-post tersebut tidak bermakna, ia hanya bentuk pembiakan informasi yang belum tentu merugikan atau re-post  tersebut justru merupakan informasi yang berguna bagi kita.
 Maka dari itu kita tidak lantas menjustifikasi pelaku re-post atau gogling, yang menjadi permasalahan bukanlah cara menyebarkan atau mendapatkan informasi tersebut. Yang menjadi masalah justru isi (content) dari informasi yang ada tersebut, apakah informasi tersebut bohong atau hoax. Maka dari itu kita sebagai masyarakat kontemporer harus mempunyai sikap-sikap seperti di atas seperti fleksibel dan toleran. Akan tetapi, sikap-sikap tersebut harus didukung oleh kemampuan pengelolaan atau chaos management yang tinggi dan cerdas, sehingga berbagai efek merusak-nya dapat diminimalisir, sampai pada batas-batas yang dapat diterima oleh kapasitas persepsi, fisik dan psikis manusia.
Dan terakhir mudah-mudahan tulisan yang masih jauh dari sempurna ini, dapat menjadikan wacana baru dan pencerahan bagi kelompok kontradiktif yang ada di lingkungan penulis, yaitu di kota Bumiayu. Selanjutnya tulisan ini penulis dedikasikan kepada teman-teman yang selalu membuka pemikiran dan selalu tertantang dengan hal yang baru serta selalu merindukan diskusi yang bermanfaat.[]

Salam Budaya!!

Daftar pustaka
·        Matinya Dunia Cyberspace, Astar hadi.
·        Sekitar Manusia, Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, K. Bertens dkk.
·        Arus Pemikiran Kontemporer, Donny Gahral Adian.
·        Panorama Filsafat Modern, K. Bertens.
·        Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Mike Featherstone.
·        Teori-Teori Modernitas dan Postmodernitas, Bryan Turner.
·        Virtual, Sebuah Pengantar Komprehensif, Robshields.
·        Asal-Usul Postmodernitas, Peryy Anderson.
·        Dunia Yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang.
·        Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yasraf Amir Piliang.
·        Post-Realitas, Yasraf Amir Piliang.