Minggu, 26 Mei 2013

Pesan Moral dalam Musik




Pesan Moral Dalam Musik

“lagu-lagu sekarang diciptakan untuk kepentingan komersial
belaka dan kebanyakan mengabaikan pesan moralnya.
Lagu-lagu sekarang jarang mengandung pesan moral atau spiritual.
Musiknya juga lebih diarahkan untuk kepentingan irama tari-menari
 yang bersifat entertainment sesaat, karena itu tidak bertahan lama.”
(Yahya A. Muhaimin)

Kutipan di atas bukan dari seorang pengamat musik, tetapi dari tokoh pendidikan Nasional kelahiran Bumiayu, Bpk. Yahya A. Muhaimin. Yahya. A Muhaimin prihatin dengan kondisi musik Pop Indonesia, yang menurut Beliau hanya untuk kepentingan komersil dan mengabaikan pesan moral. Kutipan di atas penulis ambil dari buku biografinya, dimana beliau senang dengan seni diantaranya adalah musik. Hal ini relevan dengan pokok bahasan yang akan di bahas di sini, yaitu tentang kondisi musik pop di Indonesia sekarang. Kondisi musik populer di Indonesia memang dirasa hanya mementingkan profit, sehingga yang terjadi adalah laju kapitalisme global akan terus berjalan.
Menciptakan sebuah karya seni bukan semata untuk kepentingan nominal, harus ada nilai-nilai yang ditanamkan dalam sebuah karya seni. Seorang seniman setidaknya adalah sang pencipta karya seni, juga produsen makna dalam sebuah karya seni. Ada makna yang akan disampaikan dalam sebuah karya seni, karya seni tidak hanya menonjolkan atau mengutamakan estetika dan artistik, tetapi lebih dari itu. Ketika kreator menciptakan karya seni, tentunya ada konsep atau makna yang akan disampaikan ke pada audiens.  Dalam konteks ini adalah musisi yang menjadi pencipta tanda(creator of sign), terdapat muatan dalam sebuah lagu atau syairnya.
Musisi menciptakan kompisisi musik tidak hanya untuk nyaman di dengar, tetapi ada pesan yang akan disampaikan.  Dalam konteks ini mengacu ke teori semiotikanya Rolland Barthes, dimana setiap makna mempunyai dua arti yaitu makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi yaitu makna yang tersurat (low context) dan makna konotasi adalah makna tersirat (high context). Pesan dalam sebuah karya seni tersebut sebagai senjata dari sang seniman. Dalam hal ini adalah musisi sebagai agen perubahan dengan komposisi musik yang diramunya. Musik tidak hanya sebuah lagu yang enak di dengar, terdapat sebuah makna tersirat (high context). Pesan yang disampaikan dapat berupa kritik sosial, moral, budaya, cinta, humanisme atau yang lainnya.
Musik Pop Indonesia sekarang dirasa telah mengabaikan pesan-pesan tersebut, musik pop telah larut dalam laju komersialisasi dan pencapaian nilai profit. Seorang seniman seharusnya adalah sebagai agen perubahan, melalui karya seninya. Musisi dengan musiknya membawa misi-misi, yang diharapkan dapat memberikan perubahan pada penikmatnya juga lingkup lebih luas. Pesan moral atau spiritual dapat dikonsep dalam sebuah musik pop. Dengan adanya pesan tersebut dalam sebuah musik, diharapkan makna akan lebih dapat diterima pendengar. Kondisi musik Pop Indonesia sekarang dirasa hanya mengumbar cerita cinta dua individu. Kebanyakan tema cinta yang ditampilkan melulu dengan nuansa cengeng, galau, patah hati, kegagalan, gundah gulana dll.
Itulah tema cinta yang mendominasi lagu-lagu Pop Indonesia, jarang sekali terkandung pesan moral atau spiritual dalam lagu-lagu. Dimana cinta itu tidak hanya melulu hubungan antara dua individu. Cinta itu bersifat universal, cinta antar sesama manusia, cinta dengan Tuhan, cinta dengan alam, cinta dengan sesama mahluk dll.  Kecenderungan tema cinta yang dangkal tersebut, mengakibatkan pendengar larut dalam kondisi memabukan akibat  cinta. Disisi lain musik pop Indonesia atau style musik cenderung plagiat tidak mencirikan ke-Indonesia-an. Dapat disaksikan melalui layar kaca hampir setiap waktu, boys band dan girls band tampil dengan style ala Korea atau Amerika. Sungguh kondisi yang memprihatinkan, mereka (musisi indonesia) bangga dengan tampilan plagiat  musisi mancanegara.
Sungguh keadaan Ironis yang dimana kita tahu, Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Tetapi para musisi dengan bangga memoles karya seni hingga style mereka serupa dengan budaya negara lain. Krisis budaya menjangkiti kondisi musik pop Indonesia, sehingga pesan moral juga hilang dalam sebuah musik. Jarang sekali musisi sekarang yang membawa pesan moral dalam musiknya. Tidak seperti dulu, kita tengok ke belakang musisi seperti Iwan Fals, Rhoma Irama, Gombloh, Ebiet G. Ade, Franky Sahilatua, Leo Kristi, Uly Sigar dll.  Mereka adalah contoh musisi yang mengusung pesan moral, sosial, spiritual dalam lagu-lagunya, musik mereka sebagai senjata untuk mendobrak ketidakadilan.
Disadari atau tidak nama-nama di atas justru lebih abadi begitu juga lagu-lagunya. Karya mereka akan selalu dikenang sepanjang masa, karena nilai-nilai yang dikandung dalam lagunya tidak hanya untuk kepentingan komersil tetapi lebih dari itu ada misi kemanusiaan. Kondisi musik pop Indonesia sekarang jarang sekali di temui musisi atau group band, yang tampil atau mengusung ke-Indonesiaan nya. Yang terjadi dalam kondisi musik pop sekarang, hanya kenikmatan dan kesementaraan dalam proses apresiasi terhadap musik tersebut. Tidak ada makna yang dalam sebuah musik pop, tetapi memang seperti itulah kondisi musik pop yang serba dangkal. Dan di sisi lain hanya untuk mengejar kepentingan komersial dan pencapaian sebuah ekstase dalam menikmati sebuah karya seni.
Nilai-nilai moral dan humanisme telah diabaikan dalam sebuah karya seni pop. Maka yang terjadi adalah tidak bertahan lamanya musik pop tersebut dalam proses apresiasi. Penikmat akan cepat mengalami kejenuhan dan bosan dalam menikmati musik pop, dan musik pop hanya akan bertahan dalam beberpa waktu saja. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah, karena musisi kebanyakan instan dalam mencipta lagu dan tidak ada kedalaman dalam sebuah lagu tersebut. Ketika proses mencipta seperti itu terjadi maka dalam menikmati musik tersebut juga akan  instan dan mengalami kedangkalan dalam mengapresiasinya.
Karena dalam musik tersebut hanya mengumbar cerita-cerita percintaan yang cengeng dan kegalauan anak muda dalam percintaan. Kondisi semacam itulah yang mendominasi dalam mencipta sebuah karya seni dan tak terkecuali dalam musik pop. Sehingga mengakibatkan gejala psikologis yang lesu dan serba lemah terhadap audiens yang menikmatinya. Ketika audiens mendengarkan musik pop, secara tidak lagsung pesan cinta yang cengeng tersebut membawa imbas dalam keseharian audiens, dalam hal ini adalah masyarakat. Kondisi semacam itu membuat kelesuan, kelemahan, cengeng, serba kekurangan dalam menjalani hidup.
Zeitgeist semacam itulah yang tengah menjangkiti bangsa Indonesia, akibat dari musik pop yang minim pesan moral melemahkan spririt generasi muda. Generasi muda yang seharusnya sebagai agen yang mengobarkan semangat perubahan dan ketidakadilan di negeri ini. Ternyata larut dalam buaian musik pop dengan balutan cinta yang cengeng dan mematikan semangat. Seharusnya musisi dengan musik yang di usungnya, diharapkan dapat mengobarkan semangat kaum muda dengan nilai-nilai moral dan humanismenya. Maka dari itu nilai dalam sebuah karya seni memang diperlukan, musik atau karya seni lainnya tidak hanya mengejar kepentingan kapital belaka. Nilai moralitas harus diselipkan dalam sebuah karya seni, dengan adanya nilai tersebut diharapkan zeitgeist yang penuh semangat dapat ditemukan kembali. Sebagaimana yang dikatakan filsuf besar Jerman, bahwa moralitas adalah kelanjutan agama, namun melalui cara lain, pengetahuan adalah kelanjutan moralitas dan agama, namun juga melalui cara lain. []

Salam Budaya!!

Minggu, 05 Mei 2013

Boemiajoe Tempoe Doeloe

Boemiajoe Tempoe Doeloe

Pembangunan Jemabatan Sakalimalas Sekitar tahu......

Petingggi Belanda Berpose di Kali Keruh saat pembangunan Sakalimalas.


Tentara Belanda saat berjaga di Jembatan Kalikeruh (pasar kakilima sekarang)

Tentara Belanda sedang siaga, tempat masih belum jelas Bumiayu sebelah mana??

Kali Keruh Tempo Dulu.

Kali Keruh Tempo Dulu.

Kali Keruh Tempo Dulu.


Senuah Foto yang di Indikasikan di Stasiun Talok, Bumiayu tempo dulu.




Foto-foto merupakan koleksi dari Tropen Museum, Belanda.