Rabu, 14 Agustus 2013

Coretan di Tempat Umum di Bumiayu, Sebuah Karya Seni atau Vandalisme.


Coretan di Tempat Umum di Bumiayu, Sebuah Karya Seni atau Vandalisme

Kota Bumiayu merupakan kota kecil di wilayah selatan Kabupaten Brebes, sebuah kota kecamatan yang penduduknya kebanyakan bekerja sebagai petani dan pedagang. Sebagai kota Kecamatan, Bumiayu memang jauh untuk dapat dijuluki sebagai kota seni atau kota Budaya. Bumiayu merupakan kota kecil yang dapat dikatakan menyimpan berbagai potensi seni yang cukup beragam. Dari mulai seni musik, seni tari, teater, tradisioal dan seni rupa, semuanya ada di Bumiayu. Tetapi dengan beragam kesenian yang ada di Bumiayu, tidak lantas membuat iklim berkesenian menjadi semarak. Banyak faktor yang membuat komunitas seni di Bumiayu menjadi pasif atau vakum dalam menjalankan roda keseniannya. Salah satunya adalah sarana untuk menyajikan kesenian, gedung serba guna atau kesenian di Bumiayu belum ada. Walaupun ada yang beranggapan gedung eks. Kawedanan, dapat digunakan untuk berbagai acara kesenian. Menurut pendapat penulis, gedung eks. Kawedanan lebih pas untuk seni pertunjukan dan kegiatan resepsi pernikahan.


Untuk kegiatan seperti pameran seni rupa, gedung tersebut tidak spesifik untuk dapat menampilkan karya seni rupa. Karena idealnya pameran seni rupa, adalah menyajikan karya seni berupa lukisan, patung, desain dan lainnya. Sedangkan dalam gedung eks. Kawedanan, tidak terdapat space atau tempat yang sesuai untuk menampilkan karya seni rupa. Karena gedung tersebut didesain untuk sebuah pementasan seni pertunjukan dan acara yang lebih bersifat seremonial. Faktor yang lain adalah peran Pemda atau Dewan Kesenian Daerah  dirasa kurang memerhatikan potensi seni yang ada, khususnya di wilayah Brebes Selatan. Di mana dalam dunia kesenian terdapat konstruksi seni, yang saling menopang demi berjalannya roda kesenian. Sehingga dengan adanya konstruksi seni tersebut, tidak terjadi bentuk-bentuk penyimpangan dalam seni. Bentuk penyimpangan dalam seni, dapat berupa perusakan benda seni, seni yang tidak pada tempatnya, dan bentuk penyimpangan seni yang lain seperti vandalisme.


Banjir Visual di Bumiayu.


Apabila anda teliti atau cermat mengamati ruang publik di kawasan Bumiayu, dapat ditemui coretan-coretan di tembok di tempat umum. Coretan-coretan di tempat umum tersebut memang baru  muncul belakangan ini saja. Coretan-coretan tersebut dalam bentuk tulisan grafiti atau mural yang kartunal dan terkesan urban. Entah siapa atau kelompok siapa yang tengah menunjukan eksistensinya melalui coretan-coretan di jalanan. Memang bentuk karya seni tersebut idealnya di kenal dengan istilah street art atau seni jalanan. Atau istilah luasnya dikenal sebagai seni publik, dikatakan sebagai seni publik karena menempati ruang publik atau tempat umum. Kemunculan seni jalanan di Bumiayu belakangan ini, tentunya ada yang memengaruhi kemunculan seni tersebut. Apakah seni jalanan tersebut hanya ikut-ikutan, tindakan iseng, perusakan, idealisme ataukah hanya euforia sebuah komunitas.


Kondisi kota Bumiayu dengan jalan protokol yang rusak, parkir yang tidak teratur, pedagang yang jualan di trotoar, membuat kota Bumiayu semrawut dan kotor. Serta dengan reklame-reklame yang terpampang di sepanjang jalan protokol. Ditambah lagi dengan spanduk atau baner politik yang dipasang di sembarang tempat, menambah kondisi kota yang katanya “ayu” menjadi semakin semrawut dan penuh sesak. Banjir citra visual memenuhi sudut kota Bumiayu, membuat mata kita dipenuhi unsur-unsur visual ketika menyambangi jalan utama kota Bumiayu. Bumiayu telah dibanjiri oleh unsur-unsur visual dalam berbagai bentuknya yang termutakhir. Bentuk visual tersebut mulai dalam bentuk reklame seperti spanduk, baner, neon box, bendera, baliho, pamflet, umbul-umbul, hingga poster-poster. Dalam era milenium seperti sekarang ini, unsur visual begitu penting untuk memengaruhi psikologis kita. Unsur visual menjadi semacam mesin untuk memunculkan hasrat untuk memilih atau memiliki. Misal, iklan akan lebih efektif ketika dimunculkan dalam bentuknya yang visual. Begitu juga politik, unsur visual berperan penting dalam hasil suara dalam sebuah pemilihan politik.


Kondisi Bumiayu sekarang ini memang sedang ramai dengan unsur-unsur visual yang berbau politis. Sejak mulai adanya pemilihan Bupati, pemilihan Gubernur, pemilihan Calon Legislatif hingga nanti puncaknya pada pemilihan Presiden 2014, Bumiayu akan selalu dibanjiri citra-citra visual. Tebaran visual menyesaki sudut kota Bumiayu, dari mulai sepanjang jalan protokol hingga ke sudut-sudut kampung. Banjir visual tersebut tidak dapat dibendung, karena ada beragam kepentingan yang melatarbelakanginya. Dari mulai kepentingan politis, ekonomi, promosi, hingga kepentingan estetis. Semua itu muncul di kawasan Bumiayu, karena memang menguntungkan bagi beberapa pihak yang menyajikan bentuk visual tersebut. Kehidupan manusia modern telah dipenuhi bentuk-bentuk pencitraan, yang selalu mengganggu indera penglihatan dan hasrat kita. Manusia modern mendiami sebuah dunia, yang kini telah diredusir sebagai apa yang disebut David Michael Levin dalam The Opening of Vision, sebagai ontologi potret  (ontology of picture) atau ontologi citra (ontology of image).


Itulah kondisi manusia modern yang dibombardir pencitraan setiap detiknya, kita tidak luput dari pencitraan yang ditampilkan dalam berbagai wujud. Artinya, ada di dunia kini telah dijajah oleh ada dalam wujud citraan, ada dalam bentuk representasi. Segala sesuatu kini tampil dalam bentuk representasinya, dan di dalam dunia didominasi oleh ontologi citra, hanya representasi itu yang dianggap nyata (real). Dengan banyaknya representasi visual tersebut, apakah semua itu bermakna pada kehidupan kita atau hanya ilusi atau bahkan utopia. Tidak menjadi soal bentuk visual itu hadir di sepanjang jalan protokol Bumiayu, tetapi yang menjadi persoalan apakah dalam citra tersebut ditemukan kebermaknaan. Jangan sampai citra visual tersebut hanya membuat kotor atau menyampah, dan menambah kesemrawutan sebuah ruang publik. Diperlukan adanya peraturan dari pihak yang berwajib, yang mengatur tentang penempatan bentuk-bentuk seni reklame di ruang publik. Dan diharapkan dipertimbangan unsur estetis dalam penataan sebuah ruang publik, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan belaka.


Keteraturan dan keindahan kota Bumiayu tentunya sangat kita dambakan, jangan sampai hanya karena kepentingan kelompok mengorbankan kepentingan umum. Kondisi kota Bumiayu yang sudah penuh sesak dengan citra visual, jangan sampai ditambah dengan coretan-coretan yang tidak estetis. Belakangan ini di sudut kota Bumiayu sudah muncul street art, sebuah bentuk karya seni yang medianya berupa fasiltas publik atau umum. Bentuk seni jalanan tersebut seperti grafiti, mural, dan coretan lainya sudah mulai bermunculan. Grafiti di Bumiayu dapat ditemui di Jatisawit, terminal pasar kaki lima, dan di jembatan Sakalimalas. Tetapi apakah citra visual tersebut mempunyai unsur seni yang tinggi atau hanya low art, atau bahkan sebuah coretan yang membuat kotor. Semua itu dikembalikan kepada publik untuk dapat mengapresiasi bentuk visual tersebut. Memang kemunculan seni publik atau seni jalanan tersebut, sering dianggap menggangu keindahan atau mengotori tempat publik. Yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah coretan atau gambar tersebut adalah bentuk seni atau hanya bentuk vandalisme?!.


Sebuah Karya Seni atau Vandalisme.


Jika kita membicarakan seni publik, kita tentunya akan menemui bentuk seni seperti street art. Street art di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang dan Surabaya, bukan merupakan barang baru di lingkungan kota tersebut. Karena masyarakatnya sendiri sudah mempuyai tingkat apresiasi yang tinggi, disamping itu pula bentuk seni tersebut mempunyai nilai estetis dan pesan sosial. Walaupun dapat ditemui bentuk seni jalanan yang tidak estetis dibuat asal-asalan, sehingga semakin mengganggu ruang publik bukannya memperindah. Seni jalanan memang tidak diharamkan, tetapi apakah seni tersebut memenuhi aturan yang ada dan tentunya mempunyai nilai estetis yang tinggi. Sebuah seni jalanan tidak hanya berupa coretan yang tanpa konsep atau tidak mempunyai makna. Seni publik tesebut akan lebih bermakna dan berbobot, jika mempunyai nilai estetis dan mempunyai pesan moral atau sosial. Jangan sampai bentuk seni publik tersebut di cap sebagai tindakan perusakan, atau bahkan tindakan yang melanggar hukum.


Kemunculan street art di Bumiayu sudah mulai ramai belakangan ini. Kemunculan seni jalanan tersebut apakah akan mendatangkan kebermaknaan atau hanya akan mengotori ruang publik. Sebuah karya seni jalanan dapat dikatakan mempunyai nilai estetis jika memenuhi unsur rupa dan mempunyai harmonisasi. Dalam konteks street art tentunya ada tambahan yaitu sesuai peraturan yang berlaku di masyarakat. Jangan sampai karya seni tersebut di cap sebagai tindakan perusakan atau membuat kotor fasilitas ruang publik. Memang kondisi street art sebagai seni publik rentan disalahgunakan, oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai kapasitas dalam hal estetika. Maka dari itu seni jalanan terkadang di cap tidak baik atau buruk oleh masyarkat. Oleh sebab itu pembuatan seni jalanan seperti mural, grafiti, memang harus mempertimbangkan unsur estetis. Jangan sampai bentuk seni tersebut di nilai sebagai bentuk vandalisme.


Bentuk penyelewengan seni seperti vandalisme, merupakan bentuk penyelewengan yang paling melekat dengan setreet art. Vandalisme sendiri mempunyai arti perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dsb), atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Di mana kata vandal mengacu kepada suku pada masa Jerman kuno, yang menempati wilayah sebelah selatan Baltik antara Vistula dan Oder. Suku vandal memang dikenal bar-bar dalam bertindak dan mengancurkan musuh-musuhnya. Selain suku vandal terdapat suku lain yang terkenal bar-bar, seperti Viking, Goth dan Astragoth. Jadi vandalisme memang pada intinya mengacu pada tindakan bar-bar atau perusakan. Dalam konteks seni tindakan bar-bar tersebut dapat berupa perusakan karya seni, benda pustaka, fasilitas umum, dan sebagainya.


Lalu apa relevansi vandalisme dengan adanya coretan-coretan public space di Bumiayu. Apakah tindakan coret-coret tersebut dapat dikatakan jenis vandalisme?. Ataukah jenis coretan tersebut termasuk jenis karya seni (street art)?. Di atas telah disinggung bahwa, idealnya karya seni memiliki unsur rupa seperti warna, garis, komposisi, bidang, dan tekstur. Jika kesemua unsur rupa tersebut ada maka, bentuk tersebut akan memiliki unsur estetis. Dan semua unsur tersebut akan saling melengkapi dan akan menjadi irama dan harmonisasi. Lalu apa yang terjadi di kota Bumiayu, apakah bentuk tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai karya seni (street art). Jika membicarakan tentang street art, sudah jelas bentuk coretan tersebut sudah termasuk seni jalanan. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah coretan tersebut sudah memenuhi unsur estetis dan mematuhi peraturan yang ada dimasyarakat?.


Sejatinya street art memang berada di jalan, menggunakan media tembok di tepi jalan. Dalam konteks ini di Bumiayu sudah ada jenis seni tersebut, yang menggunakan media tembok-tembok di tepi jalan. Seni jalanan di Bumiayu dapat ditemui di Jatisawit, di terminal pasar kaki lima dan jembatan Sakalimalas. Bentuk street art tersebut masih berupa grafiti, dan di Sakalimalas terdapat grafiti dan mural. Jika diamati secara seksama dan dikaji dari sudut pandang estetis, bentuk visual tersebut masih jauh untuk dapat dikatakan memilki unsur estetis. Gambar-gamar yang dibuat dan sengaja ditampilkan di ruang publik tersebut, tidak tergarap secara maksimal dan terkesan menagabaikan unsur estetis. Gambar-gambar tersebut minim akan warna, garis masih belum rapi, dan komposisi belum seimbang.


Kita akan mencoba membahas dan mengkaji grafiti yang ada di pasar kaki lima dan di Jatisawit. Di kedua tempat tersebut ditemui karya street art berupa grafiti, memang grafiti memiliki ciri tulisan yang njelimet dan susah untuk dibaca. Dalam karya tersebut memang tidak dapat terbaca oleh masyarakat awam. Tetapi dari sudut pandang seni rupa, karya grafiti tersebut minim akan unsur warna dan bentuknya masih terlalu sederhana. Komposisi warna kurang menarik dan tidak terdapat efek-efek seperti gradasi atau gelap terang. Jadi bentuk grafiti tersebut masih terkesesan datar. Tetapi kalau dari si pembuatnya memang menekankan bentuk minimalis, karya tersebut sudah dapat dikatakan minimalis. Karena minim komposisi warna, minim variasi bentuk dan efek-efek tertentu. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah grafiti tersebut memiliki ijin dari pihak terkait?. Proses pembuatan street art  memang ada yang seuai dengan prosedur, yaitu persetujuan dari pihak terkait. Ada juga yang digarap secara sembunyi-sembunyi pada malam hari.


Dari kedua karya grafiti yang ada di terminal pasar kaki lima dan Jatisawit, penulis tidak tahu persis apakah pembuatannya sesuai prosedural atau sembunyi-sembunyi. Walaupun digarap sesuai prosedur atau sembunyi-sembunyi, hendaknya karya seni jalanan memiliki unsur estetis yang tinggi dan tidak dikerjakan secara asal-asalan. Untuk mengkategorikan apakah gambar tersebut, merupakan bentuk vandalisme atau karya seni dikembalikan lagi kepada masyarakat yang menilai. Kalau dari pendapat penulis sendiri untuk gambar tersebut, sudah termasuk jenis street art hanya saja masih kurang maksimal dalam penggarapannya. Selanjutnya untuk gambar yang terdapat di jembatan Sakalimalas, merupakan bentuk grafiti dan mural.


Gambar yang ada di jembatan Sakalimas menurut pendapat penulis, juga masih kurang tergarap secara maksimal. Penggunaan warna yang minimalis, dan bentuk masih sederhana ditambah dengan konsep yang masih belum jelas. Coretan tersebut masih minim akan estetika, dan tidak terdapat harmonisai dalam karya tersebut. Di jembatan yang termasuk aset sejarah atau peninggalan Belanda, terdapat mural yang terskesan urban. Gambar mural tersebut mempunyai pola kartunal, dan terdapat tulisan yang melengkapi gambar tersebut. Dilihat dari bentuk gambarnya, memang gambar tersebut hanya gambar dan tidak ada pesan yang akan disampaikan. Di mana idealnya mural atau gambar tembok, terdapat pesan moral atau sosial yang ditampilkan. Dapat berupa kritik sosial, pesan, teguran, atau nasihat kepada msyarakat. Hendaknya gambar mural yang baik, memenuhi beberapa kriteria yang terdapat di atas.


Mengenai penggarapan yang sesuai prosedural atau bentuk vandalisme, gambar di Sakalimalas penulis yakin merupakan bentuk penyimpangan seni atau perusakan aset sejarah. Hal itu dapat dilihat dari proses penggarapan yang tidak maksimal, pembuatan gambar tersebut tidak sesuai prosedural, dan tidak mempunyai izin dari pihak yang terkait. Jembatan Sakalimalas merupakan bangunan peninggalan Belanda, hendaknya dijaga dan dilestarikan.  Gambar yang ada di Sakalimalas jelas-jelas merupakan bentuk penyimpangan dan vandalisme aset sejarah yang dimilki oleh kota Bumiayu. Kalau saja gambar tersebut sesuai prosedur dan tergarap secarah baik, dan juga terdapat pesan yang akan disampaikan mungkin tidak menjadi soal. Tetapi walaupun sudah mengantongi ijin dari pihak terkait, hendaknya pembuatan mural tersebut ditempat yang lain yang lebih pantas.


Kita sebagai masyarakat Bumiayu hendaknya kritis dan ikut menjaga ketertiban demi terciptanya suasana yang indah dan nyaman. Tulisan ini merupakan bentuk kritis terhadap sejarah dan seni yang ada di Bumiayu. Hendaknya aset sejarah tetap terjaga keasliannya, dan bentuk seni apapun hendaknya tidak meresahkan masyarakat. Bentuk seni publik memang berada di tengah-tengah masyarakat, hendaknya seni publik memenuhi prosedur dan kaya akan nilai esetetis. Street art akan menjadi seni yang indah jika memenuhi unsur artistik dan estetika, tidak hanya berupa coretan yang digarap asal-asalan. Ruang publik di mana pun akhirnya menjadi sarana peperangan wacana yang dibuat oleh pihak-pihak pemakainya. Mereka tidak perlu memerlukan pendidikan tinggi seni rupa, tak perlu mempelajari wacana dan filsafat yang tinggi, berjalan sekenanya dan selalu berpikir tentang kebebasan berekspresi. Mereka tidak perlu galeri atau ruang pamer yang eksklusif, mereka telah menjelma sebagai tontonan masyarakat, berbaur laksana performance art. Publik disuguhi tontonan dan sekaligus menjadi pelaku di dalammnya.[]