Senin, 28 Oktober 2013

Retorika Sang Pelukis Suara




Retorika Sang Pelukis Suara
Di suatu tempat di sebelah barat Gunung Glasmet, terdapat sebuah daerah dataran rendah yang hijau dan senantiasa subur. Dataran tersebut merupakan sebuah bagian dari sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Barabas, bagian sebelah barat gunung tersebut memiliki keelokan alam yang indah dan hijau. Atas dasar tersebut maka daerah tersebut dinamakan Bumielok. Daerah tersebut masih dipenuhi dengan pepohonan rimbun, ladang, sawah dan hutan. Iklim daerah tersebut sejuk karena masih terdapat banyak pepohonan hijau. Tetapi di pusat kota, di keramaian Bumielok ternyata kotor dan berdebu. Di daerah tersebut mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, buruh dan petani. Bumielok hanya bagian kecil dari daerah Barabas, walaupun kecil daerah tersebut memilki banyak potensi.
Potensi yang dimiliki Bumielok ternyata mempunyai banyak seniman dan juga musisi. Banyak seniman dan musisi yang meramaikan dunia seni di daerah tersebut. Dengan adanya profesi seniman juga musisi, membuat Bumielok semakin dikenal di luar daerah. Tetapi dengan pencapaian artistik para seniman tersebut, membuat mereka sombong dan lupa akan realitas. Kepopuleran mereka terkadang membutakan hati dan juga menimbulkan arogansi. Mereka merasa terlalu cepat puas, sehingga yang terjadi adalah kesombongan dalam karya dan juga sikap. Sebagian musisi dan seniman di Bumielok banyak terjangkit penyakit sosial tersebut, mereka merasa dirinya yang paling hebat dan senior. Sehingga iklim berkesenian di daerah tersebut kurang harmonis dan terjadi persaingan yang tidak sehat. Yang senior merasa dirinya paling hebat dan tidak menggangap bahkan memandang rendah para juniornya. Kritikan dan saran kadang tidak mempan, karena kesombongan telah meyelimuti sebagian para seniman tersebut.
Yang junior kadang juga tidak mengerti tentang unggah-ungguh, terhadap orang yang lebih tua dan terkadang menjengkelkan. Dalam konteks ini tidak perlu saling menyalahkan, butuh kesadaran dari belah kedua pihak. Seniman senior dituntut lebih bijaksana dan yang junior harus tahu diri dan menghormati. Rasanya tulisan ini kepanjangan yah, oke sekarang kita langsung ke pokok bahasan saja. Di lingkungan dunia seni di Bumielok terdapat seniman yang mengaku dirinya sebagai Pelukis Suara (sebenarnya bukan mengaku, cuman pelukis tersebut selalu bercerita tentang melukis suara). Wah, hebat ternyata kota kecil sekecil Bumielok mempunyai seniman yang berkjuluk Pelukis Suara (hahahay).
Pelukis Suara tersebut bermukim di kota Bumielok, dapat dikatakan pelukis tersebut bukanlah warga asli Bumielok. Julukan Pelukis Suara, muncul akibat pelukis tersebut selalu beretorika dan mengumbar sensasi dengan cerita yang muluk-muluk. Sehingga teman-teman seniman dilingkungan Bumielok menyebutnya dengan julukan Pelukis Suara. Sebenarnya Si Pelukis Suara tersebut sama dengan seniman kebanyakan, dia melukis di kanvas dan menggunakan cat. Dimana-mana yang namanya pelukis adalah melukis dengan objek yang berujud, kecuali Uztad Solehpati dapat melukis yang gaib. Lukisan abstrak juga berwujud, hanya saja dalam warna dan bentuknya lepas dari bentuk-bentuk yang ada di alam. Pelukis Suara tersebut selalu atau kadang-kadang beretorika tentang romantisme jaman dulu, dan selalu membuat sensasi dengan cerita-ceritanya.
Keberadaan Sang Pelukis Suara memang telah di akui di lingkungan dunia seni di Bumielok. Disamping jam terbang juga karena usia Si Pelukis tersebut dapat dikatakan senior. Tetapi dengan berbekal semua pengalaman yang dimilki tersebut, dia merasa dirinya paling senior dan hebat. Dalam pergaulan sesama seniman juga musisi, dia selalu beretorika dan romantisme tentang kejayaan masa lalu. Pengalaman saya, selama bergaul dengan Pelukis Suara tersebut, memang kerap bercerita tentang kehebatannya dan juga kejayaan masa lalunya. Tetapi obrolan yang dirasa tidak logis dan tidak masuk akal, saya dapat menyaringnya sehingga tidak terjadi salah interpretasi. Saya sebagai orang yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia seni, sehingga dapat menangkis doktrin yang tidak rasional dari Si Pelukis Suara.
Sekarang timbul pertanyaan, kenapa Pelukis tersebut mempunyai julukan Pelukis Suara?. Julukan tersebut senarnya datang dari seniman-seniman Bumielok, sebagai bentuk ejekan kepada Pelukis Suara tersebut. Awal kisah(wah kaya OVJ aja ni, awal kisah), cerita kenapa muncul julukan Pelukis Suara, dimulai dari retorika Si Pelukis itu sendiri. Di mana pada suatu hari atau setiap bertemu lawan bicara Pelukis Suara tersebut selalu bercerita. Cerita yang mungkin dapat dikatakan tidak masuk akal (malah terkesan mengada-ada). Kurang lebih cerita tersebut seperti ini, Pelukis Suara tersebut melukis dengan mata tertutup, dia melukis di atas kanvas dengan media cat minyak. Alkisah sebelum Sang Pelukis melukis suara, dia melakukan seperti meditasi atau bersekutu dengan Jin atau makhluk halus atau apalah dengan mata tertutup tentunya. Setelah melakukan ritual tersebut barulah dia beraksi dengan cat dan kanvasnya, Si Pelukis Suara mulai melukis suara-suara yang didengarnya dan dilukiskan di atas kanvas kosong.

Setiap ada suara yang didengarnya digoreskan di atas kanvasnya, ketika suara itu keras dan cepat maka goresan kuasnya pun ikut cepat. Ketika suara itu melambat, tentunya goresan kuas sang Pelukis Suara tersebut melambat. Untuk warna sendiri di goreskan asal saja, karena mata Sang Pelukis Suara di tutup. Setelah beberapa goresan jadilah sebuah lukisan yang tentunya tidak jelas objeknya atau abstrak. Warna tentunya tidak sesuai dengan yang di inginkan Pelukis tersebut, kerena saya tahu betul Pelukis tersebut tidak dapat melihat dengan mata tertutup, kecuali pelukis gaib Uztad Solehpati. Hasil lukisan tersebut tentunya abstrak, saya sendiri tidak melihat lukisannya hanya saja saya mendengar langsung retorika dari Pelukis tersebut.
Setelah lukisan suara tersebut jadi, menurut cerita dari Pelukis Suara hasil lukisan tersebut dikonsultasikan ke “orang pinter” (kejawen katanya). Menurut hasil terawang dari “orang pinter” tersebut bahwa ternyata lukisan tersebut membentuk gambar Jembatan Shiratal Mustaqim( sebuah jembatan di akhirat di antara surga dan neraka). Wah-wah hebat yah, Pelukis Suara tersebut dapat melukis Akhirat (hehehe saya tidak kagum). Sekarang timbul pertanyaan, apakah “orang pinter” tersebut pernah ke Akhirat dan melihat jembatan Shirat?. Tentunya belum pernah ada orang yang pernah melihat jembatan tersebut, kalaupun sudah melihat jembatan tersebut harus mati dulu, tetapi apakah ada orang yang mati terus hidup kembali (emangnya zombie heheh). Saya kira “orang pinter” tersebut bukan orang pinter, Cuma orang keminter (sok pinter kali ya hehe).
Memang seperti apa bentuk jembatan Shirat, ada-ada saja mereka, ya itu hanya retorika yang tidak mutu dan meyesatkan. Wah hebat di kota sekecil ada Pelukis Suara yang melukis suara dan membentuk sebuah lukisan jembatan Shirat. Sekarang timbul pertanyaan buat Pelukis Suara tersebut, kalaupun dia hebat dan dapat melukis suara kenapa nama Sang Pelukis Suara tersebut tidak terkenal di Nusantara?. Kalaupun hasil lukisannnya mengguncang dunia persenimanan, kenapa lukisan tersebut tidak dikoleksi oleh para kolektor karena lukisan adalah lukisan fenomenal tentang Akhirat (heheh). Satu lagi kenapa Pelukis Suara tersebut tidak mempatenkan teknik tersebut, yaitu melukis dengan mata tertutup dan mendengarkan suara. Terakhir kalaupun Pelukis tersebut dapat melukis suara, kenapa dia masih menetap di kota kecil Bumielok, harusnya dengan lukisan fenomenal tersebut dia bisa melanglang buana ke penjuru nusantara dengan mengenalkan lukis suara tersebut.
Tidak hanya bercerita atau beretorika yang muluk-muluk dan tidak masuk akal, karena yang mendengar cerita tersebut juga tidak akan percaya. Mungkin yang percaya hanya mereka yang tidak dapat menyaring mana yang benar dan mana yang salah. Yang percaya cerita tersebut hanya anak-anak kemarin sore, dan dikira cerita tentang lukisan suara tersebut hebat dan fenomenal. Menurut saya cerita tersebut hanya retorika saja dan tidak mutu untuk diceritakan. Masih banyak pelukis-pelukis yang lebih rasional dan logis, tanpa harus aneh-aneh melukis yang tidak berujud. Sebenarnya bentuk ekspresi tersebut (melukis suara) semua orang juga bisa melakukannya. Mudah saja, tinggal mata di tutup, cat dan kanvas dipersiapkan sebelumnya, setelah itu barulah melukis. Melukis dengan mengikuti irama suara yang didengarnya, untuk hasil tentunya dari setiap orang akan berbeda-beda, dan tentunya hasilnya akan abstrak.
Sekedar untuk meluruskan saja cerita yang tidak mutu dan menyesatkan tersebut. Sebenarnya bentuk ekspresi “melukis suara” tersebut hanya merupakan  stimulus atau pemicu untuk menggerakan sebuah kuas di atas kanvas. Jadi ketika terdengar suara, kita tinggal menggerakan kuas sesuai dengan irama suara tersebut, maka jadilah sebuah goresan, dan goresan tersebut tidak dapat dikatakan sebuah suara yang ditransformasi dalam bentuk lukisan. Suara tersebut sebagai pemicu tangan kita untuk bergerak mengikuti irama tersebut, dan hasilnya tidak dapat disebut sebagai bentuk dari suara, karena suara sacara unsur tidak berbentuk atau hanya dapat di dengar dan tidak dapat dilukis hanya dapat direkam dalam bentuk audio.
Sebagai seniman hendaknya kita tidak usah aneh-aneh dalam mengolah konsep, atau mencari sesuatu yang berbeda tetapi pada akhirnya hanya sebuah retorika saja. Dan retorika adalah suatu bentuk basa-basi yang tidak mutu dan tidak real, hanya angan-angan saja dan utopia sebuah pemikiran. Dan Pelukis Suara tersebut hanya beretorika saja dan bercerita kepada anak-anak kemarin sore, berharap cerita melukis suara tersebut sesuatu yang fenomenal. Tetapi bagi anak-anak kemarin sore, ketika mendengar cerita tersebut merasa cerita tersebut hebat dan mengagumkan. Tetapi pada intinya adalah sebuah bentuk retorika dan pembodohan dalam sebuah konsep dalam seni rupa. Suara itu tidak dapat dilukis hanya dapat direkam dalam bentuk audio dan didengarkan dengan indra pendengar.   
Dalam seni rupa ada istilah yang disebut dengan Onomatope yaitu melukiskan suara dengan  simbol gambar yang sesuai dengan suara yang didengar atau singkatnya suara yang dapat dilukis. Tetapi dalam konteks ini tidak seperti yang dilakukan oleh Si Pelukis Suara tersebut. sebagai contoh bentuk Onomatope adalah menggambarkan suara mendengkur atau ngorok, suara mendengkur digambarkan dengan bentuk simbol gambar yaitu gergaji yang memotong sebuah kayu. Jadi suara yang ditimbulkan gergaji tersebut sesuai atau mirip dengan suara mendengkur seseorang ketika tidur. Jadi memang suara dapat ditransformasi dalam bentuk gambar, tetapi melalui bentuk simbol-simbol bukan dalam bentuk goresan atau garis. Itu adalah bentuk yang benar dalam pengungkapan atau penggambaran dalam melukis sebuah suara, dengan bentuk simbol dan dikenal dengan istilah Onomatope.
Kalaupun Si Pelukis Suara itu hebat, kenapa ko masih di Bumielok saja, tidak go nasional atau go internasional dengan lukisan suaranya. Sudah jelas dia hanya beretorika atau mengarang cerita dan berharap orang akan kagum dengan hasil karyanya. Tidak usah muluk-muluk dalam berkesenian hanya akan membuat bingung masyarakat dan membuat informasi yang menyesatkan. Tidak semua orang di lingkungan Bumielok kagum mendengar cerita lukisan suara tersebut, itu hanya sebuah bentuk pembodohan kepada masyarakat. Sudahlah kita berkarya sesuai dengan realita saja, di mana sebuah karya seni yang baik adalah karya seni yang dapat membuat perubahan dan menggugah pemikiran menjadi lebih baik. Dan seniman di suatu daerah adalah sebagai agen perubahan (agen of change), maka dari itu dengan karyanya seniman diharapkan dapat membawa perubahan di segala bidang melalui konsep dalam karyanya. Di mana karya seni dapat mengandung muatan dalam bentuk metafor, kritik, saran, atau cerita yang dapat memberikan pencerahan bagi lingkungannya.
Si Pelukis Suara tersebut memang hanya beretorika, selalu bercerita kepada lawan bicaranya. Di mana dalam cerita tersebut selalu mengumbar kepalsuan dan narsisme seseorang seniman. Seniman tidak perlu banyak omong, karena yang berbicara dari seorang pelukis itu bukanlah mulutnya, yang bicara adalah sebuah lukisannya. Jadi ketika ada seniman yang selalu bicara  muluk-muluk, maka yang ada hanyalah “tong kosong berbunyi nyaring”. Maka tidak perlu berbicara panjang lebar atau ngalor ngidul, yang penting tunjukan karya anda, bukan hanya “suara-suara sumbang”. Seniman itu dilihat dari karyanya bukan dari suaranya atau bicaranya. Maka dari itu tidak perlu banyak omong, tunjukan saja karya nyata dan diharapkan karya seni tersebut membawa pencerahan bagi lingkungan. Mari kita selalu bersemangat dalam membuat karya, biarkan orang lain yang menilai karya kita. Sebagasi seorang seniman tentunya kita harus menerima segala bentuk kritik, saran atau masukan dari pihak luar. Tidak ada kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia, maka dari itu kita hendaknya selalu rendah diri dan instropeksi diri.[]
Salam Budaya, tunjukan karya nyata kalian, tetap semangART!!



Selasa, 15 Oktober 2013

Artikel Penulis yang Termuat dalam Jurnal "Dialektika" Vol.2 STKIP Islam Bumiayu 2013

MENUMBUHKAN KREATIVITAS MELALUI PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN SENI RUPA DAN KETRAMPILAN
DI SEKOLAH DASAR (SD)

Abstrak
Dalam dunia pendidikan pada umumnya mengajarkan para anak didik untuk menjadi pintar dan cerdas. Tetapi disisi lain pendidikan juga harus mempertimbangkan unsur kreativitas pada anak didik. Salah satunya adalah melalui pembelajaran pendidikan seni rupa dan ketrampilan. Seni rupa sebagai salah satu mata pelajaran seni yang ada di sekolah dasar (SD), dalam konteks ini menjadi penting. Melalui pendidikan seni, anak pada usia sekolah dasar dapat memunculkan kretivitasnya . Pendidikan seni rupa di sekolah dasar merupakan salah satu mata pelajaran yang mengajarkan kreativitas melalui bentuk kreasi seperti menggambar, menempel, melipat,meronce, membatik, ornamen, dan kerajinan.
Tulisan ini mencoba menjelaskan dan memaparkan bagaimana peran pembelajaran seni rupa dan ketrampilan dapat memumbuhkan kreativitas siswa dalam dunia pendidikan. Disamping itu peran guru juga dituntut untuk dapat menguasai materi pendidikan seni, dan tidak mengesampingkan mata pelajaran tersebut. Sebagaimana yang terjadi di dunia pendidikan di sekitar kita, pelajaran seni masih di anggap tidak terlalu penting.

Kata Kunci : Kreativitas, pendidikan seni rupa dan ketrampilan, SD.

A.     PENDAHULUAN.
1.    Latar Belakang.
Dunia pendidilkan secara fundamental memang mengajarkan anak didik untuk menjadi pintar dan cerdas. Tetapi kepintaran dan kecerdasan saja tidak cukup, perlu adanya nilai tambahan yaitu kreativitas. Kreativitas dalam konteks ini menjadi penting, karena merupakan salah satu unsur yang tidak boleh di abaikan dalam bidang pendidikan. Karena pada umumnya manusia menyimpan potensi-potensi bawaan yang dimiliki sejak lahir. Dan kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimilki oleh manusia.
Dan tujuan pendidikan adalah memunculkan potensi yang ada dalam diri individu tersebut. Lebih jauh potensi yang dimiliki tiap individu memang tidak tunggal, tetapi bervariasi sesuai dengan kapasitas individu tersebut. Potensi manusia meliputi (1) badan dengan pancaindera, (2) potensi berfikir, (3) potensi rasa, (4) potensi cipta meliputi daya cipta, kreativitas, fantasi, khayal dan imajinasi, (5) potensi karya, (6) potensi budi nurani yaitu kesadaran budi, hati nurani, dan kata hati.[1] Itulah potensi-potensi bawaan yang dibawa manusia sejak lahir, dan ada yang beranggapan faktor eksternal tidak memengaruhi potensi tersebut.
Potensi-potensi bawaan yang dibawa sejak lahir merupakan anugerah dari Tuhan dan manusia tinggal membangkitkannya. Dan dalam filsafat pendapat tentang anugerah atau potensi bawaan sejak lahir di kenal dengan istilah Nativisme. Teori Nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (1788-1860) yang bependapat bahwa bayi manusia sejak lahir sudah dikarunia bekal bakat dan potensi baik dan buruk. Sehingga anak sudah membawa bakat atau potensinya sendiri-sendiri. Pengaruh dari eksternal dianggap tidak akan memengaruhi.[2]
Dengan adanya potensi bawaan pada anak, maka akan dengan mudah memunculkan potensi-potensi yang ada. Dimana salah satu unsur bawaan sejak lahir adalah kreativitas, yaitu potensi untuk mencipta tanda dalam istilah semiotika. Jadi selain kecerdasan dan kepintaran anak didik dalam salah satu mata pelajaran di sekolah, kreativitas merupakan salah satu usur penting dalam dunia pendidikan. Kreativitas bukan saja milik siswa, tetapi semua elemen pendidikan di tuntut untuk kreatif dalam menyusun dan menyampaikan materi ajar. Kreativitas membantu kalangan pendidik untuk mengajar lebih efektif. Dengan menyadari pentingnya kreativitas, para praktisi dunia pendidikan Indonesia bisa merancang lingkungan dan kurikulum sekolah yang mampu menciptakan murid-murid yang kreatif. Beberapa penelitian psikologi terbaru berhasil membuktikan kreativitas lebih penting dari IQ untuk menentukan keberhasilan siswa di kemudian hari.[3]
Pada intinya kreativitas tidak dapat diabaikan dalam segala bidang, termasuk dalam dunia pendidikan. Maka dari itu alangkah baiknya jika di kalangan pendidik mempunyai kreativitas dalam berfikir ataupun dalam kesenian. Lebih jauh  masalah kreativitas juga termasuk dalam salah satu tujuan pendidikan Nasional. Menurut pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tujuan pendidikan nasional yaitu “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan  menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. “.[4]
Dengan demikian jelas bahwa kreativitas merupakan salah satu elemen yang dikandung dalam undang-undang tentang pendidikan nasional. Maka dari itu hendaknya pendidik dapat mentransfer nilai-nilai kreatif kepada anak didiknya. Salah satu bentuk pembelajaran yang kaya akan unsur kreatif adalah melalui pembelajaran seni rupa dan ketrampilan. Dimana pola pendidikan seni rupa dan ketrampilan menitikberatkan pada proses pengolahan rasa dan cipta, disamping di dukung secara teoritik. Melalui pendidikan seni rupa dan ketrampilan di tingkat sekolah dasar (SD), diharapkan anak didik dapat memunculkan kreativitasnya dalam mencipta bentuk karya seni rupa.
2.    Rumusan Masalah.
Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : bagaimana mengenali kreativitas dan menumbuhkan kreativitas anak  melalui pembelajaran seni rupa dan ketrampilan di sekolah dasar?
3.    Tujuan Penulisan.
         Tujuan dari tulisan ini mencoba memaparkan apa itu kreativitas. Serta peran pembelajaran pendidikan seni rupa dan ketrampilan sebagai stimultan untuk dapat memunculkan dan menumbuhkan sifat kreatif pada anak didik.

B.      PEMBAHASAN.
1.      Mengenal Kreativitas.
Kreativitas tentunya bukan merupakan istilah baru dalam kamus kehidupan kita. Semua individu tentunya ingin menjadi kreatif dalam segala bidang termasuk dalam dunia pendidikan. Sebelum membahas lebih jauh tentang kreativitas, ada baiknya mengetahui apa definisi dari kreativititas itu sendiri.  Tetapi dalam mendefinisikan apa itu kreativitas bukanlah perkara mudah. Sulitnya menemukan definisi yang tepat untuk kreativitas, dikarenakan kreativitas bukanlah monopoli satu disiplin ilmu tertentu.[5] Kreativitas ada dan diperlukan dalam semua disiplin ilmu, tidak hanya dalam kesenian. Maka dari itu kreativitas menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam beberapa disiplin ilmu.
Ensiklopedia Inggris Modern mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, seperti solusi untuk masalah atau penampilan baru, nilai seni, atau metode baru[6]. Dari pengertian tersebut di atas, kreativitas lebih menitikberatkan pada unsur mencipta dan memilki kebaruan. Hal ini akan relevan dengan pembelajaran seni rupa dan ketrampilan yang akan di bahas lebih lanjut. Karena dalam seni atau kesenian terdapat sifat yaitu mencipta dan mencari unsur baru dalam bentuk. Tetapi kreativitas memang tidak sesederhana itu, kreativitas tidak melulu dihubungkan dengan bakat dan kesenian.
Sementara orang menganggap kreativitas sama dengan keberbakatan, sedangkan sementara pendapat mengkaitkannya dengan perkembangan penalaran dan afektif, tetapi semua itu merupakan pengertian yang terbatas.[7] Memang kreativitas tidaklah sesederhana itu, kreativitas mengandung banyak arti dan kompleks. Tetapi dalam konteks penulisan ini adalah kreativitas yang merupakan kreasi dalam menciptakan bentuk dan inovasi baru melalui kesenian, khususnya seni rupa. Dunia seni menurut pandangan penulis adalah salah satu penyumbang kreativitas terbanyak dalam konteks disipllin ilmu.
Maka dari itu terkait definisi tentang kreativitas yang belum tuntas dan akan selalu berkembang sesuai dengan tuntutan Zaman dan dinamika sebuah pemikiran. Definisi kata tersebut selalu berubah  sesuai dengan konteks zaman. Di era ketika seni dipengaruhi oleh agama-agama, kreativitas selalu dihubungkan dengan adikodrati. Di zaman Renaissance, gerakan humanisme menempatkan kreativitas sebagai salah satu sarana ekspresi individu. Bakat individu adalah sumber kreativitas.[8] Karena individu adalah sumber kreativitas sesuai dengan teori nativisme, maka terdapat proses kreativitas dalam diri individu tersebut.
Proses kreativitas dapat didefinisikan secara ilmiah sebagai gejala psikologis internal untuk aktivitas berkreasi yang meliputi saat-saat tertentu dan dinamika psikologis.[9] Kreativitas dihubungkan dengan gejala psikologis dari individu terntentu, maka dari itu kreativitas memang sudah ada dalam diri manusia. Lebih jauh tentang kreativitas yang dipunyai manusia memiliki perspektif yang khas, sebagai salah satu potensi dari dalam. Adapun pesrpektif tentang kreativitas dapat di simpulkan menjadi empat kesimpulan :
1.      Bahwa daya kreatif tumbuh dari dalam diri seseorang dan merupakan pengalaman yang paling mendalam dan unik bagi sesorang.
2.      Bahwa untuk itu diperlukan satu suasana yang kondusif yang menggambarkan kemungkinan tumbuhnya daya tersebut.
3.      Bahwa kreativitas memilki dimensi intuitif yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya proses kreatif serta melibatkan fungsi rasio, rasa, dan ketrampilan.
4.      Bahwa kreativitas memiliki perspektif proses dan produk serta tahap, tingkat, dan urutan tertentu.[10]
Sifat kreatif yang sudah ada dalam diri individu memerlukan proses untuk memunculkannya. Dan tentunya sifat kreativitas dalam diri indidividu mempunyai tingkatan yang berbeda pula.
Kreativitas dalam diri individu dapat di dorong untuk dapat muncul dan berfungsi secara optimal. Faktor-faktor individual pendorong kreativitas dapat dirangkum dalam beberapa poin berikut ini.
a.      Kekayaan imajinasi
b.      Pemikiran yang jelas
c.       Kemampuan untuk mengamati secara saksama.
Faktor-faktor individual yang dapat mempercepat proses kreativitas adalah :
a.      Berpikir dengan tenang sebelum tidur.
b.      Mengubah tempat setiap saat
c.       Kemampuan untuk bersikap tenang
d.      optimis[11]
itulah beberapa poin yang dapat dipraktikan dalam rangka memndorong dan mempercepat kreativitas. Dengan mempraktikan apa yang telah disebutkan di atas bukan tidak mungkin kita menjadi individu yang kreatif. Karena kreatif adalah milik semua orang, dan semua orang tentunya ingin selalu menjadi kreatif dan punya inovasi baru.
Tetapi tidak semua orang mempunyai kreativitas yang sama, semua itu tergantung kapasitas fikir dari tiap individu tersebut. Adakalanya tingkat kreativitas individu satu dengan yang lain berbeda. Dengan adanya tingkatan yang berbeda tersebut, maka akan di hasilkan bentu kreasi yang berbeda pula. Menurut Calvin Taylor[12] membagi tingkat kreativitas menjadi lima tingkatan antara lain :
1.      Ekspresif.
Intinya adalah ekspresi bebas mengenal berbagai ketrampilan serta originalitas, sedangkan jenis produk bukanlah hal yang penting. Hal yang dapat dilihat dan paling menonjol pada orang-orang di tingkatan ini adalah dua sifat, yaitu spontanitas dan kebebasan berekspresi.
2.      Produktif.
Orang-orang mengalami peralihan dari tingkatan ekspresif menuju tingkatan produktif dalam kreativitas -ketika ketrampilannya berkembang- sehingga mereka dapat menghasilkan karya-karya sempurna. Produk  itu dapat dikatakan kreatif, ketika seseorang mencapai tingkat keberhasilan tertentu. Dengan demikian, produk tersebut tidak diilhami dari karya orang lain secara mutlak, tetapi merupakan karya tersendiri yang belum pernah ada sebelumnya.
3.      Inovatif.
Tingkatan kreativitas ini tidak membutuhkan ketrampilan atau kepandaian, tetapi menuntut fleksibilitas dalam memahami hubungan-hubungan baru yang tidak dikenal antara beberapa bagian yang saling terhubung dan telah ada sebelumnya.
4.      Kreatif.
Level berikut  ini membutuhkan kamampuan yang kuat untuk membuat konsepsi abstrak yang ada, ketika prinsip-prinsip dasar itu dipahami secara sempurna. Sehingga memudahkan orang kreatif untuk memperbaiki dan mengembangkannya.
5.      Iluminasi.
Ini adalah gambaran pemahaman paling tinggi yang mengandung suatu konsepsi dari prinsip yang benar-benar baru dalam tingkatan yang paling banyak abstraknya.
Lebih jauh tentag kreativitas, bahwa kreatif merupakan salah satu dari inventori dari otak kanan manusia. Dan pernyataan tersebut sudah lama kita dengar, dan sudah menjadi kajian yang menarik dalam kreativitas.
Selama puluhan tahun, kita telah terbiasa menghubungkan istilah ‘otak kanan’ dengan keahlian artistik (dan kreativitas) dan otak kiri dengan cara berpikir  yang logis, linier, dan analitis.[13] Dengan demikian memang terdapat perbedaan antara otak kanan dan otak kiri. Sehingga kita mengenal istilah IQ (inteligence quantum) dan EQ (emotional quantum), itulah yang membedakan cara kerja otak kanan dan otak kiri. Para ahli yang meneliti sejak 1930-an percaya bahwa otak kiri adalah otak rasional, yang kaitannya dengan IQ, lebih bersifat logis, aritmatik, verbal, segmental, fokus, serial (linear), mencari perbedaan, dan tergantung dengan waktu. Sedangkan otak kanan adalah otak emosional, yang erat kaitannya dengan EQ, bersifat intuitif, spasial, visual, holistik, difus, paralel (leteral), mencari persamaan dan tidak tergantung pada waktu.[14]
2.  Kreatif Dengan Seni Rupa dan Ketrampilan.
Di atas telah di jelaskan bahwa tiap individu atau anak sudah mempunyai potensi dari dalam. Dimana hal tersebut sesuai dengan teori nativisme yang di cetuskan oleh Schopenhauer. Salah satu potensi yang ada adalah potensi cipta meliputi daya cipta, kreativitas, fantasi, khayal dan imajinasi. Hal tersebut relevan dengan salah satu disiplin ilmu yaitu seni. Dalam pendidikan di sekolah dasar seni merupakan salah satu mata pelajaran yang pokok. Walaupun ada beberapa pihak yang beranggapan pendidikan seni budaya (SBK) tidak terlalu penting. Tetapi pada kenyataanya pembelajaran seni budaya tidak dapat dihilangkan, sebagaimana hal itu tercermin pada kebijakan kurikulum 2013.
Kebijakan kurikulum pendidikan dasar dari setiap periode pemerintahan di negeri ini, memang tetap mempertimbangkan nilai budaya dan seni. Dimana secara historis memang bangsa kita mewarisi nilai budaya yang kaya, seperti candi-candi, batik, kesenian rakyat, kerajinan, tari tradisional, dan seni pertunjukan lainnya. Selain itu pendidikan seni dan budaya di sekolah dasar merupakan salah satu mata pelajaran yang kaya akan unsur kreativitas. Sebuah mata pelajaran yang sesungguhnya menebarkan banyak fungsi: sebagai forum kreasi dan rekreasi, ventilasi psikologis, medium penghiburan, pembangkit rasa percaya diri. Bahkan menurut penulis dan pemikir budaya Amerika Serikat Doroty Parker (1893-1967), sebagai bentuk katarsis, atau “alat penyucian diri” (art is form catharsis)[15].
Dalam konteks penulisan ini adalah tentang pendidikan seni rupa dan ketrampilan yang kaya akan proses penciptaan dan ide kreatif. Pendidikan seni rupa dan ketrampilan meliputi berbagai macam kreasi dan bentuk, yang dapat menstimulus kreativitas anak dalam mencipta bentuk baru. Materi yang di ajarkan dalam seni rupa dan ketrampilan tidak hanya menggambar, tetapi banyak kreativitas lainnya yang variatif. Berikut akan di jelaskan materi seni rupa di tingkat sekolah dasar (SD), materinya antara lain. :
1.      Menggambar.
Menggambar atau drawing berasal dari bahasa Inggris to draw yang berarti menarik, menghela, menyeret, membentanng. Pengertian menarik menghela di atas adalah menarik garis-garis yang diciptakan menggunakan media seperti pensil, pastel, spidol atau media lainnya. Jadi secara umum  pengertiannya adalah suatu karya yang dibuat dengan menggunakan garis maupun bloking, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Biasanya menggunakan warna dan dikerjakan dengan material yang bersifat kering.[16] Gambar yang dapat dipraktikan seperti gambar ilustrasi, gambar dekoratif, kartun, ornamen, dan gambar imajinatif.
2.      Menempel (kolase/montase).
Menempel atau kolase adalah membuat karya seni rupa dengan mengomposisikan potongan gambar dari majalah atau koran yang kemudian dapat direspon dengan menggunakan warna atau cat. Guntingan majalah tersebut di potong sesuai dengan pola gambar, kemudian di komposisikan baru setelah itu dapat ditempel di atas kertas. Untuk dapat lebih artistik dapat ditambah dengan pewarnaan dengan menggunakan pastel atau pensil warna.
3.      Mencetak.
Pengertian mencetak disini adalah membuat karya seni dengan mencetak atau seni grafis menggunakan bahan yang paling sederhana dan menggunakan cat sebagai medianya. Dalam seni cetak sendiri di kenal beberapa teknik seperti, cetak datar, cetak dalam, cetak saring dan cetak tinggi. Teknik yang paling sederhana yang dapat diaplikasikan di sekolah dasar cetak datar dan cetak saring. Cetak datar dapat memanfaatkan benda disekitar, seperti buah belimbing yang di potong kemudian dilaburi cat selanjutnya dicetak di atas kertas. Dapat juga menggunakan pelepah pisang, kertas, jari tangan dan benda sejenisnya. Kemudian cetak saring menggunakan bahan kertas yang di lubangi dengan gunting sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Bentuk bentuk yang sederhana seperti segitiga, lingkaran, elips, kubus, bintang, bulan, matahari dan bentuk geometris lainnya.
4.      Lukisan Jari (finger painting).
Lukisan jari secara teknis merupakan salah satu bagian dari seni cetak, yaitu cetak datar. Pada prinsipnya proses finger paint adalah bebas, yang terpenting adalah bahwa lukisan tersebut menggunakan jari-jari tangan. Bahan-bahan yang digunakan antara lain cat, kertas atau perlengkapan melukis lainnya. Sedangkan untuk jenis karya yang dilukis bebas, seperti abstrak, realistis, atau naturalis disesuiakan dengan selera anak. Tetapi harus ada acuan gambar sehingga akan mempermudah proses pembuatan.
5.      Meronce.
Meronce merupakan bentuk kreasi dari seni rupa yang tergolong dalam kerajinan tangan (handycraft). Kerajinan artinya barang yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan. Selanjutnya, meronce adalah teknik membuat benda pakai atau benda hias dari bahan manik-manik atau biji-bijian yang dirangkai dengan benang.[17] Dari teknik meronce tersebut akan didapat karya seni yang seperti, gelang, kalung, anting, tirai pintu atau jendela, ikat pinggang dan kap lampu. Dan secara historis meronce merupakan salah satu kerajinan nenek monyak kita yang perlu dilestarikan.
6.      Menganyam.
Mengayam adalah pembuatan karya seni kerajinan dengan teknik menganyam menggunakan bahan-bahan yang elastis seperti daun pandan, kertas, plastik dan bambu, dan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang artistik. Mengayam merupakan kegiatan yang dilakukan oleh berbagai suku yang ada di Indonesia, dan anyaman merupakan warisan budaya bangsa yang wajib dilestarikan. Teknik anyaman ada beberapa corak, ada corak kembang jeruk, corak udan riris, corak tapak jalan, corak kepang walik, corak iris tempe dan corak langkah tiga.[18]
7.      Membatik.
Batik merupakan seni yang menjadi ciri khas bangsa Indononesia, dan batik merupakan warisan budaya yang wajib kita lestarikan. Membatik pada umumnya menggunakan media lilin yang dipanaskan dan pewarna alam. Dan proses pembuatan pola atau motifnya menggunakan canting. Motif pada batik memang sangat kaya dan variatif, setiap daerah memiliki motif khasnya sendiri. Membatik dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain teknik perintangan dengan lilin, teknik colet, dan teknik celup ikat.[19] Praktik yang paling sederhana yang dapat dipraktikan di SD, adalah benda pakai seperti sapu tangan, ikat kepala, taplak meja, atau sarung bantal.
8.      Ketrampilan.
a.      Seni Daur Ulang (Recycle).
Seni daur ulang atau disebut dengan istilah recycle, adalah pembuatan karya seni rupa dengan merespon barang-barang bekas yang tidak terpakai seperti kardus, plastik, kaca, dan barang bekas lainnya, yang diolah secara artistik dan menjadi benda seni yang indah dan berguna. Seni daur ulang memanfaatkan barang yang tidak berguna sisa dari industri, yang kemudian di olah menjadi benda seni yang menarik. Benda seni dari ketrampilan mendaur ulang ini antara lain, pigura dari kardus, dompet dari plastik, vas bunga dari botol bekas, kap lampu, lampion, tempat perhiasan, tempat pensil dan masih banyak lagi. Selain kreatif memenfaatkan barang bekas, kita juga membantu dalam program kebersihan sampah di lingkungan sekitar kita.
b.      Seni Origami.
Seni origami merupakan seni melipat kertas yang berasal dari Jepang. Kesenian tradisional Jepang tersebut sudah populer di bebagai negara, termasuk Indonesia.  Karena kepopuleran dan praktis dalam mempraktikannya, sehingga origami seakan sudah menjadi bagian dari ketrampilan sehari-hari. Bentuk-bentuk yang dapat dibuat dengan teknik lipatan tersebut  mulai dari yang paling sederhana sampai dengan tingkat kesulitan yang ekstrim. Bentuk yang sederhana dapat dipraktikan di sekolah dasar antara lain bentuk seperti, perahu, pesawat, bola, topi, burung, katak, anjing laut, kura-kura dan masih banyak lagi.
c.       Benda konstruksi.
Teknik membuat benda konstruksi merupakan salah satu ketrampilan yang termuat dalam materi pendidikan seni budaya dan ketrampilan di sekolah dasar (SD). Benda konstruksi dapat dibuat dari pelbagai bahan dengan teknik yang beragam pula. Ada teknik konstruksi dari kertas yang pembuatannya dengan teknik lipat dan rekat. Ada benda konstruksi kayu dengan teknik klem dan paku. Ada benda konstruksi pipa paralon yang pembuatannya dengan teknik sambung.[20]
Itulah beberapa materi ajar yang dapat diterapkan dalam pembelajaran seni rupa dan ketrampilan di tingkat sekolah dasar. Sehingga dengan adanya pembelajaran seni yang efektif dan sesuai kurikulum, diharapkan peserta didik dapat menjadi kreatif dan terampil. Sehingga isi dari pendidikan dapat tercapai melalui pembelajaran yang aktif dan kreatif. Isi pendidikan berupa (1) nilai, (2) pengetahuan (3) ketrampilan. Sedangkan isi pengajaran adalah (1) pengetahuan dan (2) ketrampilan.[21] Pembelajaran yang efektif tersebut memang harus membutuhkan kerjasama dari berbagai unsur pendidikan, salah satunya adalah pendidik atau guru.

C.      PENUTUP.
1.      Kesimpulan
Kreativitas merupakan bagian penting selain kecerdasan yang di miliki oleh anak didik. Melalui pola pembelajaran yang kreatif dan melalui pelajaran seni, seperti seni rupa diharapkan anak dapat memunculkan sifat kreatifnya. Melalui kegiatan membuat karya seni rupa yang bervariatif, maka anak dapat memunculkan potensi daya ciptanya. Dan disisi lain guru juga sebagai pendidik dapat mentransfer nilia-nilai kreativitas tersebut melalui pembelajaran seni dan pembelajaran mata pelajaran lain yang kreatif. Guru juga harus dituntut kreatif menguasai materi pelajaran seni dan tidak mengabaikan mata pelajaran tersebut. Sehingga anak didik dapat memunculkan ide dan imajinasi kreatifnya dengan berkarya seni.
Jangan sampai para pendidik menghambat kreativitas siswa dalam menyalurkan minat dan bakatnya. Dalam arti kreativitas atau imajinasi siswa dalam menciptakan karya seni dapat berkembang sesuai dengan imajinasi dan lingkungan sekitar. Disengaja atau tidak, murid-murid telah dikirikan sedemikian rupa, di mana kreativitas dan imajinasi mereka di kerangkeng. Makanya, di seluruh Indonesia, jika murid-murid diminta menggambar pemandangan jadilah gambar gunung dengan embel-embel matahari, sawah dan jalan. Yah, itu-itu saja.[22] Itulah pola lama yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan seni rupa. Pola tersebut membuktikan tidak adanya kreativitas atau kebaruan ide dalam dunia pendidikan.
Maka dari itu para guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menciptakan pembelajaran yang menarik dan efektif. Sehingga murid dapat memunculkan sifat kreatifnya, diimbangi pula dengan kecedasan atau intelegensi. Dengan menanamkan nilai-nilai kreatif sejak dini melalui sekolah dasar, maka diharapkan para penerus bangsa ini menjadi generasi yang kreatif dalam segala bidang. Melalui pendidikan seni yang mempunyai unsur kreatif yang kaya, maka para guru hendaknya dapat mempraktikan pendidikan seni secara menarik dan inovatif. Catatlah baik-baik, bangsa Jepang menjadi bangsa yang kreatif karena membiasakan diri dengan gambar, musik, dan menulis huruf kanji sejak pra-sekolah sampai sekolah dasar. [23] Itulah beberapa praktik seni yang diterapkan dan dilakukan oleh bangsa Jepang untuk dapat memunculkan sikap kreatif terhadap anak didiknya di tingkat sekolah. Diharapkan Indonesia dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh Jepang tesebut. Mungkin, karena kebiasaan tiga kebiasaan itu pula, tanpa tedeng aling-aling sekolah dasar di Jepang menjadi sekolah dasar terbaik di dunia.[24]
2.      Saran-saran.
Melalui pendidikan yang berbasis kreasi seperti seni, diharapkan para anak didik dapat memunculkan kreativitasnya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pelajaran seni rupa dan ketrampilan di sekolah dasar merupakan salah satu mata pelajaran yang pokok dan penting, karena dapat memunculkan dan menumbuhkan kreativitas. Maka dari itu para pendidik hendaknya tidak mengabaikan mata pelajaran tersebut, karena semua mata pelajaran mempunyai tujuan dan hasil yang akan dicapai. Secara umum pelajaran Seni budaya dan Ketrampilan (SBK), wajib dan tetap harus ada dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Karena dalam seni itu terkandung nilai kreativitas, dan seni merupakan hasil dari budaya manusia yang sudah menjadi bagian dari suatu peradaban manusia.[]











DAFTAR PUSTAKA

Al-Hajjaj, Yusuf Abu. 2010. Kreatif atau Mati. Solo: Ziyad Visi Media.
Arifin, It Pin MBA. 2012. Ketika Arcimedes Berteriak “Eureka!”. Jakarta:Elex Media Komputindo.
Dermawan, Agus T. 2004. Bukit-Bukit Perhatian. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Kurnia, Novi, Supriyatingtyas. 2010. SBK 5 Seni Budaya dan Ketrampilan. Jakarta:Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Narimo, Katminingsih Eka. 2010. Seni Budaya dan Ketrampilan untuk SD/MI kelas IV. Jakarta:Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Santoso, Ipho PhG. 2008. 13 Wasiat Terlarang! Dahsyat dengan Otak Kanan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Semiawan, Conny R, Putrawan, I Made, Setiawan, TH.I,. 2010. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung:Remaja Rosda Karya.
Siswoyo, Dwi dkk. 2008. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:UNY Press.
Subekti, Ari, Rantinah, Supriyatiningtyas, 2010. Seni Budaya dan Ketrampilan Kelas IV SD/MI. Jakarta:Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Sugianto, Wardoyo. 1999.  Diktat Pengetahuan Bahan Seni Lukis,Yogyakarta: Fakultas Seni Rupa Institut Seni Yogyakarta.













[1] Dwi Siswoyo, dkk., Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : UNY Press, 2008), hlm. 80.
[2] Ibid., hlm. 93.
[3] It Pin Arifin, MBA, Ketika Archimedes Berteriak “Eureka!” (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2012), hlm.  xix.
[4] Dwi Siswiyo, dkk., Ilmu.......hlm.82.
[5] It Pin Arifin, MBA, Ketika Archimedes.....hlm.23.
[6] Yusuf Abu Al-Hajjaj, Kreatif atau Mati, (Solo:Ziyad Visi Media, 2010),hlm.16.
[7] Prof. Dr. Conny R. Semiawan, Dr.I. Made Putrawan, Dr.TH.I. Setiawan, Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu,(Bandung :Remaja Rosdakarya,2010),hlm.60.
[8] It Pin Arifin, MBA, Ketika Archimedes.....hlm.23.
[9] Yusuf Abu Al-Hajjaj, Kreatif atau.......hlm.23.
[10] Prof. Dr. Conny R. Semiawan, Dr.I. Made Putrawan, Dr.TH.I. Setiawan, Dimensi Kreatif Dalam.....hlm.66.
[11] Yusuf Abu Al-Hajjaj, Kreatif atau.......hlm.49.
[12] Yusuf Abu Al-Hajjaj, Kreatif atau.......hlm.25-26.

[13] It Pin Arifin, MBA, Ketika Archimedes.....hlm.103.

[14] Ippo Santoso, 13 wasiat terlarang! Dahsyat dengan otak kanan (Jakarta:Elex Media Komputindo,2012), hlm.XXII.
[15] Agus Darmawan T, Bukit-Bukit Perhatian (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2004), hlm.185.
[16] Wardoyo Sugianto, Diktat Pengetahuan Bahan Seni Lukis,(Yogyakarta: Fakultas Seni Rupa Institut Seni Yogyakarta, 1999), hlm,4.
[17] Novi Kurnia, Supriyatiningtyas, SBK 5 Seni Budaya dan Ketrampilan, (Jakarta:Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), hlm, 56.
[18] Narimo, Eka Katminingsih, Seni Budaya dan Ketrampilan,Untuk SD/MI kelas IV,(Jakarta:Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), hlm,72.
[19] Ari Subekti, Rantinah, Supriyatiningtyas, Seni Budaya dan Ketrampilan, kelas IV SD/MI(Jakarta:Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), hlm, 56.
[20] Ibid, hlm. 60.
[21] Dwi Siswoyo, dkk., Ilmu....., (Yogyakarta : UNY Press, 2008), hlm. 132.
[22] Ippo Santoso, 13 wasiat terlarang! ...... (Jakarta:Elex Media Komputindo,2012), hlm.XXV.

[23] Ippo Santoso, 13 wasiat terlarang! ...... (Jakarta:Elex Media Komputindo,2012), hlm.27.
[24] Ippo Santoso, 13 wasiat terlarang! ...... (Jakarta:Elex Media Komputindo,2012), hlm.27.