Minggu, 19 Januari 2014

Rumah-Rumah Tradisional Makam Dawa di Tengah Modernisasi.

Rumah-Rumah Tradisional Makam Dawa di Tengah Modernisasi.

Manusia dalam sejarahnya selalu berolah pikir untuk dapat bertahan hidup. Peradaban demi peradaban lahir dari pemikiran dan kreativitas manusia itu sendiri, yang bertujuan untuk bertahan hidup dan menunjukan eksistensi komunalnya. Manusia bertahan hidup dari mulai mencari makan, berburu, bercocok tanam, membuat pakaian hingga membangun tempat tinggal. Rumah atau tempat tinggal pada  awalnya, sebagai tempat perlindungan diri dari cuaca, serangan binatang buas, atau bahkan tempat berlindung dari serangan musuh. Dan fungsi asli rumah memang masih tetap sampai sekarang, tetapi dibalik itu terdapat fungsi lain yang mempunyai nilai simbolis.
Dalam konteks ini manusia memang mempunyai sifat dasar untuk mencipta atau membuat karya. Sehingga manusia juga di juluki sebagai “Homo Faber”, yaitu kecenderungan untuk membuat karya untuk kepentingan kehidupan. hasil karya yang diciptakan manusia tentunya tidak dibuat begitu saja, segala sesuatu yang buat oleh manusia tersebut mempunyai fungsi, kegunaan, dan nilai. Nilai ini dapat bermacam-macam, misalnya sejauh dapat mencerminkan arti kegunaan, keindahan, sosial, ekonomis dan lain sebagainya. Dengan demikian berkarya berarti menciptakan nilai : dalam setiap karya terwujudlah suatu idea dari manusia. Dalam konteks penulisan artikel ini adalah hasil ciptaan manusia yaitu berupa rumah sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai media sosial dengan lingkunnya.
Dalam penulisan ini akan dibahas tentang rumah-rumah tradisional di Dukuh Makam Dawa, Desa Galuh Timur, Tonjong. Di mana di kampung Makam Dawa, masih terdapat rumah-rumah tradisional, yang terbuat dari Gribig atau Gedeg (ayaman bambu) dan kayu sebagai bahan utamanya. Tulisan ini kiranya menjadi penting, sebagaimana kita tahu perkembangan budaya dan teknologi begitu cepat di era milenium. Tetapi di sisi lain masih terdapat artefak-aretafak sejarah di lingkungan Kecamatan Bumiayu, salah satunya adalah bangunan-banguan rumah tradisional yang masih tetap bertahan sampai sekarang. Kita tidak tahu dalam beberapa tahun kedepan bagaimana nasib rumah tradisional tersebut. Kenapa rumah-rumah tersebut masih tetap bertahan sampai sekarang, banyak faktor yang memengaruhinya dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Di era yang serba modern dan digital seperti ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, kampung-kampung yang masih terdapat rumah tradisional dapat dengan cepat hilang. Modernisasi memang sudah lama sekali,  muncul bersamaan dengan revolusi industri pada abad ke-18 di Eropa. Modernisasi dan digitalisasi tentunya mengubah mindset individu dan menimbulkan efek di lingkungannhya. Sehingga bagaimana caranya supaya manusia itu tetap bisa bertahan di jaman yang serba cepat ini. Begitu juga dengan kemajuan di bidang arsitektur, perumahan-perumahan elit telah merambah kota-kota kecil. Perumahan dengan beragam model bangunan yang modern, vintage, minimalis, sampai kontemporer mengisi perkotaan. Di lingkungan kota Bumiayu sendiri sudah banyak perumahan-perumahan yang menawarkan berbagai fasilitasnya.
Dengan gempuran modernisasi di segala bidang tersebut, disisi lain masih terdapat sisa masa lalu yang  masih bertahan. Salah satunya adalah rumah-Rumah tradisional di Makam Dawa, Galuh Timur sampai sekarang masih ada dengan kondisi yang masih asli dan ada beberapa rumah tradisional yang sudah di poles. Dukuh Makam Dawa yang terletak di Desa Galuh Timur, merupakan salah satu Dukuh yang paling ujung dari Desa tersebut. Untuk dapat sampai ke Makam Dawa, dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor juga mobil. Jarak dari Bumiayu ke Makam Dawa sekitar 12 km, kondisi jalan yang berkelok-kelok, sedikit menanjak juga kondisi jalan dengan aspal yang sudah rusak membuat perjalanan ke sana menjadi sedikit terhambat. Memang Dukuh tersebut dapat dikatakan jauh dari keramaian kota, masih terdapat ladang dan perkebunan milik rakyat juga di kelilingi pegunungan yang masih rimbun. Kondisi masyarakatnya cukup hangat, ramah, semangat kebersamaan dan solidaritas masih tetap terjaga, ini terbukti cepat akrabnya dengan tim Kompas Boemi (Komunitas Pecinta Sejarah Bumiayu) dengan penduduk setempat.
Mata pencaharian penduduk di Makam Dawa kebanyakan bertani, buruh, mungkin ada beberapa yang merantau ke kota-kota besar. Kondisi di kampung tersebut dapat dikatakan masih banyak tedapat ladang-ladang, sehingga penduduk setempat bekerja mengolah ladang tersebut. Dari segi pendidikan di kampung tersebut terdapat Madrasah dan Sekolah Dasar. Sehingga anak-anak dapat bersekolah formal di pagi hari dan memupuk ilmu agama pada sore hari di Madrasah. Lingkungan di kampung tersebut masih terdapat ladang atau pekarangan yang rimbun dipenuhi semak, rumah-rumah berada di tengah-tengah dan menyatu dalam satu komplek. Jalan-jalan yang menghubungkan blok kampung cukup sempit tetapi sudah di aspal dan juga di paving blok.

Rumah-rumah yang becorak tradisional masih cukup banyak, dan letaknya di pinggir jalan utama kampung tersebut. Namun ada beberapa yang letaknya agak masuk, dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Rumah-rumah tradisional tersebut berderet dengan rumah-rumah yang sudah modern (terbuat dari batu bata dan semen). Di depan atau belakang rumah tradisional masih terdapat ranggon (kandang kambing), dan juga kebiasaan masyarakat jawa selalu memelihara ayam. Sehingga di rumah-rumah tersebut terdapat kandang ayam atau dalam bahasa Bumiayu adalah ranggap. Tetapi ada beberapa rumah yang tiang-tiang bagian depan sudah menggunakan cor semen, sebagai pengganti tiang kayu. Di depan rumah-rumah tradisioanal tersebut, terdapat kursi panjang atau rusbang, sehingga terasa jaman dulunya. Kursi panjang tersebut sebagai tempat bercengkrama keluarga, melepas lelah, dan santai ketika sore hari. Sebagai simbol modernisasi yang terlihat di rumah tradisional di Makam Dawa, adalah terdapat antena TV atau bahkan parabola terpasang di atap rumah. Hal ini menandakan modernisasi telah merambah ke perkampungan yang terisolir, dan jauh dari perkotaan ternyata sudah tersentuh oleh modernisasi bahkan digitalisasi.
 Secara historis keberadaan rumah tradisional, memang termasuk rumah yang mencerminkan kondisi rakyat kecil yang secara ekonomi masih di bawah. Hal ini mungkin dikarenakan oleh berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi bangsa dan juga iklim politik di negeri ini. Pembangunan yang tidak merata sehingga memunculkan kesenjangan sosial yang cukup jauh, antara kelas arsitokrat (elite) dengan kaum rakyat kecil (wong cilik). Dengan kondisi pembangunan yang tidak merata tersebut, mengakibatkan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.

Memang rumah-rumah tradisional dapat dikatakan sebagai saksi sejarah peradaban perjalanan bangsa Indonesia. Rumah tradisional sebagai cermin masyarakat In Lander, di mana rakyat Indonesia memang dulunya hidup di bawah tekanan penajajah Belanda. Sejak jaman penjajahan perbedaan kelas dalam masyarakat Jawa sudah ada sejak dulu. Sehingga dalam masyarakat Jawa secara historis di kenal golongan sosial dalam masyarakatnya.  Orang Jawa membedakan dua golongan sosial : 1. Wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota dan 2. Kaum Priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Imbas dari perbedaan kelas di masyarakat Jawa, mengakibatkan perbedaan yang sangat mencolok dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bahkan tempat tinggal.
Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah gedeg atau kayu yang terdiri atas beberapa kamar, dengan lumbung padi kecil dan kandang, di mana barangkali terdapat seekor kerbau beberapa ekor kambing dan ayam. Itulah mengapa kaum petani membuat rumah yang terbuat dari gedeg atau gribig, itu tak lain adalah sebagai pembeda antara wong cilik dan kaum priyayi. Nah rumah-rumah di Makam Dawa sebagai bukti bahwa perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa sampai saat ini masih ada. Dan memang identiknya dalam masyarakat yang hidup di kampung-kampung membuat rumah dari bambu dan kayu, karena alasan ekonomi dan juga kelas sosial yang sudah terbentuk sejak dulu.
Maka dari itu rumah pada dasarnya tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sudah masuk ke ranah semiotika sebagai penanda dan simbolisasi. Manusia membangun tempat tinggal untuk kenyamanan dan melindungi dari cuaca ekstrim, itulah makna denotatif yang muncul dalam konsep sebuah rumah. Namun kisah semiotik pada bangunan tidak berhenti sampai di situ. Kisah tersebut mengungkapkan bahwa bangunan merupakan tanda identitas, status, kekuasaan dan seterusnya. Jadi ketika suatu kelompok masyarakat membuat banguan, secara sadar atau tidak sadar mereka telah menciptakan tanda kultural sebagai ciri. Maka dari itu dalam konteks ini rumah-rumah tradisional secara semiotik, menandakan apa yang dimaksud dengan penanda konotatif. Jadi terdapat makna simbolis dan kurtural dalam arsitektur rumah tersebut. Walaupun kita kadang tidak menyadarinya, tetapi dalam ilmu pertandaan memang terdapat makna dalam kata atau benda.
Rumah tradisional di Makam Dawa terbuat dari gedeg atau gribig, secara semiotik gedeg tersebut menandakan bahwa rakyat kecil identik dengan sifat yang lemah dan ketidakberdayaan. Tetapi walaupun rakyat kecil lemah dan tak berdaya, secara paradoks gedeg tersebut menandakan solidaritas yang masih tetap terjaga dilingkungan masyarakat kampung. Penanda solidaritas tersebut dapat dilihat, pada corak anyaman bambu dari gribig atau gedeg yang saling kait-mengait. Ketika ketidakmampuan dan sifat lemah tersebut bersatu, maka yang terjadi adalah kekuatan yang dapat mengalahkan keangkuhan.Ukuran rumah tradisional tidaklah tinggi atau besar, tetapi mempunyai ukuran yang kecil juga sedang. Ukuran tersebut jelas menandakan kapasitas ruang gerak dari rakyat kecil, yang secara sosial politik terkadang dibatasi oleh kekuaasaan yang angkuh. Ukuran rumah yang rendah tersebut juga menandakan, bahwa rakyat kecil selalu tunduk dan taat pada norma yang berlaku di masyarakat dan tidak sombong atau angkuh. Tentunya tanda semiotik tersebut akan kontras, ketika kita membicarakan vila dan gedung-gedung pencakar langit di kota besar. Istana, vila, dan pencakar langit didirikan untuk menampilkan kekuasaan dan kekayaan.
Rumah tradisional tersebut sebagai ciri kebudayaan Jawa, yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Di mana budaya Jawa kaya akan simbolisasi dalam setiap unsur kehidupan. Budaya Jawa menyimpan nilai-nilai yang tinggi akan kebudayaan adiluhung nenek moyang kita. Filsafat Jawa selalu mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan alamnya, dan kearifan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu rumah-rumah tradisional di Makam Dawa, menyimpan kearifan lokal dan aset sejarah yang mesti kita lestarikan. Walaupun tidak di pungkiri modernisasi akan menerjang, dan masuk ke sendi-sendi perkampungan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan rumah-rumah tersebut akan hilang. Dan semua itu akan menjadi sebuah cerita sejarah bagi anak cucu kita di kemudian hari. Maka dari itu mulai dari sekarang kita hendaknya sadar akan pentingnya nilai sejarah, terlebih sejarah bangsa kita kaya akan nilai-nilai budaya dan tradisi. Sebagimana yang Bung Karno katakan “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang”.[]

Ditulis oleh:
Alik Setiawan S.Sn.
Bumiayu, 19 Januari 2014
Referensi :
·         Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Marcel Danesi, 2011, Jalasutra, Yogyakarta.
·         Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Frans Magnis Suseno, 1984, Gramedia, Jakarta.
·         Sekitar Manusia, Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, Soerjanto Poespowardjo dan K. Bertens, 1978, Gramedia, Jakarta.