Rabu, 08 Februari 2012
Senin, 06 Februari 2012
ESENSI IDE DALAM SENI RUPA
ESENSI IDE DALAM SENI RUPA
Dalam dunia seni rupa umumnya dikenal ada dua struktur, yaitu struktur isi (bentuk) dan tema (ide). Sebuah karya seni tercipta melalui dua unsur itu yang saling melengkapi, sehingga karya seni yang tercipta dalam kesatuan antara ide dan bentuk. Struktur atau elemen bentuk seni rupa antara lain warna, garis, bidang, tekstur yang menghasilkan objek dalam karya seni tersebut. Dimana unsur-unsur tersebut sebelumnya sudah dijelaskan, di posting blog saya ini. Selanjutnya tema atau ide yang membangun terciptanya sebuah karya seni, sebenarnya ada empat macam. Struktur ide tersebut antara lain Citra, Metafora, Simbol, dan Mitos. Berikut akan dijelaskan dengan pendekatan dan gaya penulisan menurut penulis. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman pembaca. Salam budaya dan selamat membaca…..
1. Citra.
Citra, mungkin kita sering mendengar istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi apakah kita telah memahami apa sesungguhnya citra itu. Citra menurut kajian psikologis berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi serta tidak bersifat visual. Sedangkan menurut pendekatan semiotika atau ilmu tentang tanda, citra adalah sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Sebenarnya suatu citra itu terbentuk melalui suara(verbal) dan gambar(visual. Tetapi menurut teoritikus sastra Ezra Pound, menerangkan bahwa citra bukan gambaran fisik, melainkan sebagai sesuatu yang dalam bentuk sekejab dapat menampilkan kaitan pikiran dengan emosi yang rumit. Pencitraan visual merupakan penginderaan atau persepsi, sekaligus mewakili pada sesuatu yang tampak, sesuatu yang berada di dalam(inner).
Sehingga dalam seni rupa, yang muncul adalah citra yang ditimbulkan oleh indra penglihatan kita. Penglihatan kita terhadap karya seni tersebut disalurkan ke otak melalui impuls saraf, sehingga terjadilah suatu rasa dalam melihat karya tersebut. Ketika seniman mencipta sebuah karya seni dengan berbagai macam bentuk, maka secara tidak langsung seniman tersebut menciptakan citra dalam karya tersebut. Citra dalam karya seni atau lukisan berlaku pada semua jenis aliran. Sebagai contoh ketika kita melihat jenis lukisan pemandangan atau mooi indie yang menebarkan rasa kedamaian melalui objek gunung, pegunungan, sawah, laut, lembah yang teduh, ngarai dan sungai-sungai yang jernih. Sehingga citra yang dimunculkan dari karya jenis ini, adalah citra yang nyaman, tenang, dan eksotik. Begitu juga sebaliknya ketika kita mengapresiasi karya Raw art, Pastiche, atau abstrak, yang menggunkan teknik cipatran cat, dan bentuk yang ekpresif, sehingga kita kita mencerap sebuah citra yang bergerak dan aktif dalam lukisan tersebut.
Lebih jauh, Thomas W. J. Michael mengusulkan tipologi citra dengan membedakan beberapa kelas citra sebagai berikut. 1. Citra Grafis(lukisan, gambar, patung, desain) 2. Citra Optikal(cermin, proyeksi) 3. Citra Perseptual(sense data,spesies, penampakan) 4. Citra Mental(metafora,deskripsi). Dengan demikian jelaslah citra visual atau citra grafis merupakan bagian dari ide, sadar atau tidak seniman menciptakan citra visual. Melalui bentuk, garis, warna, bidang, tekstur dan komposisi, terciptalah sebuah objek dan munculah citra visual. Untuk lebih jelasnya bagaimana citra visual bekerja, disini akan dikutip pemikiran dari Edmund Burke Feldman, sebagai berikut :
“seaorang melihat citra(images) bukan benda(things) sensasi cahaya yang jatuh pada retina ditransmisikan sebagai impuls energi pada otak yang secara simultan menerjemahkan kedalam entitas bermakna yang disebut citra. Tidak saja ada sebuah gambar, sebuah proyeksi optis, didalam didalam otak sendiri. Perseptik terjadi dimata tentunya, akan tetapi persepsi merupakan fungsi dari otak. Kita tidak dapat mengalami sensasi tanpa menguraikan cirinya dengan cara tertentu, memberinya labels, memuatinya dengan makna. Citra dengan demikian dapat difenisikan hasil pemuatan sensasi optis dengan makna”
Jenis Lukisan Pemandangan yang mencitrakan kedamaian dan ketenangan. |
2. Metafora (Metaphor)
Metafora adalah sebuah model interaksi tanda, yang didalamya sebuah tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem lainnya. Atau dengan kata lain meminjam bentuk, tulisan, atau verbal untuk menghasilkan makna baru melalui wujud yang lain. Metafora secara tradisional ditandai dengan tiga pilar ada pokok pertama: metafora merupakan sesuatu yang dikenakan pada benda maka untuk berabad-abad lamanya, metafora hanya diberikan dengan benda saja. Kedua: metafora didefinisikan dalam konteks gerakan. Metafora dalam konteks ini dikenal dengan istilah Ephipora, adalah semacam perpindahan atau gerakan “dari…ke…” dalam konteks ini metafora berlaku untuk segala bentuk transposisi.
Metafora merupakan transposisi sebuah nama yang asing, yakni nama yang sebetulnya milik sesuatu yang lain. Berdasarkan penjelasan di atas metafora meliputi bentuk (visual, gerak atau kinetik) dan ucapan (verbal), sehingga metafora memakai media-media tersebut untuk menghasilkan makna baru dari suatu bentuk atau komposisi. Tetapi menurut Paul Ricouer, dalam bukunya yang berjudul The Rule of Methapor (1977) mengungkapkan bahwa metaforis yang sebenarnya tidak pada kata (verbal) tidak pada kalimat bahkan tidak pada wacana melainkan pada kopula kata “adalah”.
Kopula kata disini mengandung pengertian “adalah seperti” dan sekaligus “adalah bukan”. Seperti pada kalimat “manusia adalah seekor babi” tentu bila kita berbicara metafora bukan berarti manusia itu sosok babi, disini metafora bekerja “adalah seperti” babi, yang mempunyai makna bahwa manusia itu berkelakuan kotor dan pemalas seperti babi. Sehingga dalam konteks ini metafora berlaku dalam disiplin linguistik. Pendapat Paul Ricouer yang menempatkan metafora tidak pada kata, kalimat, atau benda (visual) maka kehadiran benda, kata, kalimat hanyalah sebagai sebuah presentasi dari fakta atau sistem.
Dalam konteks seni rupa, metafora merupakan bagian yang cukup penting dalam melukiskan, atau membuat makna baru dalam sebuah karya seni. Sebenarnya dalam konteks seni rupa intinya sama dengan konteks linnguistik (verbal), hanya medianya yang berbeda yaitu dengan bentuk visual atau gambar. Dalam seni rupa metafora bekerja melalui peminjaman bentuk atau objek untuk menghasilkan sebuah makna. Fungsi metafora dalam seni rupa, mungkin bekerja pada pengaburan makna yang ekstrim, negatif atau sebagainya.misalkan pada sebuah karya seni lukis, dilukiskan seekor tikus dengan bentuk menyerupai manusia sedang membawa brankas uang atau kantong uang. Sehingga dalam lukisan tersebut dapat diartikan seorang manusia yang rakus akan uang atau duniawi.
Sebagai contoh lainnya misalkan lukisan Djoko Pekik berjudul Raja Celeng 1998. Dalam lukisan tersebut dilukiskan penangkapan raja celeng yang gemuk ditengah kerumunan manusia. Dalam hal ini Djoko Pekik memakai metafora binatang sebagai bahasa ungkapan dalam karya seninya. Pada periode tersebut keadaan bangsa Indonesia sedang dalam situasi yang carut-marut, penggulingan Rezim sehingga dalam lukisan tersebut memunculkan interpretasi yang beragam seperti sakit hati, balas dendam, kelaparan, atau bahkan kematian yang tragis.
Lukisan Djioko Pekik, yang menggunakan metafora binatang celeng sabagai bahasa ungkap. |
3. Simbol (Symbol)
Simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk bebagai tujuan. Simbol dapat dapat hadir dalam beberapa disiplin ilmu seperti logika, matematika, semantik, kimia, seni rupa dan seni lainnya. Pengertian simbol adalah sebuah tanda konvesional yang disetujui bersama oleh suatu kelompok atau komunitas tertentu. Jadi makna symbol telah dikontruksi oleh sistem masyarakat dalam suatu wilayah. Simbol dalam kajian semiotika adalah tanda yang berhubungan penanda dan petandanya bersifat arbiter(sewenang-wenang). Dan menurut Ferdinan D. Saussure, sewenang-wenang artinya tidak ada hubungan alamiah antara bentuk atau penanda dengan makna atau petanda. Sebagai contoh, kata gelas, adalah sebuah tempat air untuk minum, bukan untuk tidur. Maka dari sistem pertandaan tersebut, symbol telah dikontruksi oleh sistem sosial masyarakat. Maka dari itu suatu bentuk simbol yang sama akan berbeda makna apabila berada di territorial yang berbeda. Misal, ular disuatu tempat menyimbolkan kejahatan atau setan, tetapi di tempat lain ular dapat berkonotasi sebagai keberanian atau sifat dewa.
Penjelasan di atas masih dalam konteks linguistik, lantas simbol dalam seni rupa seperti apa penggunaannya. Sebenarnya penempatan simbol dalam seni rupa hampir sama dengan konteks linguistik, hanya saja dalam seni rupa yang bekerja adalah unsur visual bukan verbal. Dalam konteks seni rupa, simbol dapat dikontruksi sedemikian rupa oleh si seniman. Sang kreator dapat menciptakan simbol-simbol melalui karya seni lukis, grafis, patung dan sebagainya. Pemakaian simbol dalam seni rupa bertujuan untuk meyampaikan pesan yang terkandung dalam sebuah karya. Ketika seorang pelukis menggambarkan seekor ular, mungkin itu sebagai simbol kejahatan atau kelicikan. Tetapi bahasa visual tidak bebas, seperti bahasa verbal, artinya bahasa visual itu terbatas. Missal, seorang seniman ingin mengungkapkan makna melalui simbol, tetapi simbol tersebut tidak terkonvensi di suatu kelompok dimana seniman itu hidup. Sehingga seniman dituntut kreativitasnya untuk menciptakan simbol baru, untuk menciptakan makna baru, maka dari itu simbol dapat bersifat personal.
Sehingga dalam konteks simbolisasi ini, telah terjadi dekontruksi pertandaan yang bersifat sewenang-wenang, menjadi permainan bebas tanda. Mengacu pada pemikirin Jaques Derrida, tokoh poststrukturalis, yaitu tentang dekonstruksi tanda untuk menghasilkan makna baru. idak Menurut Derrida, bahwa petanda(makna) tidak harus diterima sebagai konvensi, ia harus dibongkar dan didekonstruksi. Selanjutnya hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat simetris atau baku, akan tetapi terbuka bagi permainan bebas tanda, sebuah permainan yang akan membawa pembaharuan.
Maka dari itu, dalam konteks seni rupa seniman diberi kebebasan penuh untuk melukiskan simbol-simbol baru. Seniman dengan polda pikir yang berbeda diharapkan dapat menciptakan simbol-simbol baru melalui karyanya. Sehingga dari tersebut akan lebih kaya dengan bentuk atau objek visual yang baru. nilai simbolik dalam karya seni dapat berubah, tidak hanya berpatokan pada nilai konvensional masyarakat. Konsep tentang permainan bebas tanda ini relevan juga dengan teori dari pemikir post-strukturalis, Julia Kristeva. Ia menjelaskan tentang model pemaknaan, salah satunya adalah significance, yaitu pemaknaan yang menghasilkan makna-makna subversive dan kreatif, suatu proses penciptaan tanpa batas dan tak terbatas. Proses penyaluran kapasitas-kapasitas sebjektifvitas pada diri manusia melalui ungkapan bahasa.
4. Mitos.
Istilah keempat adalah mitos, mungkin identik dengan cerita bohong atau khayalan. Istilah mengacu dalam bidang agama, antroplogi, sosiologi, psikologi dan seni rupa. Pengertian mitos adalah khayalan atau sacara ilmiah adalah sejarah yang tidak benar. Mitos telah menampati posisis yang penting dalam kehidupan manusia, hal ini dapat ditelusuri keberadaan mitos sejak zaman kuno. Dalam masyarakat primitive, mitos digunakan untuk menandai sesuatu yang sacral atau suci. Sebenarnya nilai substansial dari mitos itu telah dikonstruksi untuk mengalihkan atau mengaburkan makna. Mitos dipakai untuk mengalihkan makna pada suatu tempat atau bentuk, tetapi secara substansial dalam mitos itu tersimpan makna sebenarnya. Sebagai contoh, cerita rakyat memitoskan bahwa didalam gua ada seekor ular besar yang akan memangsa manusia yang berbuat merusak dan jahat. Mitos tersebut yang tampak adalah makna tersurat, tetapi nilai substansial dari mitos tersebut adalah sebagai peringatan manusia supaya tidak melakukan tindakan merusak alam.
Sedangkan menurut kajian semiotika, mitos merupakan sisi lain dari bahasa. Menurut Roland Barthes, mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial(yang sebetulnya arbiter atau konotatif), sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Menurut Roland Barthes, mitos adalah nilai-nilai sosial dalam khidupan manusia, ketika kita berbicara kehidupan sosial kita, maka pada hari itu menjadi mitos. Disini dapat ditarik kesimpulan juga, bahwa mitos merupakan bahasa simbolik yang tidak beku dan mandeg, akan tetapi merupakan bahasa yang dapat menggairahkan dan sekaligus menyatukan nilai-nilai budaya. Suatu budaya yang lenyap dapat diartikan sebagai mitos yang lenyap, maka dari itu substansi dari mitos adalah pola permainan bahasa untuk menghasilkan makna.
Lantas seperti apa peranan mitos dalam dunia seni rupa, mitos dalam seni rupa merupakan bahasa ungkap dan maksud sang seniman. Jika seorang seniman menyatakan perlunya menyatu dengan masyarakat, memerlukan legitimasi dan pengajuan status sebagai seniman yang berfungsi di masyarakat. Peran mitos menjadi sarana pencarian sudut pandang dalam pencapaian tujuan tertentu. Dan tentunya penyampaian makna dalam sebuah karya seni. Misalnya, pelukis Raphael mencoba menciptakan lukisan School of Athens. Lukisan ini mencoba menceritakan cerita nyata pada zaman Yunani, tentang iklim pemikiran tentang alam semesta dan filsafat manusia. Dengan berbagai sumber dan data yang berhasil dirangkum, Raphael mencoba mengungkap dari sisi dramatis dan spirit suasana pada waktu itu. Dengan demikian Raphael mencoba memberi tawaran bahasa dalam melihat kenyataan, dan ia sebenarnya telah menggunakan sekaligus menciptakan mitos.
Lukisan Raphael, School of Athens, yang mencoba menawarakan bahasa unkap lewat mitos |
Dengan mempelajari dan mengetahui tentang citra, metafora, simbol dan mitos dalam seni rupa yang pada masa lalu dianggap sebagai dekorasi dan retorika. Maka wacana tersebut dapat member fungsi mendalam tentang menguak karya seni rupa. Dengan adanya ide tentang citra, metafora, simbol dan mitos, dapat membantu kita mencari makna, tanda dan pengkodean dalam karya seni rupa. Dengan adanya ide tersebut sekaligus memperkaya wujud, konsep, dan objek dalam seni rupa. Dan ide tersebut membebaskan dari sistem yang sudah ada dan terkungkung pada wacana yang sudah berlalu. Muatan-muatan ide melalui keempat istilah tersebut menjembatani pambagian dan pengkajian karya seni rupa, atas komponen bentuk dan teknik yang dirasa sudah biasa, kehadiran dan keberadaannya memberi kekayaan visual dan sekaligus keberagaman makna.
Langganan:
Postingan (Atom)