Skill Dalam Berkesenian
Dalam berkesenian atau menciptakan sebuah
karya seni membutuhkan kecakapan, keahlian, ketrampilan. Keahlian tersebut
dapat disebut juga dengan istilah skill. Sebenarnya bukan dalam kesenian
saja yang membutuhkan skill, dalam semua pekerjaan membutuhkan skill
atau ketrampilan. Lantas skill seperti apa yang dibutuhkan dalam
menciptakan sebuah karya seni. Apakah ketika menciptakan sebuah karya seni
membutuhkan skill yang berbeda tingkatannya?.Atau skill yang sama
tingkatannya dimiliki oleh setiap orang?. Misalkan ketika seniman menciptakan
sebuah lukisan Surealisme dengan lukisan dekoratif, apakah membutuhkan skill
yang sama?. Atau ketika musisi memainkan musik Progresive dengan musik Punk,
apakah membutuhkan skill yang sama atau berbeda?.
Sebelum membahas lebih lanjut persoalan
skill dalam berkesenian, ada baiknya kita pelajari terlebih dahulu apa itu
yang dimaksud dengan skill?. Skill yang kita tahu adalah ketrampilan
atau keahlian dalam memainkan atau mengoperasikan sebuah instrumen atau alat.
Memang itulah pengertian skill adalah sama dengan ketrampilan, keahlian
yang dimilki oleh setiap individu. Tentunya skill yang dimiliki
masing-masing individu memiliki tingkatan atau kapasitas yang berbeda, di akui
atau tidak memang ada perbedaan di setiap individu. Maka dari itu ada baiknya
kita mencoba menelusuri pengertian skill menurut para ahli atau pemikir.
Pengertian dan jenis skill.
Menurut Nadler skill adalah kegiatan
yang memerlukan praktik atau dapat diartikan sebagai implikasi dari aktivitas.
Berarti disini dapat dijelaskan bahwa skill atau ketrampilan lebih
dititik beratkan kepada proses praktik dari pada teori. Memang idealnya ketrampilan
adalah suatu kegiatan aktif, dalam rangka menciptakan atau membuat sesuatu.
Tetapi apakah skill yang kita miliki itu sudah ada dalam diri kita?
Apakah manusia yang dilahirkan sudah memilki skill ?.Atau skill
itu diperoleh dengan pengalaman atau pengetahuan?. Sebaiknya kita perlu
mengetahui teori dari Dunnette, menurut Dunnette skill adalah kapasitas
yang dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa tugas yang merupakan pengembangan
dar hasil training dan pengalaman yang di dapat.
Menurut pengertian dari Dunnette, bahawa skill
adalah kapasitas atau kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Dan pekerjaan
terebut akan berhasil jika melalui dua tahap yaitu training dan
pengalaman. Maka dari itu ketrampilan yang dimiliki oleh setiap orang memiliki
kapasitas yang berbeda. Skill dari masing-masing individu akan
bertambah, jika di asah atau ditajamkan melalui pelatihan dan pengalaman yang
di dapat dalam kehidupan. Maka tidak heran jika orang yang cukup umur telah
berpengalaman, maka orang tersebut secara tidak langsung terasah skill
nya. Dalam berkesenian apabila skill yang punyai belum dapat dikatakan
maksimal, maka teruslah mengasah skill anda dengan cara rajin berlatih
dan mengerjakan apa yang anda cintai dengan ketekunan.
Oleh sebab itu skill atau ketrampilan tidak
datang tiba-tiba tanpa diolah dan ditajamkan dengan pelatihan yang intens dan
pengalaman. Tetapi lebih jauh kita sebagai individu ada baiknya mengetahui
kemampuan dasar(basic abilty) yang dimiliki. Dengan kata lain kita harus
mengetahui kecenderungan kita kemana, misalkan sebagai seorang yang mempunyai
kecenderungan di bidang seni atau matematika. Dalam bidang kesenian itu juga
masih dipecah kecenderungn kita menjadi lebih mengerucut, seni apa yang akan
kita tekuni atau pelajari. Maka dari itu kita harus tahu kemapuan dasar kita (basic
abilty). Dengan kemampuan dasar yang kita milki di bidang seni, maka kita
dapat dengan mudah mengerjakan atau menciptakan karya seni dengan cukup mudah
dan tepat. Kemampuan dasar menjadi pertimbangan awal dalam memilih kecenderungan
kita dalam suatu bidang, tak terkecuali kesenian. Yang nantinya kecenderungan
itu akan berbuah kecintaan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ketika suatu
pekerjaan dilandasi dengan kecintaan, maka dalam mengerjakannya akan menikmati
dan akan mendapatkan kepuasan (passion).
Jadi dalam dunia kesenian memang diperlukan skill
supaya seni tersebut dapat diciptakan atau dimainkan dengan sungguh, dan
menghasilkan sebuah kepuasan bagi sang kreator dan juga audiens. Tentu saja
dalam menciptakan sebuah seni, memerlukan tingkatan skill yang berbeda.
Misalkan ketika seorang pelukis menciptakan lukisan jenis Dekoratif dengan
Surealisme, tentunya memerlukan tingkatan skill yang berbeda. Begitu
juga ketika musisi memainkan jenis musik Dangdut dengan Progresive, tentunya
akan memilki tingkatan skill yang berbeda. Terdapat beberapa tingkat
kesulitan atau kerumitan dalam setiap
bidangnya, maka dari itu perlu di imbangi pula dengan ketajaman skill
yang berbeda.
Mengenai tingkat skill yang berbeda menurut
Robbins, skill dapat dikelompokan menjadi beberapa tingkatan:
1.Basic
Literacy Skill adalah
keahlian dasar, merupakan keahlian seseorang yang pasti dan wajib dimiliki oleh
kebayakan orang, seperti membaca, menulis dan mendengar.
2.Technical
Skill adalah keahlian teknik,
merupakan keahlian seseoarang dalam pengembangan teknik yang dimiliki, seperti
melukis, bermusik, menghitung, dll.
3.Interpersonal
Skill adalah keahlian
interpersonal, merupakan kemampuan seseorang secara efektif untuk berinteraksi
dengan orang lain maupun dengan rekan kerja, seperti pendengar yang baik,
menyampaikan pendapat secara jelas dan bekerja dalam satu tim (kecakapan
sosial).
4.Problem
Solving adalah menyelesaikan
masalah, adalah proses untuk menajamkan logika, beragumentasi dan penyelesaian
masalah serta kemampuan untuk mengetahui penyebab, mengembangkan alternatif dan
menganalisa serta memilih penyelesaian masalah yang baik.
Itulah pembagian skill berdasarkan tingkat kemampuan individu,
tentunya kita bisa memiliki semua keahlian di atas dengan pelatihan dan
pengalaman belajar. Namun dalam konteks ini perlu ditekankan, bahwa pembahasan
disini adalah dalam konteks berkesenian.
Maka dari itu skill yang tepat untuk mendalami
kesenian atau mencipta karya seni adalah basic litercy skill dan technical
skill. Dimana dalam kedua skill tersebut dirasa cukup tepat dalam
konteks berkesenian, maka dari itu akan di fokuskan pembahasan pada kedua skill
tersebut. Sebagimana telah dijelaskan di atas, kita hendaknya mengetahui
kecenderungan kita atau skill dasar kita dalam suatu bidang. Apabila
kecenderungan atau kompentensi dasar kita di bidang kesenian, maka tajamkanlah
minat berkesenian. Setelah menemukan skill dasar yang kita miliki ,
selanjutnya kita dapat menajamkan skill tesebut secara intens sehingga
meningkat ke technical skill. Disini timbul pertanyaan, bagaimana cara
mengasah atau menajamkan skill yang kita miliki untuk dapat sampai ketingkat technical
skill.
Faktor-faktor dalam meningkat skill.
Dalam pencapaian suatu tingkatan skill
dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor proses belajar,
faktor pribadi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut menjadi penentu
untuk sebuah pencapaian skill yang akan dicapai. Berikut penulis akan mencoba
uraikan faktor-faktor tersebut.
proses belajar, pada intinya skill atau ketrampilan memang
dapat dipelajari. Proses belajar yang intens
akan mengasah skill kita menjadi lebih tajam. Dalam berkesenian misalnya
seorang pelukis tentu tidak akan langsung dapat melukis realis, sebelum belajar
tentang sketsa, anatomi, pencampuran warna, komposisi dan elemen lainnya.
Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa kesenian itu membutuhkan bakat atau
ada pengaruh genetis. Sebenarnya pendapat tersebut belum tentu dapat dikatakan
sepenuhnya benar, dalam abad ilmu pengetahuan semua dapat dipelajari secara
ilmiah.
Proses belajar mempunyai andil yang cukup
penting dalam meningkatkan skill berkesenian kita. Seniman-seniman
seperti Picasso menghasilkan 20.000 an karya, sedangkan Van Gogh menghasilkan
lebih dari 800 lukisan dan sekitar 900 gambar. Kedua seniman besar tersebut
sebagai contoh proses belajar yang tekun dan mencintai sebuah pekerjaan dalam
hal seni, akan menghasilkan karya-karya yang bercitarasa tinggi. Ketekunan dalam
melukis tentunya melalui proses yang lama, semua melalui tahap demi tahap,
kedua seniman tersebut adalah contonya. Selain dedikasi terhadap bidang yang
digelutinya, faktor selanjutnya adalah faktor internal yang berhubungan
kepribadian kita.
Faktor pribadi merupakan faktor kedua setelah faktor belajar. Faktor
pribadi (personal factor) adalah faktor yang di milki oleh individu
secara khusus yang berupa kemampuan dari dalam. Menurut Singer ada 12 faktor
yang sangat berhubungan dengan upaya peningkatan skill diantaranya
adalah : (1) ketajaman mata(indra) (2) Persepsi (3) intelegensi (4) ukuran
fisik (5) pengalaman masa lalu (6) kesanggupan (7) emosi (8) motivasi (9) sikap
(10) faktor-faktor kepribadian (11) jenis kelamin dan (12) usia. Itulah ke 12
faktor pribadi yang berperan dalam peningkatan skill, berikut penulis akan coba
uraikan tiap poin tersebut. Yang pertama disebutkan adalah ketajaman mata,
mungkin disini perlu disempurnakan pengertian tersebut. Akan lebih tepat jika
ketajaman mata mengandung pengertian penginderaan. Karena mata adalah salah
satu panca indera kita, tetapi dalam konteks ini mungkin indera seperti
pendengaran juga dirasa cukup berperan dalam pencapaian skill. Intinya
kesemua indra itu mendukung dalam menajamkan skill kita, karena tidak semua
disiplin ilmu seperti seni mengandalkan mata, seni musik harus mengedepankan
indra pendengaran.
Sedangkan persepsi adalah bagaimana
menerjemahkan sensasi indra yang kita terima saat ini. Persepsi adalah
perpanjangan dari pencerapan indera kita, lebih utamanya indera penglihatan.
Proses pengolahan persepsi indra kita sebagian memang ditentukan secara
genetik, tetapi sebagaian besar merupakan hasil dari pembelajaran selama
bertahun-tahun, baik melalui pengetahuan
atau pengalaman. Maka dari itu, proses persepsi antara satu individu
dengan individu lainnya memilki tingkat perbedaan. Dalam konteks ini persepsi
ada dua macam yaitu persepsi indra dan persepsi kognitif. Dengan adanya
persepsi indra, kita melihat, mendengar, merasakan dunia dengan cara yang sama.
Sedangkan persepsi kognitif lebih bervariasi antara individu satu dengan yang
lainnya. Variasi persepsi kognitif timbul dari perbedaan suku, agama,
lingkungan sekitar, atau tingkat sosioekonomi kita.
Selanjutnya adalah intelegensi, adalah sifat
pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar,
merencanakan, memecahkan masalah, memahami gagasan dan belajar. Ketajaman
intelegensi mempunyai peranan yang sama penting dalam meningkatkan skill
kita, dalam hal ini adalah berkaitan dengan kemampuan kita dalam berpikir
secara kognitif. Dengan adanya intelegensi maka kita dapat dengan mudah
memikirkan sekaligus berusaha memecahkan masalah yang berkaitan dengan
peningkatan skill. Faktor selanjutnya adalah ukuran fisik seseorang ternyata memengaruhi dalam usaha
peningkatan skill. Apabila dipikir secara logis saja, memang kita sudah
dapat membanyangkan bagaimana jika ukuran fisik kita terlalu besar atau kecil.
Misalkan seseorang memilki tubuh fisik yang gigantis, dengan jari-jari yang
panjang tentu akan kesulitan memainkan instrumen gitar, begitu juga sebaliknya
orang yang berukuran kecil. Maka yang terjadi adalah penyesuaian suatu alat
atau instrumen tersebut. Tetapi yang jadi pertanyaan di jaman yang serba
canggih seperti sekarang, bukan tidak mungkin kurang sempurnanya fisik
seseorang dapat terbantu dengan rekayasa sains atau teknologi.
Pengalaman masa lalu berperan dalam
meningkatkan skill kita dalam satu disiplin ilmu. Dengan adanya
pengalaman masa lalu, membuat kita merasa tidak asing lagi terhadap sesuatu
yang kita tekuni pada saat ini. Dapat dikatakan, ketika kita mempelajari suatu
bidang, secara tidak langsung kita menyempurnakan ide-ide masa lalu dalam
bentuknya yang baru. Faktor berikutnya adalah kesanggupan, ketika seseorang
mendalami skill yang diinginkannya maka harus ada kesanggupan atau
ketekunan. Memang ketika kita menekuni bidang tersebut harus ada yang
dikorbankan, kita harus total dalam waktu, tenaga, pikiran dan materi. Dengan
segala kesungguhan tersebut maka akan terbayar dengan kemampuan skill
kita yang semakin terasah. Kemudahan akan kita dapatkan dalam bidang tertentu,
dalam bidang seni misalkan maka akan mudah memainkan instrumen gitar atau
melukis.
Selanjutnya adalah emosi yang ada pada diri
kita ternyata berperan dalam meningktakan skill. Emosi disini adalah
bukan amarah yang tinggi dalam mendalami suatu bidang tertentu, emosi disini
berkaitan dengan suasana hati dari individu. Dalam artian emosi tidak selamanya
berakibat buruk dalam kehidupan, memang emosi selalu ada dan hadir dalam diri
kita. Perlu ditekankan disini, ketika kita dapat mengendalikan emosi kita untuk
hal-hal yang positif maka bukan tidak mungkin segala sesuatunya akan menjadi
lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Ekman bahwa emosi-emosi kita
harus dalam jumlah yang benar, yang proporsional dengan peristiwa yang
ditimbulkan, emosi itu harus diekspresikan pada waktu yang benar, dalam suatu
cara yang sesuai dengan pemicu emosional dan lingkungan dimana hal itu terjadi,
dan emosi itu juga harus diekspresikan dengan cara yang benar, dalam suatu cara
yang tidak menimbulkan kerugian. Memang tidak mudah mengatur emosi kita untuk
hal yang positif.
Motivasi yang kuat dari masing-masing individu
dibutuhkan dalam meningkatkan skill, harus ada motivasi yang kuat untuk
mendalami suatu bidang tertentu. Dan motivasi tersebut biasanya didasari kausal
yang berpengaruh dalam diri individu. Dan kejadian yang spesifik dari seseorang
menjadikan kadar motivasi tiap individu berbeda. Kejadian atau pengalaman masa
lalu seseorang kadang menjadi motivasi yang kuat disamping juga motivasi dari
orang-orang terdekat. Selanjutnya sikap, dalam hal ini adalah berkaitan dengan
perilaku kita dalam mendalami suatu bidang. Sikap kita dalam menajamkan skill,
tentunya menjadi perhatian kita semua. Memang sikap kadang berkaitan dengan
watak seseorang, tetapi bukan tidak mungkin kita dapat menyesuaikan sikap
dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi. Tentunya sikap yang positif perlu
ditanamkan dalam menjalani proses peningkatan skill, seperti disiplin,
tata krama, bahasa, dan mudah berinteraksi.
Faktor-faktor kepribadian sesorang turut
berperan dalam peningkatan skill.
Memang manusia itu termasuk spesies yang unik yang memilki kepribadian
yang tidak sama. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda-beda, dengan
perbedaan tersebut menjadi berpengaruh dalam segala sesuatunya, termasuk dalam
mengasah skill. Dengan latar belakang pribadi yang berbeda, maka
pencapaian sutu tujuan akan melalui proses yang berbeda. Individu yang
mempunyai faktor kepribadian yang tempramental dan pendiam tentunya mempunyai
pencapaian skill yang berbeda pula. Selanjutnya dalam peningkatan
skill ternyata ada pembeda antara wanita dan laki-laki. Disadari atau tidak
memang perbedaan jenis kelamin memengaruhi dalam peningkatan skill kita
dalam berkesenian atau ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini skill berhubungan erat dengan
kreativitas, ketika sudah ada skill dalam diri sesorang maka kreativitas
akan mudah diwujudkan. Dalam konteks ini jenis kelamin memengaruhi dalam pencapaian keahlian, apakah
disini ada ke-tidak-adilan terhadap salah satu gender. Dalam konteks ini
mungkin yang merasa dirugikan adalah dari pihak perempuan. Sebagai bukti
penguatan teori tersebut perlu dikutip studi oleh Murray (2003), wanita hanya
mengambil porsi 2,2% dari para genius kreatif di negar-negara Barat, Arab,
India, China dan Jepang untuk bidang bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sastra,
seni dan musik. Tentunya ada faktor yang mendasari kenapa wanita tidak
dominan dalam industri kreatif berkaitan
dengan skill. Perbedaan wanita dengan kaum pria bukanlah di otak, tetapi
pebedaan justru di rahim, karena wanita memilki rahim, wanita bisa hamil dan
melahirkan anak.
Pengaruh anak terhadap peningkatan skill
perlu digaris bawahi karena menurut Hayes (1989), para wanita yang kreatif
hampir semuanya tidak memiliki anak, atau kalaupun ada, hanya memilki sedikit
anak. Selain itu faktor kedua adalah yang menghambat peningkatan skill
adalah sosiokultural dari lingkungan sekitar yang kadang masih terkungkung pada
paradigma lama, yaitu wanita hanya bertugas di dapur sebagai ibu rumah tangga.
Tetapi di abad milenium kesetaraan gender terus diperjuangkan di beberapa
negara maju. Bukan tidak mungkin wanita akan sejajar dengan laki-laki dalam
segala bidang, tidak terkecuali dalam dunia seni. Tetapi sebagai catatan saja
memang dalam dunia seni hanya sedikit deretan nama perempuan, seperti Rene
Magritte, Frida Kahlo(seni lukis), Jane Austen, Emily Dickinson, Sylvia Path,
Ane Sexton, JK. Rowling(sastra). Sedangkan dari dalam negeri hanya ada beberapa
nama-nama yang tercatat seperi R.A. Kartini, Dewi Sartika,dalam dunia seni
lukis tercatat nama seperti Lucia Hartini, Erika, Arahmaini, di bidang sastra
ada Zara Zetira, NH Dini, Ayu Utami, Dewi Lestari dan S. Mara Gd.
Dertan nama-nama tokoh perempuan tersebut
tentunya tidak sebanding dengan jumlah tokoh atau seniman laki-laki. Dalam satu
periode seni hanya memunculkan beberapa nama wanita, tetapi bukan tidak mungkin
di masa depan wanita dapat sejajar dengan pria. Selanjutnya manusia hidup di
dunia ini tentunya dianugerahi umur atau usia yang terbatas, dan dengan usia
yang terbatas memengaruhi dalam proses meningkatkan ketrampilan atau keahlian.
Secara logika saja memang kita dapat membaca, kekuatan tubuh manusia
berpengaruh dalam segala aktifitasnya. Maka dengan bertambahnya usia, manusia
semakin terhambat dalam melaksanakan aktifitasnya termasuk dalam mengasah skill
atau menciptakan kreasi. Jarang sekali kita mendengar kemampuan orang yang
sudah sepuh memilki prestasi dalam suatu kreativitas artistik, bukan dalam hal
pemikiran atau teori.
Faktor lingkungan adalah faktor terakhir dalam penentu penajaman skill.
Memang lingkungan sangat berpengaruh besar terhadap pribadi dan pembentukan
karakter individu, tak terkecuali dalam usaha peningkatan skill atau
kemampuan seseorang. Lingkungan tempat seoarang berada sangat berpengaruh dalam
hal pemikiran dan ketrampilan. Kondisi sosiokulktural sekitar kita memengaruhi
pola pikir kita dalam menjalankan segala aktivitasnya. Lingkungan terkecil atau
terdekat dengan kita adalah keluarga, komunitas terdekat kita yang memberikan
dukungan moril dan semangat kepada kita. Diantara dukungan tersebut adalah menanamkan semangat
belajar sejak masih kecil, disiplin waktu, motivasi dan psikologis.
Lingkungan tersebut menjadi kunci dalam
menjalankan atau menempuh aktivitas kita, dalam usaha peningkatan mutu
ketrampilan kita dalam satu bidang. Sekalipun dukungan keluarga optimal, tetapi
kondisi masyarakatnya tidak mendukung maka besar kemungkinan, proses menuju
peningkatan mutu skill akan sia-sia. Sebagai contoh kondisi masyarakat
yang pemalas, berpendidikan rendah, pemikiran yang sempit, maka kondisi seperti
itu cukup berimbas kepada pemikiran kita dan psikologis. Jadi dalam konteks ini
harus ada kondisi yang memang benar-benar harus mendukung, kalaupun tetap tidak
dapat lepas dari pengaruh buruk tersebut, jalan keluarnya kita harus
meninggalkan atau pindah tempat agar menemukan ide-ide baru. Disamping itu juga
kita harus terbuka pada ide-ide baru yang muncul dilingkungan sekitar, dalam
artian tidak tertutup terhadap input positif dari lingkungan. Pada
intinya keadaan sosial masyarakat tertentu berpengaruh terhadap usaha
peningkatan mutu seseorang. Membuka diri terhadap ide-ide dari luar merupakan
faktor penting juga dalam meningkatan skill seseorang.
Itulah beberapa faktor yang melandasi dalam
usaha peningkatan skill, untuk mencapai suatu penciptaan atau kreasi di suatu
bidang. Dalam bidang seni semua itu mutlak dibutuhkan dan menjadi bahan
pertimbangan untuk mencapai tujuan artistik. Jadi tidak ada perdebatan mengenai
masalah skill yang dimiliki oleh satu individu dengan individu lainnya.
Setiap seni mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Dalam seni musik, skill
dalam memainkan musik Punk, Dangdut, Progresive atau Death Metal tentunya
mempunyai tingakatan yang berbeda. Begitu juga dalam seni lukis tentunya dalam
menciptakan sebuah lukisan yang berbeda jenis di perlukan skill yang
berbeda pula. Maka dari itu skill yang kita punyai dalam satu disiplin
ilmu menjadi modal dasar (basic literacy skill), untuk dapat
ditingkatkan lagi menjadi tingkatan selanjutnya ke tahap technical skill.
Sebagai penutup mudah-mudahan artikel ini dapat bermanfaat bagi semua, kita
disini sama-sama belajar apabila terdapat ketidaksempurnaan dalam tulisan ini,
saya disini sebagai penulis hanya manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan. Maka dari itu penulis tunggu saran, kritik, masukan, cacian, makian, atau apalah, silakan tulis di
buku tamu atau bisa langsung komentar di kolom komentar.[]
Sumber pustaka.
Ø
It Pin
Arifin, “Ketika Archimides berteriak “EUREKA!”.
Ø
R.J.M.
PHILPOTT, “Van Gogh, Sebuah Boigrafi”
Ø
Paul
Ekman, “Membaca Emosi Orang”
Ø
Desy
Ariani, “Evaluasi Pelatihan Ketrampilan Bagi Perajin Keramik Plered”
Ø
Agus
Nggermanto, “Quantum Quotient”