Rumah-Rumah
Tradisional Makam Dawa di Tengah Modernisasi.
Manusia dalam sejarahnya selalu berolah pikir
untuk dapat bertahan hidup. Peradaban demi peradaban lahir dari pemikiran dan
kreativitas manusia itu sendiri, yang bertujuan untuk bertahan hidup dan
menunjukan eksistensi komunalnya. Manusia bertahan hidup dari mulai mencari
makan, berburu, bercocok tanam, membuat pakaian hingga membangun tempat
tinggal. Rumah atau tempat tinggal pada
awalnya, sebagai tempat perlindungan diri dari cuaca, serangan binatang
buas, atau bahkan tempat berlindung dari serangan musuh. Dan fungsi asli rumah
memang masih tetap sampai sekarang, tetapi dibalik itu terdapat fungsi lain
yang mempunyai nilai simbolis.
Dalam konteks ini manusia memang mempunyai
sifat dasar untuk mencipta atau membuat karya. Sehingga manusia juga di juluki
sebagai “Homo Faber”, yaitu kecenderungan untuk membuat karya untuk
kepentingan kehidupan. hasil karya yang diciptakan manusia tentunya tidak
dibuat begitu saja, segala sesuatu yang buat oleh manusia tersebut mempunyai
fungsi, kegunaan, dan nilai. Nilai ini dapat bermacam-macam, misalnya sejauh
dapat mencerminkan arti kegunaan, keindahan, sosial, ekonomis dan lain
sebagainya. Dengan demikian berkarya berarti menciptakan nilai : dalam setiap
karya terwujudlah suatu idea dari manusia. Dalam konteks penulisan artikel ini
adalah hasil ciptaan manusia yaitu berupa rumah sebagai tempat tinggal
sekaligus sebagai media sosial dengan lingkunnya.
Dalam penulisan ini akan dibahas tentang
rumah-rumah tradisional di Dukuh Makam Dawa, Desa Galuh Timur, Tonjong. Di mana
di kampung Makam Dawa, masih terdapat rumah-rumah tradisional, yang terbuat
dari Gribig atau Gedeg (ayaman bambu) dan kayu sebagai bahan
utamanya. Tulisan ini kiranya menjadi penting, sebagaimana kita tahu
perkembangan budaya dan teknologi begitu cepat di era milenium. Tetapi di sisi
lain masih terdapat artefak-aretafak sejarah di lingkungan Kecamatan Bumiayu,
salah satunya adalah bangunan-banguan rumah tradisional yang masih tetap
bertahan sampai sekarang. Kita tidak tahu dalam beberapa tahun kedepan
bagaimana nasib rumah tradisional tersebut. Kenapa rumah-rumah tersebut masih
tetap bertahan sampai sekarang, banyak faktor yang memengaruhinya dan
membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Di era yang serba modern dan digital seperti
ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, kampung-kampung yang
masih terdapat rumah tradisional dapat dengan cepat hilang. Modernisasi memang
sudah lama sekali, muncul bersamaan
dengan revolusi industri pada abad ke-18 di Eropa. Modernisasi dan digitalisasi
tentunya mengubah mindset individu dan menimbulkan efek di
lingkungannhya. Sehingga bagaimana caranya supaya manusia itu tetap bisa
bertahan di jaman yang serba cepat ini. Begitu juga dengan kemajuan di bidang
arsitektur, perumahan-perumahan elit telah merambah kota-kota kecil. Perumahan
dengan beragam model bangunan yang modern, vintage, minimalis, sampai
kontemporer mengisi perkotaan. Di lingkungan kota Bumiayu sendiri sudah banyak
perumahan-perumahan yang menawarkan berbagai fasilitasnya.
Dengan gempuran modernisasi di segala bidang
tersebut, disisi lain masih terdapat sisa masa lalu yang masih bertahan. Salah satunya adalah
rumah-Rumah tradisional di Makam Dawa, Galuh Timur sampai sekarang masih ada
dengan kondisi yang masih asli dan ada beberapa rumah tradisional yang sudah di
poles. Dukuh Makam Dawa yang terletak di Desa Galuh Timur, merupakan salah satu
Dukuh yang paling ujung dari Desa tersebut. Untuk dapat sampai ke Makam Dawa,
dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor juga mobil. Jarak dari Bumiayu
ke Makam Dawa sekitar 12 km, kondisi jalan yang berkelok-kelok, sedikit
menanjak juga kondisi jalan dengan aspal yang sudah rusak membuat perjalanan ke
sana menjadi sedikit terhambat. Memang Dukuh tersebut dapat dikatakan jauh dari
keramaian kota, masih terdapat ladang dan perkebunan milik rakyat juga di
kelilingi pegunungan yang masih rimbun. Kondisi masyarakatnya cukup hangat,
ramah, semangat kebersamaan dan solidaritas masih tetap terjaga, ini terbukti
cepat akrabnya dengan tim Kompas Boemi (Komunitas Pecinta Sejarah Bumiayu)
dengan penduduk setempat.
Mata pencaharian penduduk di Makam Dawa kebanyakan
bertani, buruh, mungkin ada beberapa yang merantau ke kota-kota besar. Kondisi
di kampung tersebut dapat dikatakan masih banyak tedapat ladang-ladang, sehingga
penduduk setempat bekerja mengolah ladang tersebut. Dari segi pendidikan di
kampung tersebut terdapat Madrasah dan Sekolah Dasar. Sehingga anak-anak dapat
bersekolah formal di pagi hari dan memupuk ilmu agama pada sore hari di
Madrasah. Lingkungan di kampung tersebut masih terdapat ladang atau pekarangan yang
rimbun dipenuhi semak, rumah-rumah berada di tengah-tengah dan menyatu dalam
satu komplek. Jalan-jalan yang menghubungkan blok kampung cukup sempit tetapi
sudah di aspal dan juga di paving blok.
Rumah-rumah yang becorak tradisional masih
cukup banyak, dan letaknya di pinggir jalan utama kampung tersebut. Namun ada
beberapa yang letaknya agak masuk, dan harus ditempuh dengan jalan kaki.
Rumah-rumah tradisional tersebut berderet dengan rumah-rumah yang sudah modern
(terbuat dari batu bata dan semen). Di depan atau belakang rumah tradisional
masih terdapat ranggon (kandang kambing), dan juga kebiasaan masyarakat
jawa selalu memelihara ayam. Sehingga di rumah-rumah tersebut terdapat kandang
ayam atau dalam bahasa Bumiayu adalah ranggap. Tetapi ada beberapa rumah
yang tiang-tiang bagian depan sudah menggunakan cor semen, sebagai pengganti
tiang kayu. Di depan rumah-rumah tradisioanal tersebut, terdapat kursi panjang
atau rusbang, sehingga terasa jaman dulunya. Kursi panjang tersebut
sebagai tempat bercengkrama keluarga, melepas lelah, dan santai ketika sore
hari. Sebagai simbol modernisasi yang terlihat di rumah tradisional di Makam
Dawa, adalah terdapat antena TV atau bahkan parabola terpasang di atap rumah.
Hal ini menandakan modernisasi telah merambah ke perkampungan yang terisolir,
dan jauh dari perkotaan ternyata sudah tersentuh oleh modernisasi bahkan
digitalisasi.
Secara
historis keberadaan rumah tradisional, memang termasuk rumah yang mencerminkan
kondisi rakyat kecil yang secara ekonomi masih di bawah. Hal ini mungkin
dikarenakan oleh berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi bangsa dan juga
iklim politik di negeri ini. Pembangunan yang tidak merata sehingga memunculkan
kesenjangan sosial yang cukup jauh, antara kelas arsitokrat (elite) dengan kaum
rakyat kecil (wong cilik). Dengan kondisi pembangunan yang tidak merata
tersebut, mengakibatkan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.
Memang rumah-rumah tradisional dapat dikatakan
sebagai saksi sejarah peradaban perjalanan bangsa Indonesia. Rumah tradisional
sebagai cermin masyarakat In Lander, di mana rakyat Indonesia memang
dulunya hidup di bawah tekanan penajajah Belanda. Sejak jaman penjajahan
perbedaan kelas dalam masyarakat Jawa sudah ada sejak dulu. Sehingga dalam
masyarakat Jawa secara historis di kenal golongan sosial dalam
masyarakatnya. Orang Jawa membedakan dua
golongan sosial : 1. Wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian
besar petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota dan 2. Kaum
Priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Imbas
dari perbedaan kelas di masyarakat Jawa, mengakibatkan perbedaan yang sangat
mencolok dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bahkan tempat tinggal.
Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah gedeg
atau kayu yang terdiri atas beberapa kamar, dengan lumbung padi kecil dan
kandang, di mana barangkali terdapat seekor kerbau beberapa ekor kambing dan
ayam. Itulah mengapa kaum petani membuat rumah yang terbuat dari gedeg
atau gribig, itu tak lain adalah sebagai pembeda antara wong cilik dan
kaum priyayi. Nah rumah-rumah di Makam Dawa sebagai bukti bahwa perbedaan kelas
sosial dalam masyarakat Jawa sampai saat ini masih ada. Dan memang identiknya
dalam masyarakat yang hidup di kampung-kampung membuat rumah dari bambu dan
kayu, karena alasan ekonomi dan juga kelas sosial yang sudah terbentuk sejak
dulu.
Maka dari itu rumah pada dasarnya tidak hanya
sebagai tempat tinggal, tetapi sudah masuk ke ranah semiotika sebagai penanda
dan simbolisasi. Manusia membangun tempat tinggal untuk kenyamanan dan
melindungi dari cuaca ekstrim, itulah makna denotatif yang muncul dalam konsep
sebuah rumah. Namun kisah semiotik pada bangunan tidak berhenti sampai di situ.
Kisah tersebut mengungkapkan bahwa bangunan merupakan tanda identitas, status,
kekuasaan dan seterusnya. Jadi ketika suatu kelompok masyarakat membuat
banguan, secara sadar atau tidak sadar mereka telah menciptakan tanda kultural
sebagai ciri. Maka dari itu dalam konteks ini rumah-rumah tradisional secara
semiotik, menandakan apa yang dimaksud dengan penanda konotatif. Jadi terdapat
makna simbolis dan kurtural dalam arsitektur rumah tersebut. Walaupun kita
kadang tidak menyadarinya, tetapi dalam ilmu pertandaan memang terdapat makna
dalam kata atau benda.
Rumah tradisional di Makam Dawa terbuat dari
gedeg atau gribig, secara semiotik gedeg tersebut menandakan
bahwa rakyat kecil identik dengan sifat yang lemah dan ketidakberdayaan. Tetapi
walaupun rakyat kecil lemah dan tak berdaya, secara paradoks gedeg tersebut
menandakan solidaritas yang masih tetap terjaga dilingkungan masyarakat kampung.
Penanda solidaritas tersebut dapat dilihat, pada corak anyaman bambu dari gribig
atau gedeg yang saling kait-mengait. Ketika ketidakmampuan dan sifat
lemah tersebut bersatu, maka yang terjadi adalah kekuatan yang dapat
mengalahkan keangkuhan.Ukuran rumah tradisional tidaklah tinggi atau besar,
tetapi mempunyai ukuran yang kecil juga sedang. Ukuran tersebut jelas
menandakan kapasitas ruang gerak dari rakyat kecil, yang secara sosial politik
terkadang dibatasi oleh kekuaasaan yang angkuh. Ukuran rumah yang rendah
tersebut juga menandakan, bahwa rakyat kecil selalu tunduk dan taat pada norma yang
berlaku di masyarakat dan tidak sombong atau angkuh. Tentunya tanda semiotik
tersebut akan kontras, ketika kita membicarakan vila dan gedung-gedung pencakar
langit di kota besar. Istana, vila, dan pencakar langit didirikan untuk menampilkan
kekuasaan dan kekayaan.
Rumah tradisional tersebut sebagai ciri
kebudayaan Jawa, yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Di mana budaya Jawa
kaya akan simbolisasi dalam setiap unsur kehidupan. Budaya Jawa menyimpan
nilai-nilai yang tinggi akan kebudayaan adiluhung nenek moyang kita. Filsafat
Jawa selalu mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan alamnya, dan
kearifan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu rumah-rumah tradisional
di Makam Dawa, menyimpan kearifan lokal dan aset sejarah yang mesti kita
lestarikan. Walaupun tidak di pungkiri modernisasi akan menerjang, dan masuk ke
sendi-sendi perkampungan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan
rumah-rumah tersebut akan hilang. Dan semua itu akan menjadi sebuah cerita
sejarah bagi anak cucu kita di kemudian hari. Maka dari itu mulai dari sekarang
kita hendaknya sadar akan pentingnya nilai sejarah, terlebih sejarah bangsa
kita kaya akan nilai-nilai budaya dan tradisi. Sebagimana yang Bung Karno
katakan “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau
adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan
datang”.[]
Ditulis oleh:
Alik Setiawan S.Sn.
Bumiayu, 19 Januari 2014
Referensi :
·
Pesan,
Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Marcel Danesi, 2011, Jalasutra, Yogyakarta.
·
Etika
Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Frans Magnis Suseno, 1984, Gramedia,
Jakarta.
·
Sekitar
Manusia, Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, Soerjanto Poespowardjo dan K. Bertens, 1978,
Gramedia, Jakarta.