Jumat, 16 November 2012
Peranan Kritik Terhadap Dunia Seni di Bumiayu
PERANAN KRITIK TERHADAP DUNIA SENI DI BUMIAYU
Ketika sebuah karya seni hadir ke hadapan
publik, maka harus menerima konsekuensi yang ada berupa kritikan dan saran.
Bukan Cuma karya seni saja, semua karya, semua perbuatan, tingkah laku, teks,
omongan dan yang lainnya akan menuai pro dan kontra. Pro dalam bentuk pujian, setuju, idem,
penghormatan, pengagungan, pengkultusan, ikonisasi dan persahabatan. Sedangkan kontra akan dalam
bentuk kritik, pembenaran, rekonstruksi, dekontruksi, reformasi, atau bahkan
celaan, hinaan, cacian dan makian. Sebenarnya kritik itu memang diperlukan
dalam segala disiplin ilmu, tidak hanya kesenian yang membutuhkan kritik. Dalam
bahasan berikut ini saya akan mencoba menulis dan sekaligus merespon iklim
berkesenian yang ada di Bumiayu. Kenapa saya menulis tentang kritik dalam
konteks seni, dikarenakan konsentrasi saya di bidang kesenian. Tetapi disisi
lain ada pemicu atau stimulus, dan yang menyebabkan saya mencoba mendalami apa
itu kritikan.
Dan dari pemicu tersebut akan saya tuangkan
dalam bentuk tulisan, diharapkan nantinya dapat dijadikan bahan diskusi atau
renungan kita bersama. Pemicu yang meggelitik seperti apa dan menyebabkan saya
menganggkat tema tentang kritik. Kausal tersebut muncul ketika ada pelaku seni
di Bumiayu mengutarakan pernyataan, yang kurang lebih seperti ini “ anak-anak
ini, baru mau muncul, belum siap untuk di kritik, kritiknya nanti dulu”. Kurang
lebih itulah bentuk pernyataan yang muncul, dan menurut saya cukup menggelitik
dan perlu untuk didalami. Pada intinya ketika semua bentuk karya atau apa saja
yang tampil dan muncul kehadapan publik akan menuai berbagai komentar, tak
terkecuali kritik. Sebelum membahas kritik tentang atmosfir berkesenian di
Bumaiyu, saya akan mencoba membahas esensi dari kritik itu sendiri.
Esensi Kritik.
Kritik merupakan suatu bentuk pembenaran atau
dekontruksi dari seseorang yang merasa peduli terhadap suatu pokok bahasan,
dimana tujuan kritik adalah untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pelakunya
atau penciptanya. Lalu apakah semua individu itu mempunyai kapasitas dalam
menilai atau mengkritik suatu bentuk?. Pada intinya semua individu mempunyai
kebebesan berpendapat atau berbicara, dan berbicara itu merupakan hak asasi
yang sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir. Berbicara dalam bentuk kritik
merupakan hak setiap individu, dan tentunya harus relevan dalam suatu pokok
bahasan, dan tentunya masih dalam batas kewarasan. Sebagaimana yang dinyatakan
Roland Barthes, bahwa kita tanpa merasa takut bisa menentang siapa pun untuk
mempraktikan kritik yang “polos”, yang bebas dari determinasi sistematis
apapun. Tentunya individu yang mengkritik haruslah obyektif dalam melihat pokok
permasalahan yang ada, tanpa ada tendensi apa-apa di balik semua itu Ditujukan
kepada hasil karya, tata cara, perialaku, sikap, perbuatan, omongan, dan juga
pada subyek itu sendiri.
Sebuah kritik pada dasarnya merupakan kritik
terhadap subjek, pemikiran, rasio dan kesadaran, atau meniliti pemikiran untuk
mensistematisirnya, menganalisa rasio untuk mengkonstruksinya dan merivisi
pandangan manusia dengan deskripsi nilai-nilai yang muncul dari kesadaran
dirinya dan mampu mengekspresikan dengan subyekstivitas dirinya. Dalam artian
sebuah kritik itu merupakan penjelasan tentang subyek yang menngungkapkannya
dengan tujuan untuk merekonstruksi sesuatu dalam realitas dunia dan
dinamikanya. Dengan demikian kritik merupakan bentuk ungkapan yang dilontarkan
oleh individu, dalam rangka merekontruksi sebuah tanda yang ada dalam suatu
bentuk yang hadir di dunia. Tanda tersebut diteliti, direvisi, dikontruksi
dalam sudut pandang sang pengamat.
Memang terdapat kecenderungan dalam diri
manusia itu sendiri, ketika seseorang berkarya atau berekspresi individu
tersebut merasa bahwa itu sudah benar. Sesungguhnya dalam dunia ini tidaklah
ada kebenaran absolut dan manusia adalah tempatnya salah dan kekurangan. Ketika
sebuah karya seni atau teks itu diciptakan oleh sang pengarang maka yang ada
adalah sebuah ketidaksempurnaan dari suatu karya, dalam konteks ketuhanan.
Tidak ada teks atau penafsiran yang lebih utama dan lebih benar daripada yang
lain, sehingga tidak mungkin suatu aliran memonopoli kebenaran tanpa yang lain
serta tidak mungkin sebuah school of thought mengganggap dirinya sebagai
satu-satunya pembentuk sumber ilmu pengetahuan. Jadi tidak patutlah
meyombongkan diri dalam sebuah penciptaan, maka dari itu dari sisi lain muncul
subjek yang berupaya mengkontruksi tanda yang telah diciptakan author.
Terdapat kecenderungan pula, dalam sebuah penciptaan sering terdapat kelalaian
atau ketidaksadaran dalam menyusun atau mengkomposisikan sesuatu. Maka dari
situ lah kritik hadir menjalankan tugasnya, merevisi, meniliti, mengkuliti,
mengkaji, mengkritisi apa yang tidak sesuai secara obyektif.
Baik dari author atau kritikus dalam
menilai sesuatu tidaklah mendekati kebenaran yang absolut, semuanya itu
relatif. Bentuk kritikan yang dilontarkan tentunya bukanlah bentuk kebenaran
yang obsolut, kritikan merupakan bentuk penyempurnaan menuju ketidaksempuraan.
Secara substansial kritik itu sendiri dapat dibangkitkan oleh individu sendiri
dalam rangka mengintrospeksi diri sendiri menuju kebaikan yang lebih dan
pemahaman yang mendekati sempurna. Semua individu dapat menjadi kritikus bagi
dirinya sendiri, tanpa menunggu kritikan dari subyek lain. Kita dapat
melakukannya dengan melakukan kritik dan instropeksi terhadap diri kita
sendiri. Keduanya tidak akan berarti apa-apa kecuali kita bergaul dengan subyek
kita dan mengekspresikannya kepada alam tanpa memperdulikan segala kelemahan
dan kegagalan kita.
Jadi secara sadar kita harus mengetahui bahwa
kita memang mempunyai kelemahan dan kegagalan dalam kehidupan kita. Tetapi
kelemahan, kegagalan, kesalahan, ketidaktahuan menjadikan kita berpikir dan
mengintrospeksi dan sekaligus mengkritik subyek dan juga orang lain. Idealnya
sebelum mengkritik subyek lain hendaknya kita memamahami kapasitas diri kita
sendiri. Pantas tidakkah kita melontarkan sebuah krtitikan, tetapi idealnya
sebuah kritikan memang dapat dilontarkan oleh siapa saja dalam batas kewarasan.
Jadi suatu bentuk utopia, kelamahan, romantisme yang dimiliki oleh sebagian
individu merupakan bentuk pelemahan dari individu itu sendiri. Individu yang
mencipta selalu diliputi dengan kebimbangan dan keraguan atau bahkan
ketidaksadaran. Ketika suatu karya itu ditampilakan kehadapan publik, maka
kritik akan mencoba menilisik masuk menuju ruang terdalam.
Kapasitas kritik adalah sebuah penggalian,
penggungkapan, penelanjangan dan pembukaan. Ia tidak menunjukan kesia-siaan dan
pembakaran. Ia adalah pengungkapan yang bertujuan untuk merekonstruksi dan
reproduksi. Ia merupakan suatu penjelasan yang untuk membebaskan subyek dari
kelemahannya dan menjadikannya mampu memberikan pengaruhnya pada siklus
kehidupan dan pemikiran. Sedangkan kelemahan adalah ketiadaan kekuatan untuk
mengatasi segala kesulitan atau tuntutan yang cenderung membawanya ke dalam
situasi kehidupan yang membatasi segala dinamikanya. Sumber kelemahan itu
berasal dari nilai-nilai lama(romantisme) yang membuat hubungan seseorang
dengan subyektivitasnya, orang lain, realitas dan alam khayal, serta
pengetahuan dan otoritas menjadi negatif dan tidak produktif, bahkan
menyedihkan dan menghancurkan.
Nah, disinilah krtik menjalankan peranannya,
dari sinilah harus ada pembongkaran, pembersihan segala hal yang menjadi
penghalang, penghapusan semua dugaan, prasangka dan keyakinan dogmatis,
penjelasan pengetahuan yang masih samar, serta pembebasan dari otoritas
tertentu yang membatasinya. Kritik merupakan usaha untuk menyingkapkan segala
kekuatan dan potensi yang tersemnbunyi dalam setiap sesuatu, dengan cara
membuka segala sesuatu yang tertutup, mengungkap sesuatu yang tersembunyi,
merubah sesuatu yang tetap, mengeksplorasi sesuatu yang samar, mengganti
teologi menjadi sejarah, metafisika menjadi fisika, irasional menjadi rasional.
Mengungkapkan sistem makna dan menguraikan simbol-simbol inti, membebaskan diri
dari otoritas tradisi teks dan teks serta menghidupkan pengetahuan yang telah
mati. Itulah substansi dari sebuah kritikan yang dalam implementasi pada
kehidupan manusia.
Hasil cipta karya manusia apa intinya memang
tidaklah sempurna, semuanya memerlukan pembenahan. Maka dari itu kritik hadir
dalam kehidupan, dalam komunitas, dalam atmosfir kesenian dan lainnya.
Singkatnya arah tujuan kritik menjadikan
pikiran kita bangkit dari kegegelapan tidurnya dan subyektifitasnya sendiri,
membebaskan diri dari kelemahan dan keluar dari keterbatasanya. Jadi, memang
pada dasarnya sebuah sikap atau wujud penciptaan tak luput dari yang namanya
ketidaksempuraan. Maka dari itu kita memanglah masih jauh dari sempurna, begitu
juga hasil karya kita masih jauh dari sempurna. Maka jauhkan sifat sombong,
yang menganggap bahwa kita ini sudah benar sudah sempurna, semua itu
membutuhkan pembenahan yang terus menerus. Tak terkecuali dalam penciptaan
sebuah karya seni. Lihatlah para maestro seni kita, mereka berkarya sampai tua
bahkan sampai akhir hanyatnya, mereka merasa bahwa karya seni mereka masih jauh
dari sempurna dan perlu disempurnakan oleh generasi selanjutnya.
Jadi sebagai insan seni hendaknya kita
menyadari bahwa, manusia itu masih jauh dari kebenaran dan kesempurnaa. Jadi
tidak lah pantas menyombongkan diri dihadapan sesama manusia, kita harus menyadari
kapasitas kita masing-masing. Untuk itu, orang-orang yang menyatakan bahwa
kebenaran bersifat tetap dan tidak dapat berubah serta mengaku-ngaku telah
memliki kuncinya, maka sebenarnya dia termasuk orang yang telah dibohongi oleh
banyak kebenaran dan dibenturkan dengan multi-realitas. Maka dari itu tidak ada
kebenaran atau kesempurnaan yang absolut, maka dari situlah lahir kritik yang
akan mejadikan dinamika di suatu komunitas. Akan menjadi stagnan, statis, dan
kemandekan dalam sebuah komunitas, jika tidak adanya sebuah kritik atau
masukan. Itulah bahasan tentang esensi sebuah kritikan yang memang diperlukan
dalam sebuah komunitas, iklim,kelompok seni, atmosfir, apa saja, tak terkecuali
pada forum.... yang ada di Bumiayu.
Kritik Terhadap Atmosfir Seni di Bumiayu.
Di atas telah dijelaskan panjang lebar
mengenai substansi dari sebuah kritik, sekarang tinggal implementasi dalam
atmosfir seni di Bumiayu. Kenapa yang dibahas atmosfir seni di Bumiayu, karena
memang itulah pokok bahasan yang sesungguhnya. Dimana kritik itu memang harus
hadir dan dijalankan di atmosfir seni di Bumiayu. Bumiayu sebuah kota kecil
yang memang mempunyai atmosfir seni yang dapat dikatakan cukup dinamis dan
bergairah, dapat juga dikatakan “Demeyar”.
Memang itulah salah satu kecenderungan sesuatu di Bumiayu, ramainya hanya
awal-awalnya saja. Mereka mencoba membuktikan eksistensi individu atau
kelompoknya, dan kadang eksistensi tersebut menuju ke titik arogansi. Begitu
juga dalam dunia seni yang ada di Bumiayu, eksistensi dari suatu kelompok
terkadang terlalu asik dalam ekstase popularitas. Atau bahkan individu atau
komunal mengalami sebuah titik yang dapat dikatakan sebuah kesombongan dan
merasa dirinya paling benar.
Dunia seni yang ada di Bumiayu memang dirasa
kurang subur dalam menerima sebuah kritik dari sesorang. Sebenarnya kritik di
atmosfir seni itu memang ada, hanya saja masih ada bebarapa pihak yang belum
menyadari substansi dari kritik itu sendiri. Dalam artian ada sebuah pemahaman
yang beranggapan bahwa, mereka yang mengkritik jika bukan dari lingkungan atau
golongan(balane dewek) dirasa sok tahu atau hanya omong kosong. Itulah
kecenderungan yang subyektif dari beberapa individu, yang masih menganggap
bahwa ada orang asing yang akan mengusik kandang sebuah kelompok seni. Sungguh
situasi yang ironis, ketika di belahan wilayah lain membutuhkan kritik dari
sesorang, jusrtu keadaan di Bumiayu sebaliknya, menolak kritik atau saran dari
seseorang yang di anggap sebagai outsider. Itu adalah pendapat
subyektif saya, bukan kenapa-kenapa memang keadaan seperti itu pernah terjadi
di lingkungan seni di Bumiayu.
Sebenarnya kritik mengkritik itu tidak melihat
dari mana orang itu berasal semua bisa mengkritik sebagaimana yang di nyatakan
Roland Barthes. Kita semua dapat mengkritik secara “polos”, sesuai dengan
pandangan kita dalam menyikapi sesuatu. Terlalu rapatnya pintu untuk sebuah
kritikan dalam beberapa komunitas di Bumiayu, menyebabkan iklim seni di Bumiayu
menjadi stagnan. Kita lihat saja contoh konkritnya, misalkan dalam sebuah acara
seni saya ambil contoh event Bumiayu Fair yang biasa menampilkan pementasan
seni pertunjukan tiap malamnya. Kita amati saja dari tahun ke tahun dalam
panggung utama apa yang sering ditampilkan pada tiap malamnya. Pertunjukan apa
yang sering paling tampil mengisi acara tersebut, mungkin kita sepakat menjawab
band dan dangdutan. Pertunjukan lain tetap ada hanya mungkin dalam porsi yang
sedikit.
Lalu kesimpulan seperti apa, yang didapat dari
mengamati sebuah pertunjukan tersebut?. Mungkin tidak banyak orang yang
mengkritisi perunjukan setiap malamnya di Bumiayu Fair. Pertunjukan dari tahun
ke tahun apakah cukup ada peningkatan, perubahan, dinamika, atau hanya
biasa-biasa saja. Tetap ada kekurangan disana-sini tetapi dalam setiap tahunnya
event pertunjukan tersebut saya rasa tidak ada perubahan atau penigkatan yang
cukup signifikan. Memang banyak faktor yang mempengaruhi kenapa pertunjukan
seperti itu terkadang tidak optimal. Salah satu faktornya adalah mungkin
pendanaan, sumber daya manusianya, dan masalah lainnya. Permasalahan seperti
sound system, tata lampu, pengisi acara sampai gaya penggung pengisi acaranya.
Sound system dalam panggung seni di Bumiayu Fair memang masih jauh dari cukup,
pengisi acara yang itu-itu saja tidak ada yang lain. Gaya panggung pengisi
acara yang biasa-biasa saja yang tidak balan dengan musik yang dibawakannya.
Mungkin itu sedikit pengamatan saya di
panggung seni Bumiayu Fair, masih banyak permasalan lain di dunia kesenian di
Bumiayu tetapi disini saya mengambil contoh tersebut. Selanjutnya saya tidak
akan membahas secara mendalam masalah panggung seni di Bumiayu Fair. Memang
idealnya kritik diperlukan bukan hanya dalam acara tersebut, dalam segala
sesuatu yang telah muncul di hadapan publik. Dalam pengamatan saya atmosfir
seni di Bumiayu ada semacam privilise, yang mengakibatkan tertutupnya hak
individu lain dalam mengungkapkan pendapat atau kritiknya. Selain itu menjadi
monoton ketika yang muncul atau tampil hanya orang-orang itu saja, acaranya
hanya seperti itu saja, penampilannya cuma biasa saja. Seperti yang saya
tuliskan pada awal tulisan ini, yaitu bentuk pernyataan dari seseorang yang
mengungkapkan “jangan dulu mengkritik”. Privilise yang diberikan kepada
individu dalam suatu komunitas tersebut, walaupun itu secara sadar atau tidak
sadar, saya juga kurang mengetahui. Sehingga yang terjadi adalah mandeknya
kritik atau mediator teknis dalam konstruksi dunia seni di Bumiayu.
Dengan tidak adanya salah satu konstruksi seni
tersebut maka yang terjadi adalah sebuah ketimpangan dan arogansi. Mereka yang
menjadi author merasa bahwa karyanya sudah benar atau bagus,
penampilanya sudah pantas, gayanya sudah luar biasa secara subyektif. Padahal
dalam dunia kesenian adalah unity yang saling melengkapi dan mengisi, sang
pencipta ingin karyanya di apresiasi dan sang audiens ingin memberikan komentar
terhadap karya yang dilihatnya. Semua menjadi satu kesatuan yang nantinya akan
menjadi balan dan berjalan harmonis. Dunia kritik mengkrtik bukanlah hal yang
menjelek-jelekan, memojokan, menggurui atau menghancurkan. Jadi kita harus bisa
mengklarifikasinya dan menyikapinya dengan tujuan untuk menjadikannya mejadi
lebih baik. Yang merasa sebagai kreator akan mendapat masukan dari audiens, dan
penikmat akan belajar mengkritisi karya seninya. Sehingga diharapkan akan
terjadi kesinambungan, kreator akan lebih percaya dalam menampilkan karyanya
dan sebaliknya apresiator akan menjadi pengamat yang kritis dan cerdas.
Memang kritik itu tidak hanya ditujukan buat
orang lain saja, kita sendiri dapat mengkritisi subyektivitas kita. Jadi tidak
ada salahnya melakukan kritik mengktitik, jika masih kontekstual dan sesuai
dengan porsinya. Semua orang mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya kepada siapa saja dan tentunya di imbangi
dengan sebuah tanggung jawab. Jika memang belum ada kesiapan dalam menghadapi
sebuah kritik memang itu kembali kepada individu masing-masing atau suatu
kelompok. Akan menunggu kritik jika
sudah mencapai popularitas atau dikritik ketika memang sudah saatnya dan
membutuhkan saran dari seseorang. Tidak perlu menunggu, semua kembali kepada
individu masing-masing, yang secara sadar memang harus tahu substansi dari
kritik. Ketidaksiapan kita dalam menerima kritik memang menjadi kecenderungan,
yang membedakan kita dengan bangsa Barat. Sebagai penutup akan saya kutip
pernyataan dari pemikir kebangsaan Libanon Dr. Ali Harb “ Inilah sebenarnya
titik perbedaan antara kita dengan Barat. Mereka mengkritik subyektivitas
mereka sendiri, sedangkan kita tidak. Mereka menjelaskan batasan-batasannya dan
menguraikan segi-segi kelemahannya sendiri di saat kita menutup-nutupi
kekalahan kita dan menyembunyikan realitas kita “.
Referensi :
· Membedah Mitos-mitos Budaya Massa, Roland
Barthes.
· Relativitas Kebenaran, Dr. Ali Harb.
· Posmodernisme dan Budaya Pop, Angela Mc
Robbie.
· Tamasya Dalam Hiperealitas, Umberto Eco.
Persoalan Kontribusi Dalam Dunia Seni di Bumiayu
PERSOALAN KONTRIBUSI DALAM DUNIA SENI DI BUMIAYU
Dalam dunia kesenian memang didukung oleh
beberapa elemen, yang menjadi satu kesatuan atau unity dalam rangka
menjadikan keutuhan dalam seni. Seniman atau artist tidak mungkin
sendiri dalam mekspresikan sebuah karya seninya, semua itu membutuhkan dukungan
dari semua elemen tersebut. Sebelum membahas permasalahan kontribusi dalam
dunia seni sebaiknya kita harus tahu terlebih dahulu, siapa saja yang turut
berperan dalam membangun iklim berkesenian. Seniman atau musisi tidak mungkin
sendiri menjalankan seninya. Intinya tulisan saya ini menjawab dari sebuah
perdebatan yang pernah terjadi dalam sebuah komunitas virtual, yang saya rasa
masih subjektif(banget) dalam membahas sebuah persoalan. Menurut hemat saya dari
pada berdebat yang orang-orang nya masih belum menyadari arti penting sebuah
diskusi. Dimana sebuah diskusi akan mengasah dan mempertajam pemikiran kita,
melahirkan ide-ide baru, mendapatkan ilmu dari dari temen diskusi yang tidak
tahu jadi tahu, yang sudah tahu bukan berarti sok tahu. Ketika semua orang
sudah menyadari peranan atau kapasitasnya dalam sebuah komunitas, maka yang
terjadi bukan lah adu mulut yang berujung pada penghinaan, cekcok, apalagi
sampai pencemaran nama baik, sungguh keadaan yang tidak mencerminkan kearifan
dalam pemikiran atau masyarakat yang sadar pendidikan.
Konstruksi Dalam Dunia Kesenian.
Menjawab dari persoalan kontribusi dalam
sebuah dunia seni atau komunitas seni, seperti apakah bentuk kontribusi
seseorang dalam kesenian. Sebelum membahas lebih jauh masalah kontribusi
sebaiknya kita harus mengetahui terlebih dahulu kontstruksi seni yang turut
serta dalam membangun dunia seni. Konstruksi dalam dunia seni secara garis
besar di bagi menjadi empat bagian yaitu
1.
Seniman
dan karya.
2.
Masyarakat
penyangga.
3.
Lembaga-lembaga
sosio kultural.
4.
Mediator
teknis (wacana).
Demikian ada empat pilar konstruksi dalam dunia seni, semuanya menjadi
satu kesatuan dalam dunia seni yang saling melengkapi dan mengisi dalam rangka
menjadikan iklim berkesenian yang kondusif dan seimbang. Jadi seniman atau
musisi tidak berdiri sendiri dalam melahirkan atau mengekspresikan seninnya,
semua itu membutuhkan dukungan dari semua komponen tersebut.
Komponen utama dalam dunia kesenian adalah artist
atau seniman, semua ini berlaku untuk semua bentuk seni tidak hanya
seni rupa. lahirnya sebuah karya seni tentunya dari tangan sang seniman, dari
hasil pemikiran, ide, imajinasinya akan menghasilkan sebuah karya seni yang
artistik dan indah. Seniman akan menghasilkan lukisan yang tentunya akan
dipamerkan atau dijual melalui galeri-galeri. Karya musisi akan didengar oleh
audiens, seniman teater akan menghasilkan pertunjukan yang kan dipentaskan dan
ditonton oleh para masyarakat. Karya seni itu tentunya akan disajikan atau dipamerkan
kepada publik. Seniman atau musisi tidak mungkin membuat karyanya untuk
kepentingan sendiri, karena seni itu pada dasarnya mempunyai fungsi untuk
kehidupan atau bersifat sosial. Jadi seni selain berfungsi untuk mencapai
kepuasaan individual, juga berfungsi secara sosial untuk memberikan stimultan
positif dalam kehidupan manusia.
Komponen yang kedua adalah masyrakat
penyangga, dalam masyarakat penyangga dibagi lagi lebih spesifik menjadi
empat bagian. Yang termasuk masyarakat penyangga adalah comunal suport,
religion suport, goverment suport dan comercial suport. Bagian
pertama yang termasuk masyarakat penyangga yang pertama adalah comunal
suport atau kelompok pendukung. Siapa saja yang termasuk dalam kelompok Comunal
Suport , yaitu orang atau individu yang terdekat dalam ruang
lingkup si seniman atau musisi. Dalam konteks ini dapat disebutkan antara lain,
teman dekat, asisten, rodhie, crew, audiens, dan kelompok spesialis yang dekat
dengan seniman atau musisi. Kelompok pendukung ini berperan penting dalam
membantu terciptanya sebuah karya seni, terkadang memang seniman atau musisi
tidak dapat bekerja sendiri dan membuthkan bantuan orang lain. kelompok
masyarakat penyangga selanjutnya adalah Religion Suport, dalam
masyarakat penyangga terdapat masyarakat agama. Hal ini secara historis dapat
ditelusuri sejak peradaban Renaisans, diamana pada waktu itu peranan gereja
sebagai pendukung penuh dalam sebuah penciptaan karya seni sang seniman.
Seniman sering diminta oleh pihak gereja untuk melukis cerita dari Al kitab di
langit dan dinding gereja. Pada saat sekarang dapat dilihat peran masyarakat
agama adalah pada event-event yang bernuansa religius. Dalam seni rupa peran
masyarakat agama bersinergi denga karya-karya yang religius yang terpajang pada
tempat-tempat iabadah.
Selanjutnya ada Goverment Suport
atau dapat disebut juga masyarakat modern, siapa saja yang tergolong masyarakat
modern. Masyarakat modern yaitu para intelektual, para pelajar, mahasiswa,
audiens seni, kolektor seni dan penulis. Mereka inilah yang tergolong
masyarakat modern, kenapa disebut masyarakat modern karena mereka tidak hanya
sebagai penikmat seni yang pasif mereka intens dan kritis dalam mengapresiasi
karya seni. Kekritisan dalam penilain akan menimbulkan sudut pandang yang
berbeda dan terkadang pemikiran mereka manjadi bahan pertimbangan dalam
penciptaan karya seni selanjutnya. Kelompok
terakhir yang tergolong dalam masyarakat peyangga adalah Comercial
Suport. Kelompok ini dapat disebut juga sebagai kelompok
masyarakat yang mempunyai peranan nilai kapital dan jaringan (sosial). Yang
tergolong dalam masyarakat kapital dan sosial antara lain, kolektor seni,
sponsoship, galery seni, studio rekaman,
event organizer, industri dan media. Mereka inlah yang ikut membantu
dalam memasarkan sebuah karya seni dari sang seniman atau musisi. Disamping
menghasilkan nilai kapital, kelompok comercial suport seperti media tentunya
akan membuat karya dari si seniman akan lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Jadi masyarakat penyangga merupakan bagian penting yang tidak dapat dibaikan
peranannya dalam perhelatan dunia seni secara umum.
Konstruksi seni yang ketiga adalah
lembaga-lembaga sosio kultural, adalah lembaga atau instansi yang
mendukung dan menjalankan program-program seninya secara konsisten. Lembaga-lembaga
sosio kultural dibagi menjadi tiga lagi yaitu lembaga kebudayaan pemerintah,
lembaga kebudayaan swasta dan lembaga kebudayaan/pendidikan kesenian. Lembaga
sosio kultural pemerintah seperti taman budaya, dinas kebudayaan, dewan
kesenian, museum, dan perpustakaan, lembaga swasta antara lain museum, sanggar
seni, art space, galery dan kelompok kesenian. Dan lembaga kebudayaan
pendidikan antara lain sekolah, sanggar seni, kelompok belajar, perpustakaan
dan lainya. Semua ini turut serta dalam membangun satu fondasi yang bernama
kesenian. Keberadaan lembaga sosio kultural merupakan elemen penting yang tidak
dapat diabaikan keberadaannya.
Konstruksi seni yang terakhir adalah mediator
teknis (wacana), yang termasuk dalam mediator teknis antara lain kurator, kritikus
dan pengamat seni. Mediator teknis merupakan elemen pendukung terakhir dalam
ranah seni, mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menampilkan seni
ke publik. Mereka mengkritisi, mengkurasi, mengamati karya seni, yang kemudian
diolah ke dalam wacana ditujukan kepada publik. Jadi sebuah karya seni tidak
hanya berhenti sampai di galery, panggung, music shop, karya seni akan
dikritik dan diamati oleh publik. Dalam konteks ini semua individu dapat
menjadi kritikus dan pengamat seni, walaupun memang sudah ada bagian khusus
yaitu para kritikus dan pengamat seni. Dalam konteks ini saya berpegang pada
teori “The Death of Author” , yaitu matinya sang pengarang atau
pencipta. Sang seniman atau pengarang sebagai unit yang memproduksi makna telah
berlalu, proses pemaknaan dapat diproduksi oleh para pemabaca atau audiens.
Ketika sebuah karya seni hadir ke hadapan publik, makna yang telah diusung oleh
sang seniman atau pencipta akan hilang
dan akan lahir makna baru dari sang pembaca (reader). Sang pembaca atau
apresiator lahir sebagai “kreator makna” baru. Dan bagaimanapun proses tafsir
atau penciptaan makna akan diserahkan kepada pembaca atau penikmat sebuah karya
seni. Sehingga karya seni yang lahir tidak cukup berhenti hanya sampai disitu
saja, semua orang dapat menyelami sebuah karya seni dan melahirkan makna- makna
baru. Sebuah karya seni yang sudah tercipta oleh sang seniman akan dikonstruksi
maknanya oleh audiens, sehingga yang lahir adalah makna-makna baru. Konsep ini
menyingkirkan arbirternes sebuah teks atau makna yang telah diciptakan oleh
unit produksi makna yaitu seniman atau musisi.
Kontribusi Individu di Dunia Seni Bumiayu.
Itulah beberapa konstruksi seni yang membangun
sebuah fondasi yang bernama rumah seni. Jadi kesemuanya itu ikut berperan dan
saling menjalin untuk sebuah satu pencapaian dan saling bersinergi satu dengan
yang lain. Dapat dikatakan seniman atau musisi yang dapat dikatakan sebagai center
sign tidak mungkin berdiri sendiri dalam ranah dunia kesenian. Lantas apa
relevansi itu semua dengan permasalahan kontribusi dalam dunia seni. Sebenarnya
yang menjadi pokok bahasan tulisan saya ini, adalah untuk meluruskan kekeliruan
yang pernah terjadi dan sering saya dengar di lingukungan komunitas seni di
Bumiayu. Kata kontrubusi sendiri mempunyai arti yaitu sumbangan, sumbangan
dalam konteks ini apakah harus berupa materi karya seni, wujud fisik, atau tak
berujud. Nah, disini dipertanyakan apa subtansi dari sebuah kontribusi dari
seorang atau individu. Di atas telah dijelaskan panjang lebar konstruksi dunia
seni, dimana pada intinya semua orang itu mempunyai kontribusi dalam dunia
kesenian atau komunitas walaupun dalam porsi yang berbeda.
Jadi semua individu dalam dunia seni semuanya
mempunyai kontribusi, semuanya tertampung dalam konstruksi seni yang akan
saling melengkapi. Jadi tidak ada suatu pernyataan yang yang tidak tepat atau
keliru dalam sebuah komunitas seni atau dunia berkesenian. Tidak ada pernyataan
yang kurang lebihnya seperti ini, jangan Cuma omongan saja!! Pinternya Cuma ngomong
saja!! Jangan Cuma pinternya mengkritik saja!. Permasalahanya bukan Cuma omong
atau kritik saja, jika kita tinjau lebih jauh bentuk omongan dari seorang
individu dapat berupa masukan, ide, pemikiran, konsep, atau paradigmas. Jangan
sampai yang merasa mempunyai posisi yang vital dalam komunitas seni atau dunia kesenian mengklaim individu
tersebut banyak omong, sok tau, atau bullshit. Sungguh pemahaman yang
pendek dan dangkal dalam menyikapi sebuah omongan atau ide. Kalau begitu yang
terjadi berarti mereka yang belum memahamai substansi sebuah kontribusi.
Apakah semua individu dalam dunia kesenian
harus menjadi pelaku utama, harus menjadi seniman, musisi, aktris dan aktor,
tentu tidak kan!!. Sebuah pemahaman yang keliru jika ada yang mengatakan, akh
kamu kontribusinya apa, Cuma omong doang. Permasalahannya ketika omongan itu
menghasilkan paradigma atau konsep baru kenapa tidak, dan tentunya omongan
tersebut ditindaklanjuti dengan perbuatan. Misalkan dalam komunitas musik,
semuanya menjadi musisi dan semuanya pentas di panggung, lalu siapa yang akan
menonton dan mengkritisi, siapa yang akan menilai, siapa yang akan
mengapresiasi. Di atas telah disebutkan
ada masyarakat penyangga yaitu audiens yang akan mengapresiasi dan
menonton pertunjukan mereka. Apakah semua itu bukan kontribusi, apakah
kehadiran seseorang dalam menyaksikan atau menonton pertunjukan musik itu bukan
suatu kontribusi. Lalu kontribusi macam apa yang diminta, apakah individu itu
harus main, harus pentas, harus main gitar, harus nyanyi, harus jadi pelukis
dll, tentu tidak kan!!. Kontribusi dalam komunitas musik atau seni lainnya,
mengapresiasi atau menyumbangkan pemikiran atau kritikan itu sudah merupakan
sebuah sumbangan dalam bentuk yang berbeda dan porsi yang berbeda pula.
Mengkritik dan mengamati merupakan bentuk kontribusi yang secara sadar akan
menjadi bahan pertimbangan sang seniman atau musisi.
Kenapa saya menulis sedetail itu, karena saya
pernah mendengar sendiri atau melihat tulisan seseorang dalam sebuah komunitas
seni di Bumiayu, yang dominan menilai bahwa kontribusi itu harus dengan porsi
yang lebih atau harus menjadi aktor utama. Dalam dunia seni semua mempunyai
posisi yang berbeda-beda, tidak harus menjadi pelaku utama. Peran masyarakat
penyangga dan wacana teknis dalam hal ini adalah kritikus dan pengamat
mempunyai peranan yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Jadi ketika suatu
karya seni sudah hadir ke hadapan publik, maka publik akan menilai dan mencari
makna yang tersembunyi dalam karya tersebut. Semua audiens berhak menkonstruksi
makna yang telah diciptakan oleh sang seniman, sebagaimana konsep the
death of author, semua bebas menacari makna dalam sebuah karya
seni, semuai bebas mengkritisi karya seni yang hadir.
Sebuah kritikan dan pengamatan dari individu
dalam komunitas merupakan sebuah kontribusi, begitu pula pemikiran atau diskusi
dalam sebuah komunitas. Kontribusi tidak harus tampil di panggung utama harus
tampil sebagai pelaku utama, tentunya tidak kan. Jadi sebuah pendapat yang
keliru jika ada yang mengatakan pintere cuma omong tok!!. Tetapi ketika omongan
tersebut ditindaklanjuti dengan tindakan, kenapa tidak. Kecenderungan sosial
iklim berkesenian di Bumiayu dalam pengamatan saya, dalam sebuah komunitas jika
ada individu baru dalam sebuah komunitas seni yang mempunyai paradigma yang
berbeda(tidak senada dengan pemikiran kebanyakan), maka akan langsung dklaim
tidak cocok dan bahkan sok tahu. Dan individu tersebut akan di anggap sebagai outsider,
yang tidak akan mempunyai suara dalam komunitas atau dunia seni tersebut.
Sungguh keadaan yang ironis dan tentunya tidak kita harapkan. Dalam bahasa
bumiayuan ada pendapat yang sering terdengar dalam dunia kesenian atau bidang
lain, lah ko bocah wingi bisa apa (lha kamu anak kemarin sore, bisa
berbuat apa).
Yang jadi permasalahan bukan masalah anak
kemarin sore, ketika individu kemarin sore tersebut mempunyai pemikiran atau
paradigma dirasa berbeda, kenapa tidak dikaji dulu bukan langsung menghakimi,
bahwa pemikiran itu salah. Tulisan saya ini mencoba memperbaiki iklim
berkesenian di Bumiayu yang dirasa tidak terlalu kondusif dan kurang nayaman,
atau dapat dikatakan tidak balan. Jangan sampai ada sebuah kekeliruan yang
terjadi akibat dari pemahaman yang dangkal dalam menyikapi pendapat dari
seorang. Jika pendapat tersebut juga merupakan sebuah kontribusi dalam
memajukan iklim berkesenian atau dunia seni, kenapa tidak diklarifikasi, dikaji
atau didiskusikan oleh komunitas seni tersebut. Jauhkan konsep outsider
dalam sebuah komunitas, ketika pemahaman outsider itu tetap dipegang maka yang
terjadi adalah stagnansi dalam sebuah komunitas seni. Semua orang berhak
mengungkapkan pendapat, saran, kritik terhadap karya seni atau dalam sebuah
komunitas. Bukankah dalam negara kita adalah negara demokrasi yang bebas
mengungkapkan pendapat atau pemikiran. Dan lebih jauh dalam semboyan negara
kita Bhineka Tunggal Ika, sudah jelas yaitu berbeda-beda tetapi
tetap satu. Perbeadaan itu bukan perpecahan bung, bahkan dari perbedaan itu
akan menghasilkan dinamika dan cinta. Dimana cinta itu secara substansial
menyatukan dua perbedaan.
Demikian tulisan saya intinya adalah
mengkritisi iklim berkesenian di Bumiayu yang dirasa tidak kondusif dan kurang
nyaman. Karena Bumiayu bukanlah Jogjakarta yang berhati nyaman,
saya tidak tahu moto Bumiayu, apakah bumi yang ayu atau Bumiayu berhati apa
saya tidak tahu. Sebelum sesudahnya saya mohon maaf jika tulisan saya kurang
berkenan dihati para petinggi-petinggi seni yang ada di Bumiayu, bukan maksud
saya memojokan atau menggurui anda-anda semua. Saya menulis disini sesuai
dengan kapasitas saya sebagai sesama pelaku seni, jika ada salah dalam
penulisan silahkan diklarifikasi dan kemudian didiskusikan. Jika dalam
penulisan ini ada yang merasa dikritik, silakan balik mengkritik tulisan saya
atau karya seni saya. Demikian tulisan atau kritikan terhadap dunia berkesenian
di Bumiayu, mudah-mudahan dengan hadirnya individu-individu yang kritis akan
menjadikan iklim bekesenian di kota Bumiayu lebih dinamis dan berwarna. Kritis
dalam paradigma dan ide merupakan bentuk kontribusi dalam porsi yang
tentunya berbeda.
Salam budaya dan tetap dalam semangArt
kebersamaan!.
Referensi :
·
Kuliah
seni selama di ISI yogyakarta.
·
Hipersemiotika,
Yasraf Amir Piliang.
·
Dunia
Yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang.
·
Membedah
Mitos-mitos Budaya Massa, Roland Barthes.
Sabtu, 03 November 2012
sebuah karya seni masih dihargai sebatas...
Sebuah Karya Seni Masih Dihargai Sebatas.....
Bertolak dari sebuah kota kecil yang tidak begitu
cantik, bahkan dapat dikatakan kotor dan terkesan kumuh. Sebuah nama kota yang
yang tidak sesuai dengan namanya, yaitu Bumiayu. Mungkin kalau secara keseluruhan,
dalam artia kondisi alam di wilayah Bumiayu memang cukup ayu dan indah. Tetapi
apabila kita perhatikan kondisi di jalan-jalan kota Bumiayu terkesan kotor dan
semrawut, mudah-mudahan tidak berimabas ke penduduknya menjadi semrawut. Saya
disini tidak akan membahas tantang kesemrawutan kota kita tercinta, kota
kelahiran kita, kota kita semua yang katanya ayu. Biarlah itu menjadi tanggung
jawab pihak yang berwenang, saya hanya bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Dan
saya percaya kekuatan kata-kata dapat membuat perubahan pada yang membacanya.
Namun dari kesemuanya itu akan menimbulkan cerita yang beragam yang di alami
oleh saya selaku penggiat seni di Bumiayu. Dengan situasi dan kondisi kota
Bumiayu yang terbatas dan apa adanya, menimbulkan berbagai cerita yang menarik
dalam perhelatan seni rupa yang saya alami bersama teman-teman komunitas di
BumiArtyou Creativity.
Selama saya menjalani kehidupan seni di Bumiayu memang
dirasa cukup berat dan sulit. Masa depan dunia kesenian di kota tersebut seolah
tertutup debu yang sangat tebal dan sulit untuk ditembus. Dalam artia kondisi
sosial ekonomi masyrakatnya memang masih dapat dikatakan jauh dari realitas
seni. Dari pengalaman-pengalaman saya pameran bersama dengan teman-teman
komunitas seni rupa Bumiayu, respon masyarakat memang cukup antusias. Setelah
dunia seni rupa Bumiayu dapat dikatakan mati suri, setelah vakum dalam waktu ± tujuh tahunan. Dalam periode 90-an akhir memang masih
aktif beberapa senior saya yang sering menggelar kreasinya dijalan, menjadi seniman
jalanan di komplek Telkom Bumiayu. Seniman tersebut antara lain Haris “Agep”
Zulfikar, Maryanto, dan Hanif, yang tiap harinya menggelar karya kreasinya di
tempat tersebut. Tetapi saya kurang tahu juga apakah mereka hanya mangkal saja,
atau membuat kegiatan pameran atau kegiatan lainnya, mungkin ada tetapi saya
kurang begitu tahu. Seingat saya, pameran yang diadakan kelompok Agep cs,
sering dilaksanakan di pendopo Kawedanan Bumiayu.
Ketika mulai masuk periode 2000-an kelompok tersebut
mulai surut dalam perhelatan seni rupa di Bumiayu, mungkin dikarenakan
kesibukan dari masing-masing anggotanya. Dengan adanya kelompok-kelompok seni
rupa yang ada tersebut harusnya menjadi pembelajaran penting bagi masyarakat
Bumiayu, minimal dapat mencintai dan menghargai sebuah karya seni. Dari
pengalaman saya dan teman-teman dalam memamerkan karya kepada publik Bumiayu
cukup mendapat sambutan yang cukup beragam sampai ke titik yang tidak enak di
dengar. Pameran saya dengan temen-temen yang pertama dengan mengangkat tema
“Freedom Expression on the Road”. Pameran kelompok kami menjadi stimulus dalam
membangkitkan kembali pelaku seni di Bumiayu serta menjaring manusia seni baru.
Walaupun pameran yang dapat dikatakan jauh dari layak dalam memamerkan sebuah
karya seni.
Dengan semangat yang masih baru kami dapat memamerkan
karya kami di trotoar di depan kantor Pegadain Bumiayu. Pameran yang berlangsung
sekitar empat hari, cukup mendapat sambutan yang cukup antusias dari
masyarakat, walaupun dengan kemasan yang apa adanya. Pameran kelompok kami
berlangsung pada bulan agustus tahun 2006, dengan dana yang serba minim tetapi
dengan semangat yang lebih. Selanjutnya tahun 2007 kelompok kami menggelar
pameran yang kedua kalinya ditempat yang sama, di depan kantor Pegadaian Bumiayu.
Pameran kedua kami dengan mengangkat tema “BumiArtyou”, dalam pameran kedua ini
masyarakat Bumiayu lebih antusias lagi dalam mengapresiasi sebuah karya seni.
Tujuan dari diadakan pameran di trotoar adalah supaya masyarakat dapat langsung
melihat tanpa harus datang ke gedung pameran(disamping memang belum ada gedung
pameran). Dan tujuan lainnya adalah menjaring semua kalangan masyarakat dapat
mengapresiasi langsung karya seniman-seniman Bumiayu.
Dari pengalaman mengadakan pemeran di troatoar tersebut, saya mulai dapat menilai
sebatas mana masyarakat Bumiayu dalam mengapresiasi sebuah karya seni,
khususnya seni rupa. Berikut saya akan berbagi cerita dengan temen-temen di
dunia virtual,mudah-mudahan bermanfaat. Pameran yang kami gelar pada intinya
memang membuat masyarakat dapat melihat karya-karya seni rupa. Memang sudah
lama masyarakat Bumiayu tidak di suguhi karya-karya seni rupa secara langsung.
Dari beragam jenis lukisan yang ditampilkan tentunya mengundang tanya para
apresiator. Sewaktu pameran belangsung memang cukup banyak orang yang
berlama-lama melihat karya dan mengobrol tentang lukisan dengan saya dan juga
temen saya. Dari semua obrolan memang mereka cukup senang dengan kegiatan
seperti pameran lukisan ini, dan bahkan pameran lukisan di trotoar baru pertama
kali di adakan di Bumiayu. Dari sambutan dan antusiasme masyarakat saja kita
sudah cukup senang dan bangga.
Tetapi apakah cukup sampai disitu penghargaan sebuah
karya seni, apakah dengan pujian kita lantas sombong dan lupa diri. Dari
komentar-komentar yang diucapkan audiens memang cukup beragam, dari mulai yang
baik sampai dengan yang tidak enak di dengar. Tetapi itulah resiko dari sebuah
karya yang hadir di publik akan mengundang kritik dan saran. Seniman tentunya
menginginkan karyanya dapat laku terjual, itulah salah bentuk penghargaan
tertinggi terhadap karya seni tanpa mengabaikan nilai estetikanya. Dengan kata
lain seniman atau pekerja seni juga butuh makan. Kita sering mendengar lukisan
si seniman ini laku sekian sampai sekian, bahkan sampai dapat dikatakan harga
tidak wajar untuk sebuah lukisan. Kenapa hal ini dapat terjadi pada sebuah
lukisan kadang harganya bisa selangit dan sangat mahal. Jawaban singkat nya
itulah seni yang memang harus dibayar mahal karena tidak semua orang dianugrahi
kemampuan dalam seni serta seni membutuhkan tingkat pemahaman, kreatifitas,
teknik yang tidak biasa.
Lalu kondisi semacam itu apakah sudah dipamahami oleh
masyarakat Bumiayu. Saya rasa mereka belum menyadari secara substansial dari
seni itu sendiri. Dari pengalaman saya dilapangan dalam menggelar lukisan
berasama temen komunitas. Masyarakat Bumiayu masih dalam pemahaman yang
konservatif, mereka masih menghargai sebuah karya seni sebatas media atau
ukuran yang digunakan. Misalkan sebuah drawing menggunakan pensil warna atau
pastel, mereka pasti akan menawar dengan harga yang sesuai dengan media yang
digunakan. Tetapi ketika ada lukisan dengan cat minyak, mereka kadang
perbandingan ukuran lukisannya. Ketika lukisannya kecil mereka akan menawar
dengan nilai yang rendah, sebaliknya lukisan dengan ukuran yang besar mereka
juga menawar dengan harga yang cukup(dalam persepsi mereka cukup). Ada lagi
sebuah gambar dengan pensil hitam atau konte akan ditawar dengan harga paling
rendah, dikarenakan menggunakan pensil yang dikira mereka gampang dalam
menggambarnya. Tetapi ada beberapa orang yang sudah memahami esensi seni,
mereka tahu tetapi hanya sebatas pemahamannya saja, disamping memang faktor
ekonomi tidak mendukung untuk mencoba mengoleksi karya seni.
Cuma sebatas itukah mengghargai sebuah karya seni,
sungguh pemahaman yang sangat dangkal. Idealnya jika sebuah karya seni masih
dilihat sebatas kulitnya tanpa meninjau lebih dalam lagi. Dari sebuah karya
seni tentunya memiliki esensi dan estetika, itulah yang membedakan benda seni
dengan benda industri atau sehari-hari. Itulah pemahaman yang masih melekat
pada sebagian besar masyarakat Bumiayu, memang harus disadari Bumiayu memang
bukan kota seni yang masyarakatnya melek seni. Tetapi dengan adanya kegiatan
seni yang intens, maka dari situ akan timbul pembelajaran bagi publik. Tidak
semua orang dapat menciptakan semua karya seni, tidak semua orang mampu memunculkan
bakatnya dalam seni. Karena seni memag butuh nilai lebih, berupa kepekaan
disamping di dukung dengan skill, dan pemikiran yang jauh dari biasanya. Kalau
kita tengok sejarah Renaisans, Mesir, Maya, Yunani, Indonesia, diamana seni
telah ikut andil dalam membangun sebuah peradaban. Dimana dapat kita temui
berupa peninggalan-penigalan bangunan bersejarah yang memiliki nilai seni
tinggi.
Seni telah menjadi bagian dari kehidupan manusia,
kehidupan manusia tanpa seni maka akan menjadi hambar dan biasa saja. Jadi
menghargai sebuah karya seni tidaklah sebatas luarnya saja atau tampilannya
saja. Di dalam sebuah karya seni terkandung makna, cerita, pesan, pembelajaran,
peringatan, yang kadang dapat dijadikan sebuah perenungan dan introspeksi bagi
manusianya. Seni telah mewarnai perejalanan kehidupan manusia dari waktu ke
waktu, dan telah menghasilkan pemahaman baru dalam membaca dunia atau bahkan
masa depan. Karena disadari atau tidak terkadang seniman atau pencipta seni
dapat dikatakan mendahului jamannya. Ketika masyarakat belum siap dengan
hadirnya karya dari sang seniman, maka yang terjadi adalah sikap tidak tahu dan
bahkan mecemooh. Banyak contoh yang telah dialami para seniman pendahulu kita,
seperti apa yang dialami Vincent Van Gogh. Lukisan Van Gogh tidak pernah
diterima masyarakat pada waktu, karena dianggap aneh dan tidak sesuai dengan
tren pada waktu. Sampai akhirnya Van Gogh wafat pada usia yang masih sangat
muda, lukisannnya tidak pernah ada yang membelinya. Van Gogh tidak pernah
menikmati hasil jerih payahnya dalam menekuni seni.
Tetapi apa yang terjadi, justru setelah kematiannya
barulah lukisan Van Gogh dicari dan di buru oleh para kolektor. Dan semua
lukisan yang jumlahnya ribuan dapat terjual habis dan bahkan gaya lukisan Van
Gogh akhirnya mengilhami aliran baru dalam seni lukis, yaitu aliran
Ekspresionisme. Van Gogh tidak dapat menikamti hasil jerih payahnya, tetapi
yang menikmati justru adiknya yaitu Theo, yang selalu memberi dukunag moril dan
materil ketika Van Gogh menciptakan seninya. Itulah sebuah gambaran bahwa
kadang seniman muncul atau hadir memang mendahului jamannya, ketika masyarakat
belum siap seniman telah muncul dengan pemikirannya yang tidak lazim pada waktu
itu. Dan pada dasarnya seni memang membuthkan pemahaman yang lebih dalam
mencernanya tidak hanya sebatas kulit luarnya saja. Ada sebuah ungkapan yang
diungkapkan oleh Robert Motherwell bahwa “Seni merupakan hal yang tidak terlalu
penting dibandingkan dengan hidup, tapi sungguh malang jika hidup ini tanpa
seni”. Mudah-mudahan ini menjadi bahan renungan kita bersama, bahwa hidup itu
tidak hanya urusan makan minum, tidur, belajar, bekerja, tetapi ada yang lebih
penting yaitu seni untuk kehidupan yang lebih baik dan bahagia. Semoga tulisan
kegundahan saya bermanfaat bagi semua.[]
Langganan:
Postingan (Atom)