PERSOALAN KONTRIBUSI DALAM DUNIA SENI DI BUMIAYU
Dalam dunia kesenian memang didukung oleh
beberapa elemen, yang menjadi satu kesatuan atau unity dalam rangka
menjadikan keutuhan dalam seni. Seniman atau artist tidak mungkin
sendiri dalam mekspresikan sebuah karya seninya, semua itu membutuhkan dukungan
dari semua elemen tersebut. Sebelum membahas permasalahan kontribusi dalam
dunia seni sebaiknya kita harus tahu terlebih dahulu, siapa saja yang turut
berperan dalam membangun iklim berkesenian. Seniman atau musisi tidak mungkin
sendiri menjalankan seninya. Intinya tulisan saya ini menjawab dari sebuah
perdebatan yang pernah terjadi dalam sebuah komunitas virtual, yang saya rasa
masih subjektif(banget) dalam membahas sebuah persoalan. Menurut hemat saya dari
pada berdebat yang orang-orang nya masih belum menyadari arti penting sebuah
diskusi. Dimana sebuah diskusi akan mengasah dan mempertajam pemikiran kita,
melahirkan ide-ide baru, mendapatkan ilmu dari dari temen diskusi yang tidak
tahu jadi tahu, yang sudah tahu bukan berarti sok tahu. Ketika semua orang
sudah menyadari peranan atau kapasitasnya dalam sebuah komunitas, maka yang
terjadi bukan lah adu mulut yang berujung pada penghinaan, cekcok, apalagi
sampai pencemaran nama baik, sungguh keadaan yang tidak mencerminkan kearifan
dalam pemikiran atau masyarakat yang sadar pendidikan.
Konstruksi Dalam Dunia Kesenian.
Menjawab dari persoalan kontribusi dalam
sebuah dunia seni atau komunitas seni, seperti apakah bentuk kontribusi
seseorang dalam kesenian. Sebelum membahas lebih jauh masalah kontribusi
sebaiknya kita harus mengetahui terlebih dahulu kontstruksi seni yang turut
serta dalam membangun dunia seni. Konstruksi dalam dunia seni secara garis
besar di bagi menjadi empat bagian yaitu
1.
Seniman
dan karya.
2.
Masyarakat
penyangga.
3.
Lembaga-lembaga
sosio kultural.
4.
Mediator
teknis (wacana).
Demikian ada empat pilar konstruksi dalam dunia seni, semuanya menjadi
satu kesatuan dalam dunia seni yang saling melengkapi dan mengisi dalam rangka
menjadikan iklim berkesenian yang kondusif dan seimbang. Jadi seniman atau
musisi tidak berdiri sendiri dalam melahirkan atau mengekspresikan seninnya,
semua itu membutuhkan dukungan dari semua komponen tersebut.
Komponen utama dalam dunia kesenian adalah artist
atau seniman, semua ini berlaku untuk semua bentuk seni tidak hanya
seni rupa. lahirnya sebuah karya seni tentunya dari tangan sang seniman, dari
hasil pemikiran, ide, imajinasinya akan menghasilkan sebuah karya seni yang
artistik dan indah. Seniman akan menghasilkan lukisan yang tentunya akan
dipamerkan atau dijual melalui galeri-galeri. Karya musisi akan didengar oleh
audiens, seniman teater akan menghasilkan pertunjukan yang kan dipentaskan dan
ditonton oleh para masyarakat. Karya seni itu tentunya akan disajikan atau dipamerkan
kepada publik. Seniman atau musisi tidak mungkin membuat karyanya untuk
kepentingan sendiri, karena seni itu pada dasarnya mempunyai fungsi untuk
kehidupan atau bersifat sosial. Jadi seni selain berfungsi untuk mencapai
kepuasaan individual, juga berfungsi secara sosial untuk memberikan stimultan
positif dalam kehidupan manusia.
Komponen yang kedua adalah masyrakat
penyangga, dalam masyarakat penyangga dibagi lagi lebih spesifik menjadi
empat bagian. Yang termasuk masyarakat penyangga adalah comunal suport,
religion suport, goverment suport dan comercial suport. Bagian
pertama yang termasuk masyarakat penyangga yang pertama adalah comunal
suport atau kelompok pendukung. Siapa saja yang termasuk dalam kelompok Comunal
Suport , yaitu orang atau individu yang terdekat dalam ruang
lingkup si seniman atau musisi. Dalam konteks ini dapat disebutkan antara lain,
teman dekat, asisten, rodhie, crew, audiens, dan kelompok spesialis yang dekat
dengan seniman atau musisi. Kelompok pendukung ini berperan penting dalam
membantu terciptanya sebuah karya seni, terkadang memang seniman atau musisi
tidak dapat bekerja sendiri dan membuthkan bantuan orang lain. kelompok
masyarakat penyangga selanjutnya adalah Religion Suport, dalam
masyarakat penyangga terdapat masyarakat agama. Hal ini secara historis dapat
ditelusuri sejak peradaban Renaisans, diamana pada waktu itu peranan gereja
sebagai pendukung penuh dalam sebuah penciptaan karya seni sang seniman.
Seniman sering diminta oleh pihak gereja untuk melukis cerita dari Al kitab di
langit dan dinding gereja. Pada saat sekarang dapat dilihat peran masyarakat
agama adalah pada event-event yang bernuansa religius. Dalam seni rupa peran
masyarakat agama bersinergi denga karya-karya yang religius yang terpajang pada
tempat-tempat iabadah.
Selanjutnya ada Goverment Suport
atau dapat disebut juga masyarakat modern, siapa saja yang tergolong masyarakat
modern. Masyarakat modern yaitu para intelektual, para pelajar, mahasiswa,
audiens seni, kolektor seni dan penulis. Mereka inilah yang tergolong
masyarakat modern, kenapa disebut masyarakat modern karena mereka tidak hanya
sebagai penikmat seni yang pasif mereka intens dan kritis dalam mengapresiasi
karya seni. Kekritisan dalam penilain akan menimbulkan sudut pandang yang
berbeda dan terkadang pemikiran mereka manjadi bahan pertimbangan dalam
penciptaan karya seni selanjutnya. Kelompok
terakhir yang tergolong dalam masyarakat peyangga adalah Comercial
Suport. Kelompok ini dapat disebut juga sebagai kelompok
masyarakat yang mempunyai peranan nilai kapital dan jaringan (sosial). Yang
tergolong dalam masyarakat kapital dan sosial antara lain, kolektor seni,
sponsoship, galery seni, studio rekaman,
event organizer, industri dan media. Mereka inlah yang ikut membantu
dalam memasarkan sebuah karya seni dari sang seniman atau musisi. Disamping
menghasilkan nilai kapital, kelompok comercial suport seperti media tentunya
akan membuat karya dari si seniman akan lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Jadi masyarakat penyangga merupakan bagian penting yang tidak dapat dibaikan
peranannya dalam perhelatan dunia seni secara umum.
Konstruksi seni yang ketiga adalah
lembaga-lembaga sosio kultural, adalah lembaga atau instansi yang
mendukung dan menjalankan program-program seninya secara konsisten. Lembaga-lembaga
sosio kultural dibagi menjadi tiga lagi yaitu lembaga kebudayaan pemerintah,
lembaga kebudayaan swasta dan lembaga kebudayaan/pendidikan kesenian. Lembaga
sosio kultural pemerintah seperti taman budaya, dinas kebudayaan, dewan
kesenian, museum, dan perpustakaan, lembaga swasta antara lain museum, sanggar
seni, art space, galery dan kelompok kesenian. Dan lembaga kebudayaan
pendidikan antara lain sekolah, sanggar seni, kelompok belajar, perpustakaan
dan lainya. Semua ini turut serta dalam membangun satu fondasi yang bernama
kesenian. Keberadaan lembaga sosio kultural merupakan elemen penting yang tidak
dapat diabaikan keberadaannya.
Konstruksi seni yang terakhir adalah mediator
teknis (wacana), yang termasuk dalam mediator teknis antara lain kurator, kritikus
dan pengamat seni. Mediator teknis merupakan elemen pendukung terakhir dalam
ranah seni, mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menampilkan seni
ke publik. Mereka mengkritisi, mengkurasi, mengamati karya seni, yang kemudian
diolah ke dalam wacana ditujukan kepada publik. Jadi sebuah karya seni tidak
hanya berhenti sampai di galery, panggung, music shop, karya seni akan
dikritik dan diamati oleh publik. Dalam konteks ini semua individu dapat
menjadi kritikus dan pengamat seni, walaupun memang sudah ada bagian khusus
yaitu para kritikus dan pengamat seni. Dalam konteks ini saya berpegang pada
teori “The Death of Author” , yaitu matinya sang pengarang atau
pencipta. Sang seniman atau pengarang sebagai unit yang memproduksi makna telah
berlalu, proses pemaknaan dapat diproduksi oleh para pemabaca atau audiens.
Ketika sebuah karya seni hadir ke hadapan publik, makna yang telah diusung oleh
sang seniman atau pencipta akan hilang
dan akan lahir makna baru dari sang pembaca (reader). Sang pembaca atau
apresiator lahir sebagai “kreator makna” baru. Dan bagaimanapun proses tafsir
atau penciptaan makna akan diserahkan kepada pembaca atau penikmat sebuah karya
seni. Sehingga karya seni yang lahir tidak cukup berhenti hanya sampai disitu
saja, semua orang dapat menyelami sebuah karya seni dan melahirkan makna- makna
baru. Sebuah karya seni yang sudah tercipta oleh sang seniman akan dikonstruksi
maknanya oleh audiens, sehingga yang lahir adalah makna-makna baru. Konsep ini
menyingkirkan arbirternes sebuah teks atau makna yang telah diciptakan oleh
unit produksi makna yaitu seniman atau musisi.
Kontribusi Individu di Dunia Seni Bumiayu.
Itulah beberapa konstruksi seni yang membangun
sebuah fondasi yang bernama rumah seni. Jadi kesemuanya itu ikut berperan dan
saling menjalin untuk sebuah satu pencapaian dan saling bersinergi satu dengan
yang lain. Dapat dikatakan seniman atau musisi yang dapat dikatakan sebagai center
sign tidak mungkin berdiri sendiri dalam ranah dunia kesenian. Lantas apa
relevansi itu semua dengan permasalahan kontribusi dalam dunia seni. Sebenarnya
yang menjadi pokok bahasan tulisan saya ini, adalah untuk meluruskan kekeliruan
yang pernah terjadi dan sering saya dengar di lingukungan komunitas seni di
Bumiayu. Kata kontrubusi sendiri mempunyai arti yaitu sumbangan, sumbangan
dalam konteks ini apakah harus berupa materi karya seni, wujud fisik, atau tak
berujud. Nah, disini dipertanyakan apa subtansi dari sebuah kontribusi dari
seorang atau individu. Di atas telah dijelaskan panjang lebar konstruksi dunia
seni, dimana pada intinya semua orang itu mempunyai kontribusi dalam dunia
kesenian atau komunitas walaupun dalam porsi yang berbeda.
Jadi semua individu dalam dunia seni semuanya
mempunyai kontribusi, semuanya tertampung dalam konstruksi seni yang akan
saling melengkapi. Jadi tidak ada suatu pernyataan yang yang tidak tepat atau
keliru dalam sebuah komunitas seni atau dunia berkesenian. Tidak ada pernyataan
yang kurang lebihnya seperti ini, jangan Cuma omongan saja!! Pinternya Cuma ngomong
saja!! Jangan Cuma pinternya mengkritik saja!. Permasalahanya bukan Cuma omong
atau kritik saja, jika kita tinjau lebih jauh bentuk omongan dari seorang
individu dapat berupa masukan, ide, pemikiran, konsep, atau paradigmas. Jangan
sampai yang merasa mempunyai posisi yang vital dalam komunitas seni atau dunia kesenian mengklaim individu
tersebut banyak omong, sok tau, atau bullshit. Sungguh pemahaman yang
pendek dan dangkal dalam menyikapi sebuah omongan atau ide. Kalau begitu yang
terjadi berarti mereka yang belum memahamai substansi sebuah kontribusi.
Apakah semua individu dalam dunia kesenian
harus menjadi pelaku utama, harus menjadi seniman, musisi, aktris dan aktor,
tentu tidak kan!!. Sebuah pemahaman yang keliru jika ada yang mengatakan, akh
kamu kontribusinya apa, Cuma omong doang. Permasalahannya ketika omongan itu
menghasilkan paradigma atau konsep baru kenapa tidak, dan tentunya omongan
tersebut ditindaklanjuti dengan perbuatan. Misalkan dalam komunitas musik,
semuanya menjadi musisi dan semuanya pentas di panggung, lalu siapa yang akan
menonton dan mengkritisi, siapa yang akan menilai, siapa yang akan
mengapresiasi. Di atas telah disebutkan
ada masyarakat penyangga yaitu audiens yang akan mengapresiasi dan
menonton pertunjukan mereka. Apakah semua itu bukan kontribusi, apakah
kehadiran seseorang dalam menyaksikan atau menonton pertunjukan musik itu bukan
suatu kontribusi. Lalu kontribusi macam apa yang diminta, apakah individu itu
harus main, harus pentas, harus main gitar, harus nyanyi, harus jadi pelukis
dll, tentu tidak kan!!. Kontribusi dalam komunitas musik atau seni lainnya,
mengapresiasi atau menyumbangkan pemikiran atau kritikan itu sudah merupakan
sebuah sumbangan dalam bentuk yang berbeda dan porsi yang berbeda pula.
Mengkritik dan mengamati merupakan bentuk kontribusi yang secara sadar akan
menjadi bahan pertimbangan sang seniman atau musisi.
Kenapa saya menulis sedetail itu, karena saya
pernah mendengar sendiri atau melihat tulisan seseorang dalam sebuah komunitas
seni di Bumiayu, yang dominan menilai bahwa kontribusi itu harus dengan porsi
yang lebih atau harus menjadi aktor utama. Dalam dunia seni semua mempunyai
posisi yang berbeda-beda, tidak harus menjadi pelaku utama. Peran masyarakat
penyangga dan wacana teknis dalam hal ini adalah kritikus dan pengamat
mempunyai peranan yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Jadi ketika suatu
karya seni sudah hadir ke hadapan publik, maka publik akan menilai dan mencari
makna yang tersembunyi dalam karya tersebut. Semua audiens berhak menkonstruksi
makna yang telah diciptakan oleh sang seniman, sebagaimana konsep the
death of author, semua bebas menacari makna dalam sebuah karya
seni, semuai bebas mengkritisi karya seni yang hadir.
Sebuah kritikan dan pengamatan dari individu
dalam komunitas merupakan sebuah kontribusi, begitu pula pemikiran atau diskusi
dalam sebuah komunitas. Kontribusi tidak harus tampil di panggung utama harus
tampil sebagai pelaku utama, tentunya tidak kan. Jadi sebuah pendapat yang
keliru jika ada yang mengatakan pintere cuma omong tok!!. Tetapi ketika omongan
tersebut ditindaklanjuti dengan tindakan, kenapa tidak. Kecenderungan sosial
iklim berkesenian di Bumiayu dalam pengamatan saya, dalam sebuah komunitas jika
ada individu baru dalam sebuah komunitas seni yang mempunyai paradigma yang
berbeda(tidak senada dengan pemikiran kebanyakan), maka akan langsung dklaim
tidak cocok dan bahkan sok tahu. Dan individu tersebut akan di anggap sebagai outsider,
yang tidak akan mempunyai suara dalam komunitas atau dunia seni tersebut.
Sungguh keadaan yang ironis dan tentunya tidak kita harapkan. Dalam bahasa
bumiayuan ada pendapat yang sering terdengar dalam dunia kesenian atau bidang
lain, lah ko bocah wingi bisa apa (lha kamu anak kemarin sore, bisa
berbuat apa).
Yang jadi permasalahan bukan masalah anak
kemarin sore, ketika individu kemarin sore tersebut mempunyai pemikiran atau
paradigma dirasa berbeda, kenapa tidak dikaji dulu bukan langsung menghakimi,
bahwa pemikiran itu salah. Tulisan saya ini mencoba memperbaiki iklim
berkesenian di Bumiayu yang dirasa tidak terlalu kondusif dan kurang nayaman,
atau dapat dikatakan tidak balan. Jangan sampai ada sebuah kekeliruan yang
terjadi akibat dari pemahaman yang dangkal dalam menyikapi pendapat dari
seorang. Jika pendapat tersebut juga merupakan sebuah kontribusi dalam
memajukan iklim berkesenian atau dunia seni, kenapa tidak diklarifikasi, dikaji
atau didiskusikan oleh komunitas seni tersebut. Jauhkan konsep outsider
dalam sebuah komunitas, ketika pemahaman outsider itu tetap dipegang maka yang
terjadi adalah stagnansi dalam sebuah komunitas seni. Semua orang berhak
mengungkapkan pendapat, saran, kritik terhadap karya seni atau dalam sebuah
komunitas. Bukankah dalam negara kita adalah negara demokrasi yang bebas
mengungkapkan pendapat atau pemikiran. Dan lebih jauh dalam semboyan negara
kita Bhineka Tunggal Ika, sudah jelas yaitu berbeda-beda tetapi
tetap satu. Perbeadaan itu bukan perpecahan bung, bahkan dari perbedaan itu
akan menghasilkan dinamika dan cinta. Dimana cinta itu secara substansial
menyatukan dua perbedaan.
Demikian tulisan saya intinya adalah
mengkritisi iklim berkesenian di Bumiayu yang dirasa tidak kondusif dan kurang
nyaman. Karena Bumiayu bukanlah Jogjakarta yang berhati nyaman,
saya tidak tahu moto Bumiayu, apakah bumi yang ayu atau Bumiayu berhati apa
saya tidak tahu. Sebelum sesudahnya saya mohon maaf jika tulisan saya kurang
berkenan dihati para petinggi-petinggi seni yang ada di Bumiayu, bukan maksud
saya memojokan atau menggurui anda-anda semua. Saya menulis disini sesuai
dengan kapasitas saya sebagai sesama pelaku seni, jika ada salah dalam
penulisan silahkan diklarifikasi dan kemudian didiskusikan. Jika dalam
penulisan ini ada yang merasa dikritik, silakan balik mengkritik tulisan saya
atau karya seni saya. Demikian tulisan atau kritikan terhadap dunia berkesenian
di Bumiayu, mudah-mudahan dengan hadirnya individu-individu yang kritis akan
menjadikan iklim bekesenian di kota Bumiayu lebih dinamis dan berwarna. Kritis
dalam paradigma dan ide merupakan bentuk kontribusi dalam porsi yang
tentunya berbeda.
Salam budaya dan tetap dalam semangArt
kebersamaan!.
Referensi :
·
Kuliah
seni selama di ISI yogyakarta.
·
Hipersemiotika,
Yasraf Amir Piliang.
·
Dunia
Yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang.
·
Membedah
Mitos-mitos Budaya Massa, Roland Barthes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar