Seni Tidak Akan Hidup di
Tengah-Tengah Orang Lapar
Seni atau barang seni merupakan
sesuatu yang memiliki nilai estetika tinggi. Untuk menilai sebuah karya seni
orang memerlukan keahlian tertentu. Karya seni tidak bisa dinilai dengan cara
yang sembarangan, sehingga tidak sembarang pula orang yang dapat memaknai dan
mengapresiasikannya secara mendalam. Secara substansial, jika dilihat dari segi
ekonomi, seni atau barang seni memang tidak bisa dikatakan murah dalam arti
lain ia membutuhkan nilai nominal yang tidak sedikit. Hal ini karena pada
dasarnya seni berada di titik teratas dalam tingkatan kebutuhan manusia yang
biasa kita sebut sebagai kebutuhan tersier. Dengan kata lain, untuk mendapatkan
benda seni kebutuhan pokok/premier kita harus telah terpenuhi terlebih dahulu.
Berikut akan penulis bahas tentang
benda seni yang dikategorikan dalam kelompok kebutuhan tersier. Di dalamnya juga
akan sedikit menyinggung dan menilai apakah kesenian dapat tumbuh dan hidup di
kota Bumiayu. Mengapa? Karena penulis cukup tergelitik dengan kenyataan yang
dijumpai di lapangan, bahwa masyarakat Bumiayu masih jauh dari sadar seni. Ada
banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah kondisi
sosial ekonomi yang masih berada di tingkat menengah bawah.
Penulis teringat dengan sebuah
ungkapan yang kemudian dijadikan judul untuk artikel penulis kali ini, yaitu
“Seni Tidak Akan Hidup di Tengah-tengah Orang Lapar”. Ungkapan tersebut menjadi
relevan jika dikaitkan dengan sebuah masyarakat yang kondisi ekonominya masih
berada di bawah standar atau belum tercukupi. Untuk menghidupkan seni di
tengah-tengah masyarakat yang serba kekurangan akan menjadi tidak mudah karena
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih susah apalagi harus
menyisihkannya untuk kepentingan seni. Disamping faktor biaya, terdapat faktor
lain yang mendukung ke-tidakberkembangan seni di masyarakat semacam ini, yaitu
kurangnya apresiasi seni. Mengapresiasikan seni adalah masalah selera atau
hati. Setiap orang memiliki kecenderungan terhadap karya seni yang
berbeda-beda, semua kembali pada selera masing-masing.
Benda seni tentu berbeda dengan benda
industri yang dapat diproduksi secara massal. Benda industri memiliki nilai
konsumtif yang tinggi, sementara benda seni memiliki nilai ekslusifitas yang
pada gilirannya mempengaruhi value dari karya seni itu sendiri.
Pembahasan berikut merupakan cuplikan
dari pengalaman penulis sendiri yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dalam
dunia kesenian kota Bumiayu, lebih khususnya adalah seni rupa. Tidak
dipungkiri, banyak sekali permasalahan yang dijumpai oleh penulis dan juga rekan-rekan
satu komunitas. Contohnya, kita mulai saja dari pameran-pameran seni rupa yang
telah dilaksanakan oleh Komunitas Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS) Bumiayu.
Ini merupakan komunitas seni di Bumiayu yang masih eksis dan aktif mengadakan
beberapa kegiatan berkesenian, salah satunya adalah pameran seni rupa. Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu
mengenai substansi seni yang sebenarnya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman
dalam membaca tulisan ini.
Sebuah Komparasi Dalam Nilai
Kenapa seni rupa menjadi eksklusif
dalam artikel kali ini? Hal ini karena untuk mengapresiasikan seni rupa, kita
perlu memahami seluk beluk tentang seni rupa itu sendiri. Ada beberapa alasan
yang menyebabkan apresiasi seni rupa ini menjadi tidak biasa. Misalnya, untuk
dapat menikmati sebuah karya seni rupa dalam bentuk lukisan, kita harus datang
ke sebuah pameran lukisan atau bazar seni. Ini akan membutuhkan tenaga,
waktu, pikiran dan juga biaya. Ini sangat berbeda jauh dengan kondisi seni
pertunjukkan yang sudah terindustrialisasi, di mana seni itu sudah masuk ke
dalam ranah produksi dan diproduksi secara massal dan komersil. Salah satu jenis
seni ini adalah seni musik. Kita dapat dengan mudah mengakses dan menikmati
hasil dari kesenian tersebut melalui berbagai sarana, seperti; video, Compact
Disc (CD), Video Compact
Disc (VCD), Digital Versatile Disc (DVD), Cassete Tape dll.
Namun, seni musik juga dapat menjadi eksklusif jika ditampilkan di concert
hall atau di tempat pertunjukkan lain yang dikemas atau dikonsep dengan
luar biasa.
Pada kenyataannya, sebagian besar
seni musik memang sudah terindustrialisasikan dan bersifat massal; semua orang
dapat menikmati segala jenis musik sesuai selera mereka tanpa harus datang ke
sebuah pertunjukkan dan merogoh kocek yang besar. Terlebih, kemajuan teknologi
sekarang sangat mendukung kemudahan kita dalam mengakses musik seperti halnya
melalui perangkat/aplikasi portable. Kita dapat mendengarkan musik tanpa harus
duduk di depan mesin pemutas musik, tetapi kita bisa menikmati musik di manapun
kita berada, di situasi seperti apapun. Dengan adanya teknologi dalam industry
musik, perubahan cara dalam menikmati musik menjadi semakin praktis, bahkan
sekarang kita mendapati musik dalam keadaan tidak berujud atau virtual.
Di abad digital ini, kita dapat memperoleh musik tanpa harus membeli dalam
bentuk barang di music shop. Ini memudahkan kita untuk mendapatkan musik
dengan cara mengunduh file musik dari perangkat yang tersedia. Bahkan, melalui
media HP, MP3 player dan lain-lain kita dapat dengan leluasa dan bebas
mendengarkan musik dalam situasi dan kondisi apapun.
Pembahasan di atas hanyalah sebuah
komparasi terhadap seni jenis lain yaitu seni rupa, di mana seni musik sudah
terindustrialisasi dan bersifat massal. Hal ini yang dapat menyebabkan
pergeseran nilai atau value seni musik itu sendiri. Ini terjadi apabila
seni musik telah merambah ke ranah budaya populer seperti yang tengah terjadi
sekarang ini. Namun begitu, tidak seluruhnya menjadi populer karena masih ada
jenis seni musik yang bertahan dengan konsep tradisi dan budaya adiluhung yang
kuat. Dengan bahasan di atas, setidaknya
kita menjadi jelas tentang bagaimana seharusnya kita memahami seni yang
bersifat eksklusif dan tergolong ke dalam kelompok kebutuhan tersier.
Sebenarnya, tidak menutup kemungkinan
apa yang terjadi pada seni musik dapat pula terjadi pada seni rupa. Ini dikarenakan adanya
pembagian seni berdasarkan nilainya, yaitu seni rendah (low art) dan
seni tinggi (high art), dan kategorisasi ini berlaku untuk segala jenis
seni.
Dalam penciptaan sebuah karya seni
tentunya didukung oleh berbagai unsur, diantaranya adalah keahlian,
ketrampilan, ide, imajinasi, teknik, media dan juga bahan. Jika semua unsur
tersebut ada dan mendukung dalam prosesnya, maka sebuah karya seni akan
tercipta dengan sempurna. Jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka nilai
estetika dalam seni tersebut akan berkurang atau bahkan menghilang. Yang akan
dibicarakan di sini adalah konteks seni tinggi (high art) yang merupakan
jenis seni rupa yang diciptakan oleh rekan-rekan penulis dari komunitas Ikatan
Pengembang Bakat Seni (IPBS) Bumiayu.
Perjuangan di Tengah Orang Lapar
Pengalaman penulis dalam menyajikan
sebuah karya seni dalam bentuk pameran-pameran yang di selenggarakan di kota
Bumiayu dan sekitarnya memang tidak selamanya berjalan mulus. Banyak kendala
dan rintangan di sana-sini, di antaranya adalah kesadaran masyarakat, birokrasi,
dan faktor ekonomi masyarakat. Kesadaran masyarakat Bumiayu terhadap seni masih
sangat kurang dan bahkan ada yang tidak tahu. Keadaan semacam ini berlaku
terhadap seni rupa, bukan pada seni bentuk lain seperti seni pertunjukkan di
antaranya adalah musik (band, dangdut, campursari, rebana, dll), teater, tari,
dll. Untuk seni pertunjukkan musik populer seperti dangdut dan band
cukup mendapat apresiasi yang bagus di lingkungan masyarakat Bumiayu. Ini
dikarenakan karena sifatnya yang praktis dan tidak perlu mengeluarkan biaya
yang banyak bagi seorang apresiator atau penonton.
Keberadaan seni rupa di lingkungan
masyarakat Bumiayu sebenarnya bukan merupakan barang baru. Ini dibuktikan dengan
adanya beberapa sanggar seni di periode tahun-tahun tertentu, misalnya di tahun
80-an ada sebuah sanggar seni yang dinamakan Sanggar Karya Lestari, dan di
akhir tahun 90-an muncul sanggar yang lain yaitu Sanggar Kulit. Dengan begini,
setidaknya masyarakat Bumiayu pernah mengetahui dan merasakan iklim seni rupa
yang cukup dinamis. Pameran atau
kegiatan-kegiatan seni mungkin pernah ada di periode-periode tersebut. Tetapi,
yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa komunitas-komunitas seni
semacam itu tidak dapat bertahan lama dalam eksistensinya. Kita tahu, dalam
dunia seni terdapat konstruksi seni yang saling melengkapi satu sama lain, di
mana keberadaan seniman harus didukung oleh lembaga seni, audiens, kritikus dan
juga media. Jika konstruksi seni tersebut tidak ada atau mungkin ada tetapi
tidak berjalan dengan efektif; maka yang terjadi adalah sebuah ketimpangan, di
mana seniman akan berkarya sendiri tanpa ada apresiasi, kritisi, dan peliputan
media.
Kejadian yang terjadi di lapangan
yang dialami oleh penulis dan rekan-rekan komunitas cukup banyak dan
bervariatif. Misalnya dalam sebuah pameran seni rupa yang pernah di adakan di
Bumiayu dan Brebes. Terdapat cerita-cerita menarik untuk diceritakan kembali di
sini. Dalam sebuah pameran seni rupa banyak sekali kritikan dan juga komentar
dari audiens yang merupakan masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Komentar dari
masyarakat bermacam-macam mulai dari pujian, penghormatan, ejekan, celaan
bahkan hinaan yang diungkapkan secara langsung oleh audiens kepada kami.
Kekaguman yang diutarakan oleh masyarakat Bumiayu cukup bervariasi, mulai dari
sekedar memuji sebuah lukisan misalnya
“Bagus Mas, nglukisnya pakai apa mas, ko bisa bagus kaya gini?” dan
“Bagus lukisannya, nggambarnya mesti lama ya, Mas “. Masyarakat Bumiayu pada
umumnya sudah mengetahui konsep dari sebuah lukisan dan ketika lukisan itu
bagus maka harganya akan mahal juga (dalam pandangan mereka).
Itu mungkin beberapa contoh pujian
dari masyarakat Bumiayu dan sekitarnya ketika mereka merasa kagum dan suka
terhadap karya seni yang dipamerkan, akan tetapi sayangnya, mereka hanya
sebatas mampu mengagumi saja. Dalam artian tidak ada tindak lanjut untuk dapat
memiliki atau mengoleksi sebuah karya seni atau lukisan yang dipamerkan
tersebut. Hal ini tentunya kembali kepada faktor ekonomi si audiens atau
penikmat seni tersebut, ketika faktor ekonomi mencukupi kemungkinan mereka akan
berusaha memiliki atau mengoleksi sebuah karya seni tersebut. Cerita akan
berbeda ketika audiens tersebut suka sekali atau selera terhadap satu lukisan
yang dipamerkan, tetapi kondisi ekonomi audiens tersebut tidak mencukupi; maka
yang terjadi adalah sebuah penawaran terhadap karya seni yang di sukai
tersebut. Sebenarnya harga yang ditetapkan penulis dan rekan-rekan dalam sebuah
pameran telah disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat Bumiayu. Tetapi
justru yang terjadi di lapangan kadang berbeda dengan apa yang sudah
direncanakan.
Dengan harga lukisan yang cukup
tinggi, maka akan terjadi penawaran dari sang audiens. Terkadang penawaran
lukisan tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi nilai nominal yang diinginkan,
bahkan menawar lukisan sampai ke level yang paling rendah hampir sama
dengan barang industri. Alasan dari masyarakat yang banyak ditemui di lapangan
antara lain, mereka masih mempertimbangkan ukuran dan juga media yang digunakan
dalam pembuatan karya seni itu. Misalkan untuk sebuah lukisan dengan media
pensil atau media kering lainnya, lukisan tersebut akan ditawar pada level
paling rendah. Alasannya, media yang digunakan hanyalah pensil, pastel, atau pensil
warna, di mana media tersebut sangat populer dan mudah didapatkan. Tetapi
mereka lupa untuk mempertimbangkan nilai estetika, proses pembuatan, ide, dan
konsep cerita karya seni tersebut.
Kejadian di atas dipengaruhi oleh faktor
ekonomi masyarakat, sehingga mereka akan berusaha menawar karya seni pada level
yang paling rendah tanpa mempertimbangkan nilai artistik dan estetikanya. Hal
ini dikarenakan ekonomi masyarakat Bumiayu tidak mencukupi untuk membeli benda
seni, sehingga ketika akan membeli mereka tetap mempertimbangkan kebutuhan
pokok lebih dulu. Sebenarnya terdapat golongan kelas atas atau elite di dalam
masyarakat Bumiayu, tetapi cerita akan berbeda ketika mereka tidak begitu
memperhatikan atau mencintai dunia seni. Mereka mempunyai orietasi yang berbeda
dalam membelanjakan uang mereka. Walaupun dapat dikatakan berpotensi tetapi
saluran pengeluaran mereka bukan ke seni, sehingga market seni di kota
Bumiayu masih belum bisa terbentuk. Kalaupun ada masyarakat dengan kondisi
ekonomi yang pas-pasan namun mencintai seni, maka faktor ekonomi-lah yang
menghalangi mereka untuk berapresiasi seni. Yang terjadi kemudian adalah mereka
mengoleksi benda seni yang menurut pengamatan penulis, merupakan benda seni
yang low art dengan harga yang rendah dan murah meriah juga. Mungkin
sebuah lukisan dengan harga yang murah dan nyaman dilihat, cukup untuk
menghiasi ruang tamu agar terlihat lebih nyeni, padahal belum tentu
lukisan tersebut dikerjakan dengan teknik yang tinggi, media yang berkualitas,
konsep dan ide yang menarik. Mereka hanya tau bahwa lukisan tersebut bagus dan
nyaman dilihat. Itulah beberapa cerita yang ditemui di lapangan, suka duka
dalam menyajikan sebuah karya seni di tengah-tengah masyarakat yang belum
mengerti akan sebuah nilai estetika.
Membutuhkan perjuangan ekstra bagi
penulis dan teman-teman komunitas dalam menumbuhkan minat dan wawasan seni
terhadap seni, khususnya di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Dengan mengadakan
kegiatan seni seperti pameran, lomba lukis, pelatihan, workshop, diskusi
dll, diharapkan muncul sebuah pembelajaran bagi masyarakat Bumiayu. Perlu
ditekankan di sini bahwa karya seni murni atau benda seni adalah bukan barang
industri yang dapat diproduksi massal. Memang ada seni yang sudah
terindustrialisasi, tetapi nilai dari benda seni tersebut juga sesuai dengan
proses produksinya yang singkat. Berbeda dengan sebuah karya seni yang
diciptakan secara khusus, yaitu dengan jiwa dari si senimannya. Sebagaimana
yang dikatakan S. Sudjojono Bapak seni rupa modern Indonesia bahwa “Kalau
seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian
tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa ketok
(terlihat,kelihatan). Jadi kesenian adalah jiwa”. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar