Pesan Moral Dalam Musik
“lagu-lagu sekarang diciptakan untuk kepentingan
komersial
belaka dan kebanyakan mengabaikan pesan moralnya.
Lagu-lagu sekarang jarang mengandung pesan moral atau
spiritual.
Musiknya juga lebih diarahkan untuk kepentingan irama
tari-menari
yang bersifat
entertainment sesaat, karena itu tidak bertahan lama.”
(Yahya A. Muhaimin)
Kutipan di atas
bukan dari seorang pengamat musik, tetapi dari tokoh pendidikan Nasional
kelahiran Bumiayu, Bpk. Yahya A. Muhaimin. Yahya. A Muhaimin prihatin dengan
kondisi musik Pop Indonesia, yang menurut Beliau hanya untuk kepentingan
komersil dan mengabaikan pesan moral. Kutipan di atas penulis ambil dari buku
biografinya, dimana beliau senang dengan seni diantaranya adalah musik. Hal ini
relevan dengan pokok bahasan yang akan di bahas di sini, yaitu tentang kondisi
musik pop di Indonesia sekarang. Kondisi musik populer di Indonesia memang
dirasa hanya mementingkan profit, sehingga yang terjadi adalah laju kapitalisme
global akan terus berjalan.
Menciptakan
sebuah karya seni bukan semata untuk kepentingan nominal, harus ada nilai-nilai
yang ditanamkan dalam sebuah karya seni. Seorang seniman setidaknya adalah sang
pencipta karya seni, juga produsen makna dalam sebuah karya seni. Ada makna
yang akan disampaikan dalam sebuah karya seni, karya seni tidak hanya menonjolkan
atau mengutamakan estetika dan artistik, tetapi lebih dari itu. Ketika kreator
menciptakan karya seni, tentunya ada konsep atau makna yang akan disampaikan ke
pada audiens. Dalam konteks ini adalah
musisi yang menjadi pencipta tanda(creator of sign), terdapat muatan
dalam sebuah lagu atau syairnya.
Musisi
menciptakan kompisisi musik tidak hanya untuk nyaman di dengar, tetapi ada
pesan yang akan disampaikan. Dalam
konteks ini mengacu ke teori semiotikanya Rolland Barthes, dimana setiap makna
mempunyai dua arti yaitu makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi yaitu
makna yang tersurat (low context) dan makna konotasi adalah makna
tersirat (high context). Pesan dalam sebuah karya seni tersebut sebagai
senjata dari sang seniman. Dalam hal ini adalah musisi sebagai agen perubahan
dengan komposisi musik yang diramunya. Musik tidak hanya sebuah lagu yang enak
di dengar, terdapat sebuah makna tersirat (high context). Pesan yang
disampaikan dapat berupa kritik sosial, moral, budaya, cinta, humanisme atau
yang lainnya.
Musik Pop
Indonesia sekarang dirasa telah mengabaikan pesan-pesan tersebut, musik pop
telah larut dalam laju komersialisasi dan pencapaian nilai profit. Seorang
seniman seharusnya adalah sebagai agen perubahan, melalui karya seninya. Musisi
dengan musiknya membawa misi-misi, yang diharapkan dapat memberikan perubahan
pada penikmatnya juga lingkup lebih luas. Pesan moral atau spiritual dapat
dikonsep dalam sebuah musik pop. Dengan adanya pesan tersebut dalam sebuah
musik, diharapkan makna akan lebih dapat diterima pendengar. Kondisi musik Pop
Indonesia sekarang dirasa hanya mengumbar cerita cinta dua individu. Kebanyakan
tema cinta yang ditampilkan melulu dengan nuansa cengeng, galau, patah hati,
kegagalan, gundah gulana dll.
Itulah tema cinta
yang mendominasi lagu-lagu Pop Indonesia, jarang sekali terkandung pesan moral
atau spiritual dalam lagu-lagu. Dimana cinta itu tidak hanya melulu hubungan
antara dua individu. Cinta itu bersifat universal, cinta antar sesama manusia,
cinta dengan Tuhan, cinta dengan alam, cinta dengan sesama mahluk dll. Kecenderungan tema cinta yang dangkal
tersebut, mengakibatkan pendengar larut dalam kondisi memabukan akibat cinta. Disisi lain musik pop Indonesia atau style
musik cenderung plagiat tidak mencirikan ke-Indonesia-an. Dapat disaksikan
melalui layar kaca hampir setiap waktu, boys band dan girls band
tampil dengan style ala Korea atau Amerika. Sungguh kondisi yang
memprihatinkan, mereka (musisi indonesia) bangga dengan tampilan plagiat musisi mancanegara.
Sungguh keadaan
Ironis yang dimana kita tahu, Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya.
Tetapi para musisi dengan bangga memoles karya seni hingga style mereka serupa
dengan budaya negara lain. Krisis budaya menjangkiti kondisi musik pop
Indonesia, sehingga pesan moral juga hilang dalam sebuah musik. Jarang sekali
musisi sekarang yang membawa pesan moral dalam musiknya. Tidak seperti dulu,
kita tengok ke belakang musisi seperti Iwan Fals, Rhoma Irama, Gombloh, Ebiet
G. Ade, Franky Sahilatua, Leo Kristi, Uly Sigar dll. Mereka adalah contoh musisi yang mengusung
pesan moral, sosial, spiritual dalam lagu-lagunya, musik mereka sebagai senjata
untuk mendobrak ketidakadilan.
Disadari atau
tidak nama-nama di atas justru lebih abadi begitu juga lagu-lagunya. Karya
mereka akan selalu dikenang sepanjang masa, karena nilai-nilai yang dikandung
dalam lagunya tidak hanya untuk kepentingan komersil tetapi lebih dari itu ada
misi kemanusiaan. Kondisi musik pop Indonesia sekarang jarang sekali di temui
musisi atau group band, yang tampil atau mengusung ke-Indonesiaan nya. Yang
terjadi dalam kondisi musik pop sekarang, hanya kenikmatan dan kesementaraan dalam
proses apresiasi terhadap musik tersebut. Tidak ada makna yang dalam sebuah
musik pop, tetapi memang seperti itulah kondisi musik pop yang serba dangkal.
Dan di sisi lain hanya untuk mengejar kepentingan komersial dan pencapaian
sebuah ekstase dalam menikmati sebuah karya seni.
Nilai-nilai moral
dan humanisme telah diabaikan dalam sebuah karya seni pop. Maka yang terjadi
adalah tidak bertahan lamanya musik pop tersebut dalam proses apresiasi.
Penikmat akan cepat mengalami kejenuhan dan bosan dalam menikmati musik pop,
dan musik pop hanya akan bertahan dalam beberpa waktu saja. Hal ini dipengaruhi
oleh banyak faktor diantaranya adalah, karena musisi kebanyakan instan dalam
mencipta lagu dan tidak ada kedalaman dalam sebuah lagu tersebut. Ketika proses
mencipta seperti itu terjadi maka dalam menikmati musik tersebut juga akan instan dan mengalami kedangkalan dalam
mengapresiasinya.
Karena dalam
musik tersebut hanya mengumbar cerita-cerita percintaan yang cengeng dan
kegalauan anak muda dalam percintaan. Kondisi semacam itulah yang
mendominasi dalam mencipta sebuah karya seni dan tak terkecuali dalam musik
pop. Sehingga mengakibatkan gejala psikologis yang lesu dan serba lemah
terhadap audiens yang menikmatinya. Ketika audiens mendengarkan musik pop,
secara tidak lagsung pesan cinta yang cengeng tersebut membawa imbas dalam
keseharian audiens, dalam hal ini adalah masyarakat. Kondisi semacam itu
membuat kelesuan, kelemahan, cengeng, serba kekurangan dalam menjalani hidup.
Zeitgeist semacam itulah yang tengah
menjangkiti bangsa Indonesia, akibat dari musik pop yang minim pesan moral
melemahkan spririt generasi muda. Generasi muda yang seharusnya sebagai agen
yang mengobarkan semangat perubahan dan ketidakadilan di negeri ini. Ternyata
larut dalam buaian musik pop dengan balutan cinta yang cengeng dan mematikan
semangat. Seharusnya musisi dengan musik yang di usungnya, diharapkan dapat
mengobarkan semangat kaum muda dengan nilai-nilai moral dan humanismenya. Maka
dari itu nilai dalam sebuah karya seni memang diperlukan, musik atau karya seni
lainnya tidak hanya mengejar kepentingan kapital belaka. Nilai moralitas harus
diselipkan dalam sebuah karya seni, dengan adanya nilai tersebut diharapkan
zeitgeist yang penuh semangat dapat ditemukan kembali. Sebagaimana yang
dikatakan filsuf besar Jerman, bahwa moralitas adalah kelanjutan agama, namun
melalui cara lain, pengetahuan adalah kelanjutan moralitas dan agama, namun
juga melalui cara lain. []
Salam
Budaya!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar