Coretan di Tempat Umum di Bumiayu, Sebuah
Karya Seni atau Vandalisme
Kota Bumiayu merupakan kota kecil di
wilayah selatan Kabupaten Brebes, sebuah kota kecamatan yang penduduknya
kebanyakan bekerja sebagai petani dan pedagang. Sebagai kota Kecamatan, Bumiayu
memang jauh untuk dapat dijuluki sebagai kota seni atau kota Budaya. Bumiayu
merupakan kota kecil yang dapat dikatakan menyimpan berbagai potensi seni yang
cukup beragam. Dari mulai seni musik, seni tari, teater, tradisioal dan seni
rupa, semuanya ada di Bumiayu. Tetapi dengan beragam kesenian yang ada di
Bumiayu, tidak lantas membuat iklim berkesenian menjadi semarak. Banyak faktor
yang membuat komunitas seni di Bumiayu menjadi pasif atau vakum dalam
menjalankan roda keseniannya. Salah satunya adalah sarana untuk menyajikan
kesenian, gedung serba guna atau kesenian di Bumiayu belum ada. Walaupun ada
yang beranggapan gedung eks. Kawedanan, dapat digunakan untuk berbagai acara
kesenian. Menurut pendapat penulis, gedung eks. Kawedanan lebih pas untuk seni
pertunjukan dan kegiatan resepsi pernikahan.
Untuk kegiatan seperti pameran seni
rupa, gedung tersebut tidak spesifik untuk dapat menampilkan karya seni rupa.
Karena idealnya pameran seni rupa, adalah menyajikan karya seni berupa lukisan,
patung, desain dan lainnya. Sedangkan dalam gedung eks. Kawedanan, tidak
terdapat space atau tempat yang sesuai untuk menampilkan karya seni
rupa. Karena gedung tersebut didesain untuk sebuah pementasan seni pertunjukan
dan acara yang lebih bersifat seremonial. Faktor yang lain adalah peran Pemda
atau Dewan Kesenian Daerah dirasa kurang
memerhatikan potensi seni yang ada, khususnya di wilayah Brebes Selatan. Di
mana dalam dunia kesenian terdapat konstruksi seni, yang saling menopang demi
berjalannya roda kesenian. Sehingga dengan adanya konstruksi seni tersebut,
tidak terjadi bentuk-bentuk penyimpangan dalam seni. Bentuk penyimpangan dalam
seni, dapat berupa perusakan benda seni, seni yang tidak pada tempatnya, dan
bentuk penyimpangan seni yang lain seperti vandalisme.
Banjir Visual di Bumiayu.
Apabila anda teliti atau cermat
mengamati ruang publik di kawasan Bumiayu, dapat ditemui coretan-coretan di
tembok di tempat umum. Coretan-coretan di tempat umum tersebut memang baru muncul belakangan ini saja. Coretan-coretan
tersebut dalam bentuk tulisan grafiti atau mural yang kartunal dan terkesan
urban. Entah siapa atau kelompok siapa yang tengah menunjukan eksistensinya
melalui coretan-coretan di jalanan. Memang bentuk karya seni tersebut idealnya
di kenal dengan istilah street art atau seni jalanan. Atau istilah
luasnya dikenal sebagai seni publik, dikatakan sebagai seni publik karena
menempati ruang publik atau tempat umum. Kemunculan seni jalanan di Bumiayu
belakangan ini, tentunya ada yang memengaruhi kemunculan seni tersebut. Apakah
seni jalanan tersebut hanya ikut-ikutan, tindakan iseng, perusakan, idealisme
ataukah hanya euforia sebuah komunitas.
Kondisi kota Bumiayu dengan jalan
protokol yang rusak, parkir yang tidak teratur, pedagang yang jualan di
trotoar, membuat kota Bumiayu semrawut dan kotor. Serta dengan reklame-reklame
yang terpampang di sepanjang jalan protokol. Ditambah lagi dengan spanduk atau
baner politik yang dipasang di sembarang tempat, menambah kondisi kota yang
katanya “ayu” menjadi semakin semrawut dan penuh sesak. Banjir citra visual
memenuhi sudut kota Bumiayu, membuat mata kita dipenuhi unsur-unsur visual
ketika menyambangi jalan utama kota Bumiayu. Bumiayu telah dibanjiri oleh unsur-unsur
visual dalam berbagai bentuknya yang termutakhir. Bentuk visual tersebut mulai
dalam bentuk reklame seperti spanduk, baner, neon box, bendera, baliho,
pamflet, umbul-umbul, hingga poster-poster. Dalam era milenium seperti sekarang
ini, unsur visual begitu penting untuk memengaruhi psikologis kita. Unsur
visual menjadi semacam mesin untuk memunculkan hasrat untuk memilih atau
memiliki. Misal, iklan akan lebih efektif ketika dimunculkan dalam bentuknya
yang visual. Begitu juga politik, unsur visual berperan penting dalam hasil
suara dalam sebuah pemilihan politik.
Kondisi Bumiayu sekarang ini memang
sedang ramai dengan unsur-unsur visual yang berbau politis. Sejak mulai adanya
pemilihan Bupati, pemilihan Gubernur, pemilihan Calon Legislatif hingga nanti
puncaknya pada pemilihan Presiden 2014, Bumiayu akan selalu dibanjiri
citra-citra visual. Tebaran visual menyesaki sudut kota Bumiayu, dari mulai
sepanjang jalan protokol hingga ke sudut-sudut kampung. Banjir visual tersebut
tidak dapat dibendung, karena ada beragam kepentingan yang melatarbelakanginya.
Dari mulai kepentingan politis, ekonomi, promosi, hingga kepentingan estetis.
Semua itu muncul di kawasan Bumiayu, karena memang menguntungkan bagi beberapa
pihak yang menyajikan bentuk visual tersebut. Kehidupan manusia modern telah
dipenuhi bentuk-bentuk pencitraan, yang selalu mengganggu indera penglihatan
dan hasrat kita. Manusia modern mendiami sebuah dunia, yang kini telah
diredusir sebagai apa yang disebut David Michael Levin dalam The Opening of
Vision, sebagai ontologi potret
(ontology of picture) atau ontologi citra (ontology of image).
Itulah kondisi manusia modern yang
dibombardir pencitraan setiap detiknya, kita tidak luput dari pencitraan yang
ditampilkan dalam berbagai wujud. Artinya, ada di dunia kini telah
dijajah oleh ada dalam wujud citraan, ada dalam bentuk
representasi. Segala sesuatu kini tampil dalam bentuk representasinya, dan di
dalam dunia didominasi oleh ontologi citra, hanya representasi itu yang
dianggap nyata (real). Dengan banyaknya representasi visual tersebut,
apakah semua itu bermakna pada kehidupan kita atau hanya ilusi atau bahkan
utopia. Tidak menjadi soal bentuk visual itu hadir di sepanjang jalan protokol
Bumiayu, tetapi yang menjadi persoalan apakah dalam citra tersebut ditemukan
kebermaknaan. Jangan sampai citra visual tersebut hanya membuat kotor atau
menyampah, dan menambah kesemrawutan sebuah ruang publik. Diperlukan adanya
peraturan dari pihak yang berwajib, yang mengatur tentang penempatan bentuk-bentuk
seni reklame di ruang publik. Dan diharapkan dipertimbangan unsur estetis dalam
penataan sebuah ruang publik, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan belaka.
Keteraturan dan keindahan kota Bumiayu
tentunya sangat kita dambakan, jangan sampai hanya karena kepentingan kelompok
mengorbankan kepentingan umum. Kondisi kota Bumiayu yang sudah penuh sesak
dengan citra visual, jangan sampai ditambah dengan coretan-coretan yang tidak
estetis. Belakangan ini di sudut kota Bumiayu sudah muncul street art, sebuah
bentuk karya seni yang medianya berupa fasiltas publik atau umum. Bentuk seni
jalanan tersebut seperti grafiti, mural, dan coretan lainya sudah mulai
bermunculan. Grafiti di Bumiayu dapat ditemui di Jatisawit, terminal pasar kaki
lima, dan di jembatan Sakalimalas. Tetapi apakah citra visual tersebut
mempunyai unsur seni yang tinggi atau hanya low art, atau bahkan sebuah
coretan yang membuat kotor. Semua itu dikembalikan kepada publik untuk dapat
mengapresiasi bentuk visual tersebut. Memang kemunculan seni publik atau seni
jalanan tersebut, sering dianggap menggangu keindahan atau mengotori tempat
publik. Yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah coretan atau gambar
tersebut adalah bentuk seni atau hanya bentuk vandalisme?!.
Sebuah Karya Seni atau Vandalisme.
Jika kita membicarakan seni publik,
kita tentunya akan menemui bentuk seni seperti street art. Street art
di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang dan Surabaya,
bukan merupakan barang baru di lingkungan kota tersebut. Karena masyarakatnya
sendiri sudah mempuyai tingkat apresiasi yang tinggi, disamping itu pula bentuk
seni tersebut mempunyai nilai estetis dan pesan sosial. Walaupun dapat ditemui
bentuk seni jalanan yang tidak estetis dibuat asal-asalan, sehingga semakin mengganggu
ruang publik bukannya memperindah. Seni jalanan memang tidak diharamkan, tetapi
apakah seni tersebut memenuhi aturan yang ada dan tentunya mempunyai nilai
estetis yang tinggi. Sebuah seni jalanan tidak hanya berupa coretan yang tanpa
konsep atau tidak mempunyai makna. Seni publik tesebut akan lebih bermakna dan
berbobot, jika mempunyai nilai estetis dan mempunyai pesan moral atau sosial.
Jangan sampai bentuk seni publik tersebut di cap sebagai tindakan perusakan,
atau bahkan tindakan yang melanggar hukum.
Kemunculan street art di
Bumiayu sudah mulai ramai belakangan ini. Kemunculan seni jalanan tersebut
apakah akan mendatangkan kebermaknaan atau hanya akan mengotori ruang publik.
Sebuah karya seni jalanan dapat dikatakan mempunyai nilai estetis jika memenuhi
unsur rupa dan mempunyai harmonisasi. Dalam konteks street art tentunya
ada tambahan yaitu sesuai peraturan yang berlaku di masyarakat. Jangan sampai
karya seni tersebut di cap sebagai tindakan perusakan atau membuat kotor
fasilitas ruang publik. Memang kondisi street art sebagai seni publik
rentan disalahgunakan, oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai kapasitas dalam
hal estetika. Maka dari itu seni jalanan terkadang di cap tidak baik atau buruk
oleh masyarkat. Oleh sebab itu pembuatan seni jalanan seperti mural, grafiti,
memang harus mempertimbangkan unsur estetis. Jangan sampai bentuk seni tersebut
di nilai sebagai bentuk vandalisme.
Bentuk penyelewengan seni seperti vandalisme,
merupakan bentuk penyelewengan yang paling melekat dengan setreet art. Vandalisme
sendiri mempunyai arti perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan
barang berharga lainnya (keindahan alam dsb), atau perusakan dan penghancuran
secara kasar dan ganas. Di mana kata vandal mengacu kepada suku pada masa Jerman kuno, yang menempati wilayah
sebelah selatan Baltik antara Vistula dan Oder. Suku vandal memang
dikenal bar-bar dalam bertindak dan mengancurkan musuh-musuhnya. Selain suku vandal
terdapat suku lain yang terkenal bar-bar, seperti Viking, Goth dan
Astragoth. Jadi vandalisme memang pada intinya mengacu pada tindakan
bar-bar atau perusakan. Dalam konteks seni tindakan bar-bar tersebut dapat
berupa perusakan karya seni, benda pustaka, fasilitas umum, dan sebagainya.
Lalu apa relevansi vandalisme
dengan adanya coretan-coretan public space di Bumiayu. Apakah tindakan
coret-coret tersebut dapat dikatakan jenis vandalisme?. Ataukah jenis
coretan tersebut termasuk jenis karya seni (street art)?. Di atas telah
disinggung bahwa, idealnya karya seni memiliki unsur rupa seperti warna, garis,
komposisi, bidang, dan tekstur. Jika kesemua unsur rupa tersebut ada maka,
bentuk tersebut akan memiliki unsur estetis. Dan semua unsur tersebut akan
saling melengkapi dan akan menjadi irama dan harmonisasi. Lalu apa yang terjadi
di kota Bumiayu, apakah bentuk tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai karya
seni (street art). Jika membicarakan tentang street art, sudah
jelas bentuk coretan tersebut sudah termasuk seni jalanan. Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah, apakah coretan tersebut sudah memenuhi unsur estetis dan
mematuhi peraturan yang ada dimasyarakat?.
Sejatinya street art
memang berada di jalan, menggunakan media tembok di tepi jalan. Dalam konteks
ini di Bumiayu sudah ada jenis seni tersebut, yang menggunakan media
tembok-tembok di tepi jalan. Seni jalanan di Bumiayu dapat ditemui di
Jatisawit, di terminal pasar kaki lima dan jembatan Sakalimalas. Bentuk street
art tersebut masih berupa grafiti, dan di Sakalimalas terdapat grafiti dan
mural. Jika diamati secara seksama dan dikaji dari sudut pandang estetis,
bentuk visual tersebut masih jauh untuk dapat dikatakan memilki unsur estetis.
Gambar-gamar yang dibuat dan sengaja ditampilkan di ruang publik tersebut,
tidak tergarap secara maksimal dan terkesan menagabaikan unsur estetis. Gambar-gambar
tersebut minim akan warna, garis masih belum rapi, dan komposisi belum
seimbang.
Kita akan mencoba membahas dan
mengkaji grafiti yang ada di pasar kaki lima dan di Jatisawit. Di kedua tempat
tersebut ditemui karya street art berupa grafiti, memang grafiti
memiliki ciri tulisan yang njelimet dan susah untuk dibaca. Dalam karya
tersebut memang tidak dapat terbaca oleh masyarakat awam. Tetapi dari sudut
pandang seni rupa, karya grafiti tersebut minim akan unsur warna dan bentuknya
masih terlalu sederhana. Komposisi warna kurang menarik dan tidak terdapat
efek-efek seperti gradasi atau gelap terang. Jadi bentuk grafiti tersebut masih
terkesesan datar. Tetapi kalau dari si pembuatnya memang menekankan bentuk
minimalis, karya tersebut sudah dapat dikatakan minimalis. Karena minim
komposisi warna, minim variasi bentuk dan efek-efek tertentu. Sekarang yang
jadi pertanyaan, apakah grafiti tersebut memiliki ijin dari pihak terkait?. Proses
pembuatan street art memang ada
yang seuai dengan prosedur, yaitu persetujuan dari pihak terkait. Ada juga yang
digarap secara sembunyi-sembunyi pada malam hari.
Dari kedua karya grafiti yang ada
di terminal pasar kaki lima dan Jatisawit, penulis tidak tahu persis apakah
pembuatannya sesuai prosedural atau sembunyi-sembunyi. Walaupun digarap sesuai
prosedur atau sembunyi-sembunyi, hendaknya karya seni jalanan memiliki unsur
estetis yang tinggi dan tidak dikerjakan secara asal-asalan. Untuk
mengkategorikan apakah gambar tersebut, merupakan bentuk vandalisme atau
karya seni dikembalikan lagi kepada masyarakat yang menilai. Kalau dari
pendapat penulis sendiri untuk gambar tersebut, sudah termasuk jenis street art
hanya saja masih kurang maksimal dalam penggarapannya. Selanjutnya untuk gambar
yang terdapat di jembatan Sakalimalas, merupakan bentuk grafiti dan mural.
Gambar yang ada di jembatan
Sakalimas menurut pendapat penulis, juga masih kurang tergarap secara maksimal.
Penggunaan warna yang minimalis, dan bentuk masih sederhana ditambah dengan
konsep yang masih belum jelas. Coretan tersebut masih minim akan estetika, dan
tidak terdapat harmonisai dalam karya tersebut. Di jembatan yang termasuk aset
sejarah atau peninggalan Belanda, terdapat mural yang terskesan urban. Gambar
mural tersebut mempunyai pola kartunal, dan terdapat tulisan yang melengkapi
gambar tersebut. Dilihat dari bentuk gambarnya, memang gambar tersebut hanya
gambar dan tidak ada pesan yang akan disampaikan. Di mana idealnya mural atau
gambar tembok, terdapat pesan moral atau sosial yang ditampilkan. Dapat berupa
kritik sosial, pesan, teguran, atau nasihat kepada msyarakat. Hendaknya gambar
mural yang baik, memenuhi beberapa kriteria yang terdapat di atas.
Mengenai penggarapan yang sesuai
prosedural atau bentuk vandalisme, gambar di Sakalimalas penulis yakin
merupakan bentuk penyimpangan seni atau perusakan aset sejarah. Hal itu dapat
dilihat dari proses penggarapan yang tidak maksimal, pembuatan gambar tersebut
tidak sesuai prosedural, dan tidak mempunyai izin dari pihak yang terkait.
Jembatan Sakalimalas merupakan bangunan peninggalan Belanda, hendaknya dijaga
dan dilestarikan. Gambar yang ada di
Sakalimalas jelas-jelas merupakan bentuk penyimpangan dan vandalisme
aset sejarah yang dimilki oleh kota Bumiayu. Kalau saja gambar tersebut sesuai
prosedur dan tergarap secarah baik, dan juga terdapat pesan yang akan
disampaikan mungkin tidak menjadi soal. Tetapi walaupun sudah mengantongi ijin
dari pihak terkait, hendaknya pembuatan mural tersebut ditempat yang lain yang
lebih pantas.
Kita sebagai masyarakat Bumiayu
hendaknya kritis dan ikut menjaga ketertiban demi terciptanya suasana yang
indah dan nyaman. Tulisan ini merupakan bentuk kritis terhadap sejarah dan seni
yang ada di Bumiayu. Hendaknya aset sejarah tetap terjaga keasliannya, dan
bentuk seni apapun hendaknya tidak meresahkan masyarakat. Bentuk seni publik
memang berada di tengah-tengah masyarakat, hendaknya seni publik memenuhi
prosedur dan kaya akan nilai esetetis. Street art akan menjadi seni yang
indah jika memenuhi unsur artistik dan estetika, tidak hanya berupa coretan
yang digarap asal-asalan. Ruang publik di mana pun akhirnya menjadi sarana
peperangan wacana yang dibuat oleh pihak-pihak pemakainya. Mereka tidak perlu
memerlukan pendidikan tinggi seni rupa, tak perlu mempelajari wacana dan
filsafat yang tinggi, berjalan sekenanya dan selalu berpikir tentang kebebasan
berekspresi. Mereka tidak perlu galeri atau ruang pamer yang eksklusif, mereka
telah menjelma sebagai tontonan masyarakat, berbaur laksana performance art.
Publik disuguhi tontonan dan sekaligus menjadi pelaku di dalammnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar