Retorika
Sang Pelukis Suara
Di suatu tempat
di sebelah barat Gunung Glasmet, terdapat sebuah daerah dataran rendah yang
hijau dan senantiasa subur. Dataran tersebut merupakan sebuah bagian dari
sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Barabas, bagian sebelah barat gunung
tersebut memiliki keelokan alam yang indah dan hijau. Atas dasar tersebut maka
daerah tersebut dinamakan Bumielok. Daerah tersebut masih dipenuhi dengan
pepohonan rimbun, ladang, sawah dan hutan. Iklim daerah tersebut sejuk karena
masih terdapat banyak pepohonan hijau. Tetapi di pusat kota, di keramaian
Bumielok ternyata kotor dan berdebu. Di daerah tersebut mayoritas penduduknya
mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, buruh dan petani. Bumielok hanya
bagian kecil dari daerah Barabas, walaupun kecil daerah tersebut memilki banyak
potensi.
Potensi yang
dimiliki Bumielok ternyata mempunyai banyak seniman dan juga musisi. Banyak
seniman dan musisi yang meramaikan dunia seni di daerah tersebut. Dengan adanya
profesi seniman juga musisi, membuat Bumielok semakin dikenal di luar daerah.
Tetapi dengan pencapaian artistik para seniman tersebut, membuat mereka sombong
dan lupa akan realitas. Kepopuleran mereka terkadang membutakan hati dan juga
menimbulkan arogansi. Mereka merasa terlalu cepat puas, sehingga yang terjadi
adalah kesombongan dalam karya dan juga sikap. Sebagian musisi dan seniman di
Bumielok banyak terjangkit penyakit sosial tersebut, mereka merasa dirinya yang
paling hebat dan senior. Sehingga iklim berkesenian di daerah tersebut kurang
harmonis dan terjadi persaingan yang tidak sehat. Yang senior merasa dirinya
paling hebat dan tidak menggangap bahkan memandang rendah para juniornya.
Kritikan dan saran kadang tidak mempan, karena kesombongan telah meyelimuti
sebagian para seniman tersebut.
Yang junior
kadang juga tidak mengerti tentang unggah-ungguh, terhadap orang yang
lebih tua dan terkadang menjengkelkan. Dalam konteks ini tidak perlu saling
menyalahkan, butuh kesadaran dari belah kedua pihak. Seniman senior dituntut
lebih bijaksana dan yang junior harus tahu diri dan menghormati. Rasanya
tulisan ini kepanjangan yah, oke sekarang kita langsung ke pokok bahasan saja.
Di lingkungan dunia seni di Bumielok terdapat seniman yang mengaku dirinya
sebagai Pelukis Suara (sebenarnya bukan mengaku, cuman pelukis tersebut selalu
bercerita tentang melukis suara). Wah, hebat ternyata kota kecil sekecil
Bumielok mempunyai seniman yang berkjuluk Pelukis Suara (hahahay).
Pelukis Suara
tersebut bermukim di kota Bumielok, dapat dikatakan pelukis tersebut bukanlah
warga asli Bumielok. Julukan Pelukis Suara, muncul akibat pelukis tersebut
selalu beretorika dan mengumbar sensasi dengan cerita yang muluk-muluk.
Sehingga teman-teman seniman dilingkungan Bumielok menyebutnya dengan julukan
Pelukis Suara. Sebenarnya Si Pelukis Suara tersebut sama dengan seniman
kebanyakan, dia melukis di kanvas dan menggunakan cat. Dimana-mana yang namanya
pelukis adalah melukis dengan objek yang berujud, kecuali Uztad Solehpati dapat
melukis yang gaib. Lukisan abstrak juga berwujud, hanya saja dalam warna dan
bentuknya lepas dari bentuk-bentuk yang ada di alam. Pelukis Suara tersebut
selalu atau kadang-kadang beretorika tentang romantisme jaman dulu, dan selalu
membuat sensasi dengan cerita-ceritanya.
Keberadaan Sang
Pelukis Suara memang telah di akui di lingkungan dunia seni di Bumielok.
Disamping jam terbang juga karena usia Si Pelukis tersebut dapat dikatakan
senior. Tetapi dengan berbekal semua pengalaman yang dimilki tersebut, dia
merasa dirinya paling senior dan hebat. Dalam pergaulan sesama seniman juga
musisi, dia selalu beretorika dan romantisme tentang kejayaan masa lalu. Pengalaman
saya, selama bergaul dengan Pelukis Suara tersebut, memang kerap bercerita
tentang kehebatannya dan juga kejayaan masa lalunya. Tetapi obrolan yang dirasa
tidak logis dan tidak masuk akal, saya dapat menyaringnya sehingga tidak
terjadi salah interpretasi. Saya sebagai orang yang sudah cukup lama
berkecimpung di dunia seni, sehingga dapat menangkis doktrin yang tidak
rasional dari Si Pelukis Suara.
Sekarang timbul
pertanyaan, kenapa Pelukis tersebut mempunyai julukan Pelukis Suara?. Julukan
tersebut senarnya datang dari seniman-seniman Bumielok, sebagai bentuk ejekan
kepada Pelukis Suara tersebut. Awal kisah(wah kaya OVJ aja ni, awal kisah),
cerita kenapa muncul julukan Pelukis Suara, dimulai dari retorika Si Pelukis
itu sendiri. Di mana pada suatu hari atau setiap bertemu lawan bicara Pelukis Suara
tersebut selalu bercerita. Cerita yang mungkin dapat dikatakan tidak masuk akal
(malah terkesan mengada-ada). Kurang lebih cerita tersebut seperti ini, Pelukis
Suara tersebut melukis dengan mata tertutup, dia melukis di atas kanvas dengan
media cat minyak. Alkisah sebelum Sang Pelukis melukis suara, dia melakukan
seperti meditasi atau bersekutu dengan Jin atau makhluk halus atau apalah
dengan mata tertutup tentunya. Setelah melakukan ritual tersebut barulah dia
beraksi dengan cat dan kanvasnya, Si Pelukis Suara mulai melukis suara-suara
yang didengarnya dan dilukiskan di atas kanvas kosong.
Setiap ada suara
yang didengarnya digoreskan di atas kanvasnya, ketika suara itu keras dan cepat
maka goresan kuasnya pun ikut cepat. Ketika suara itu melambat, tentunya
goresan kuas sang Pelukis Suara tersebut melambat. Untuk warna sendiri di
goreskan asal saja, karena mata Sang Pelukis Suara di tutup. Setelah beberapa
goresan jadilah sebuah lukisan yang tentunya tidak jelas objeknya atau abstrak.
Warna tentunya tidak sesuai dengan yang di inginkan Pelukis tersebut, kerena
saya tahu betul Pelukis tersebut tidak dapat melihat dengan mata tertutup,
kecuali pelukis gaib Uztad Solehpati. Hasil lukisan tersebut tentunya abstrak,
saya sendiri tidak melihat lukisannya hanya saja saya mendengar langsung
retorika dari Pelukis tersebut.
Setelah lukisan
suara tersebut jadi, menurut cerita dari Pelukis Suara hasil lukisan tersebut
dikonsultasikan ke “orang pinter” (kejawen katanya). Menurut hasil terawang
dari “orang pinter” tersebut bahwa ternyata lukisan tersebut membentuk gambar
Jembatan Shiratal Mustaqim( sebuah jembatan di akhirat di antara surga dan
neraka). Wah-wah hebat yah, Pelukis Suara tersebut dapat melukis Akhirat
(hehehe saya tidak kagum). Sekarang timbul pertanyaan, apakah “orang pinter”
tersebut pernah ke Akhirat dan melihat jembatan Shirat?. Tentunya belum pernah
ada orang yang pernah melihat jembatan tersebut, kalaupun sudah melihat
jembatan tersebut harus mati dulu, tetapi apakah ada orang yang mati terus
hidup kembali (emangnya zombie heheh). Saya kira “orang pinter” tersebut bukan
orang pinter, Cuma orang keminter (sok pinter kali ya hehe).
Memang seperti
apa bentuk jembatan Shirat, ada-ada saja mereka, ya itu hanya retorika yang
tidak mutu dan meyesatkan. Wah hebat di kota sekecil ada Pelukis Suara yang
melukis suara dan membentuk sebuah lukisan jembatan Shirat. Sekarang timbul
pertanyaan buat Pelukis Suara tersebut, kalaupun dia hebat dan dapat melukis
suara kenapa nama Sang Pelukis Suara tersebut tidak terkenal di Nusantara?. Kalaupun
hasil lukisannnya mengguncang dunia persenimanan, kenapa lukisan tersebut tidak
dikoleksi oleh para kolektor karena lukisan adalah lukisan fenomenal tentang
Akhirat (heheh). Satu lagi kenapa Pelukis Suara tersebut tidak mempatenkan
teknik tersebut, yaitu melukis dengan mata tertutup dan mendengarkan suara.
Terakhir kalaupun Pelukis tersebut dapat melukis suara, kenapa dia masih
menetap di kota kecil Bumielok, harusnya dengan lukisan fenomenal tersebut dia
bisa melanglang buana ke penjuru nusantara dengan mengenalkan lukis suara
tersebut.
Tidak hanya
bercerita atau beretorika yang muluk-muluk dan tidak masuk akal, karena yang
mendengar cerita tersebut juga tidak akan percaya. Mungkin yang percaya hanya
mereka yang tidak dapat menyaring mana yang benar dan mana yang salah. Yang
percaya cerita tersebut hanya anak-anak kemarin sore, dan dikira cerita tentang
lukisan suara tersebut hebat dan fenomenal. Menurut saya cerita tersebut hanya
retorika saja dan tidak mutu untuk diceritakan. Masih banyak pelukis-pelukis
yang lebih rasional dan logis, tanpa harus aneh-aneh melukis yang tidak
berujud. Sebenarnya bentuk ekspresi tersebut (melukis suara) semua orang juga
bisa melakukannya. Mudah saja, tinggal mata di tutup, cat dan kanvas dipersiapkan
sebelumnya, setelah itu barulah melukis. Melukis dengan mengikuti irama suara
yang didengarnya, untuk hasil tentunya dari setiap orang akan berbeda-beda, dan
tentunya hasilnya akan abstrak.
Sekedar untuk
meluruskan saja cerita yang tidak mutu dan menyesatkan tersebut. Sebenarnya
bentuk ekspresi “melukis suara” tersebut hanya merupakan stimulus atau pemicu untuk menggerakan sebuah
kuas di atas kanvas. Jadi ketika terdengar suara, kita tinggal menggerakan kuas
sesuai dengan irama suara tersebut, maka jadilah sebuah goresan, dan goresan
tersebut tidak dapat dikatakan sebuah suara yang ditransformasi dalam bentuk
lukisan. Suara tersebut sebagai pemicu tangan kita untuk bergerak mengikuti
irama tersebut, dan hasilnya tidak dapat disebut sebagai bentuk dari suara,
karena suara sacara unsur tidak berbentuk atau hanya dapat di dengar dan tidak
dapat dilukis hanya dapat direkam dalam bentuk audio.
Sebagai seniman
hendaknya kita tidak usah aneh-aneh dalam mengolah konsep, atau mencari sesuatu
yang berbeda tetapi pada akhirnya hanya sebuah retorika saja. Dan retorika
adalah suatu bentuk basa-basi yang tidak mutu dan tidak real, hanya angan-angan
saja dan utopia sebuah pemikiran. Dan Pelukis Suara tersebut hanya beretorika
saja dan bercerita kepada anak-anak kemarin sore, berharap cerita melukis suara
tersebut sesuatu yang fenomenal. Tetapi bagi anak-anak kemarin sore, ketika
mendengar cerita tersebut merasa cerita tersebut hebat dan mengagumkan. Tetapi
pada intinya adalah sebuah bentuk retorika dan pembodohan dalam sebuah konsep
dalam seni rupa. Suara itu tidak dapat dilukis hanya dapat direkam dalam bentuk
audio dan didengarkan dengan indra pendengar.
Dalam seni rupa
ada istilah yang disebut dengan Onomatope yaitu melukiskan suara
dengan simbol gambar yang sesuai dengan
suara yang didengar atau singkatnya suara yang dapat dilukis. Tetapi dalam
konteks ini tidak seperti yang dilakukan oleh Si Pelukis Suara tersebut.
sebagai contoh bentuk Onomatope adalah menggambarkan suara mendengkur
atau ngorok, suara mendengkur digambarkan dengan bentuk simbol gambar
yaitu gergaji yang memotong sebuah kayu. Jadi suara yang ditimbulkan gergaji
tersebut sesuai atau mirip dengan suara mendengkur seseorang ketika tidur. Jadi
memang suara dapat ditransformasi dalam bentuk gambar, tetapi melalui bentuk
simbol-simbol bukan dalam bentuk goresan atau garis. Itu adalah bentuk yang
benar dalam pengungkapan atau penggambaran dalam melukis sebuah suara, dengan
bentuk simbol dan dikenal dengan istilah Onomatope.
Kalaupun Si
Pelukis Suara itu hebat, kenapa ko masih di Bumielok saja, tidak go nasional
atau go internasional dengan lukisan suaranya. Sudah jelas dia hanya beretorika
atau mengarang cerita dan berharap orang akan kagum dengan hasil karyanya.
Tidak usah muluk-muluk dalam berkesenian hanya akan membuat bingung masyarakat
dan membuat informasi yang menyesatkan. Tidak semua orang di lingkungan
Bumielok kagum mendengar cerita lukisan suara tersebut, itu hanya sebuah bentuk
pembodohan kepada masyarakat. Sudahlah kita berkarya sesuai dengan realita
saja, di mana sebuah karya seni yang baik adalah karya seni yang dapat membuat
perubahan dan menggugah pemikiran menjadi lebih baik. Dan seniman di suatu
daerah adalah sebagai agen perubahan (agen of change), maka dari itu
dengan karyanya seniman diharapkan dapat membawa perubahan di segala bidang
melalui konsep dalam karyanya. Di mana karya seni dapat mengandung muatan dalam
bentuk metafor, kritik, saran, atau cerita yang dapat memberikan pencerahan
bagi lingkungannya.
Si Pelukis Suara
tersebut memang hanya beretorika, selalu bercerita kepada lawan bicaranya. Di
mana dalam cerita tersebut selalu mengumbar kepalsuan dan narsisme seseorang
seniman. Seniman tidak perlu banyak omong, karena yang berbicara dari seorang
pelukis itu bukanlah mulutnya, yang bicara adalah sebuah lukisannya. Jadi
ketika ada seniman yang selalu bicara
muluk-muluk, maka yang ada hanyalah “tong kosong berbunyi nyaring”. Maka
tidak perlu berbicara panjang lebar atau ngalor ngidul, yang penting tunjukan
karya anda, bukan hanya “suara-suara sumbang”. Seniman itu dilihat dari
karyanya bukan dari suaranya atau bicaranya. Maka dari itu tidak perlu banyak
omong, tunjukan saja karya nyata dan diharapkan karya seni tersebut membawa
pencerahan bagi lingkungan. Mari kita selalu bersemangat dalam membuat karya,
biarkan orang lain yang menilai karya kita. Sebagasi seorang seniman tentunya
kita harus menerima segala bentuk kritik, saran atau masukan dari pihak luar.
Tidak ada kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia, maka dari itu kita hendaknya
selalu rendah diri dan instropeksi diri.[]
Salam
Budaya, tunjukan karya nyata kalian, tetap semangART!!