Kamis, 31 Januari 2013

Seni Tidak Akan Hidup di Tengah-Tengah Orang Lapar

Seni Tidak Akan Hidup di Tengah-Tengah Orang Lapar

Seni atau barang seni merupakan sesuatu yang memiliki nilai estetika tinggi. Untuk menilai sebuah karya seni orang memerlukan keahlian tertentu. Karya seni tidak bisa dinilai dengan cara yang sembarangan, sehingga tidak sembarang pula orang yang dapat memaknai dan mengapresiasikannya secara mendalam. Secara substansial, jika dilihat dari segi ekonomi, seni atau barang seni memang tidak bisa dikatakan murah dalam arti lain ia membutuhkan nilai nominal yang tidak sedikit. Hal ini karena pada dasarnya seni berada di titik teratas dalam tingkatan kebutuhan manusia yang biasa kita sebut sebagai kebutuhan tersier. Dengan kata lain, untuk mendapatkan benda seni kebutuhan pokok/premier kita harus telah terpenuhi terlebih dahulu.
Berikut akan penulis bahas tentang benda seni yang dikategorikan dalam kelompok kebutuhan tersier. Di dalamnya juga akan sedikit menyinggung dan menilai apakah kesenian dapat tumbuh dan hidup di kota Bumiayu. Mengapa? Karena penulis cukup tergelitik dengan kenyataan yang dijumpai di lapangan, bahwa masyarakat Bumiayu masih jauh dari sadar seni. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah kondisi sosial ekonomi yang masih berada di tingkat menengah bawah. 
Penulis teringat dengan sebuah ungkapan yang kemudian dijadikan judul untuk artikel penulis kali ini, yaitu “Seni Tidak Akan Hidup di Tengah-tengah Orang Lapar”. Ungkapan tersebut menjadi relevan jika dikaitkan dengan sebuah masyarakat yang kondisi ekonominya masih berada di bawah standar atau belum tercukupi. Untuk menghidupkan seni di tengah-tengah masyarakat yang serba kekurangan akan menjadi tidak mudah karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih susah apalagi harus menyisihkannya untuk kepentingan seni. Disamping faktor biaya, terdapat faktor lain yang mendukung ke-tidakberkembangan seni di masyarakat semacam ini, yaitu kurangnya apresiasi seni. Mengapresiasikan seni adalah masalah selera atau hati. Setiap orang memiliki kecenderungan terhadap karya seni yang berbeda-beda, semua kembali pada selera masing-masing.
Benda seni tentu berbeda dengan benda industri yang dapat diproduksi secara massal. Benda industri memiliki nilai konsumtif yang tinggi, sementara benda seni memiliki nilai ekslusifitas yang pada gilirannya mempengaruhi value dari karya seni itu sendiri.
Pembahasan berikut merupakan cuplikan dari pengalaman penulis sendiri yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dalam dunia kesenian kota Bumiayu, lebih khususnya adalah seni rupa. Tidak dipungkiri, banyak sekali permasalahan yang dijumpai oleh penulis dan juga rekan-rekan satu komunitas. Contohnya, kita mulai saja dari pameran-pameran seni rupa yang telah dilaksanakan oleh Komunitas Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS) Bumiayu. Ini merupakan komunitas seni di Bumiayu yang masih eksis dan aktif mengadakan beberapa kegiatan berkesenian, salah satunya adalah pameran seni rupa.  Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai substansi seni yang sebenarnya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam membaca tulisan ini.

Sebuah Komparasi Dalam Nilai
Kenapa seni rupa menjadi eksklusif dalam artikel kali ini? Hal ini karena untuk mengapresiasikan seni rupa, kita perlu memahami seluk beluk tentang seni rupa itu sendiri. Ada beberapa alasan yang menyebabkan apresiasi seni rupa ini menjadi tidak biasa. Misalnya, untuk dapat menikmati sebuah karya seni rupa dalam bentuk lukisan, kita harus datang ke sebuah pameran lukisan atau bazar seni. Ini akan membutuhkan tenaga, waktu, pikiran dan juga biaya. Ini sangat berbeda jauh dengan kondisi seni pertunjukkan yang sudah terindustrialisasi, di mana seni itu sudah masuk ke dalam ranah produksi dan diproduksi secara massal dan komersil. Salah satu jenis seni ini adalah seni musik. Kita dapat dengan mudah mengakses dan menikmati hasil dari kesenian tersebut melalui berbagai sarana, seperti; video, Compact Disc (CD),  Video Compact Disc (VCD), Digital Versatile Disc (DVD), Cassete Tape dll. Namun, seni musik juga dapat menjadi eksklusif jika ditampilkan di concert hall atau di tempat pertunjukkan lain yang dikemas atau dikonsep dengan luar biasa.
Pada kenyataannya, sebagian besar seni musik memang sudah terindustrialisasikan dan bersifat massal; semua orang dapat menikmati segala jenis musik sesuai selera mereka tanpa harus datang ke sebuah pertunjukkan dan merogoh kocek yang besar. Terlebih, kemajuan teknologi sekarang sangat mendukung kemudahan kita dalam mengakses musik seperti halnya melalui perangkat/aplikasi portable. Kita dapat mendengarkan musik tanpa harus duduk di depan mesin pemutas musik, tetapi kita bisa menikmati musik di manapun kita berada, di situasi seperti apapun. Dengan adanya teknologi dalam industry musik, perubahan cara dalam menikmati musik menjadi semakin praktis, bahkan sekarang kita mendapati musik dalam keadaan tidak berujud atau virtual. Di abad digital ini, kita dapat memperoleh musik tanpa harus membeli dalam bentuk barang di music shop. Ini memudahkan kita untuk mendapatkan musik dengan cara mengunduh file musik dari perangkat yang tersedia. Bahkan, melalui media HP, MP3 player dan lain-lain kita dapat dengan leluasa dan bebas mendengarkan musik dalam situasi dan kondisi apapun.
Pembahasan di atas hanyalah sebuah komparasi terhadap seni jenis lain yaitu seni rupa, di mana seni musik sudah terindustrialisasi dan bersifat massal. Hal ini yang dapat menyebabkan pergeseran nilai atau value seni musik itu sendiri. Ini terjadi apabila seni musik telah merambah ke ranah budaya populer seperti yang tengah terjadi sekarang ini. Namun begitu, tidak seluruhnya menjadi populer karena masih ada jenis seni musik yang bertahan dengan konsep tradisi dan budaya adiluhung yang kuat.  Dengan bahasan di atas, setidaknya kita menjadi jelas tentang bagaimana seharusnya kita memahami seni yang bersifat eksklusif dan tergolong ke dalam kelompok kebutuhan tersier.
Sebenarnya, tidak menutup kemungkinan apa yang terjadi pada seni musik dapat pula terjadi  pada seni rupa. Ini dikarenakan adanya pembagian seni berdasarkan nilainya, yaitu seni rendah (low art) dan seni tinggi (high art), dan kategorisasi ini berlaku untuk segala jenis seni.
Dalam penciptaan sebuah karya seni tentunya didukung oleh berbagai unsur, diantaranya adalah keahlian, ketrampilan, ide, imajinasi, teknik, media dan juga bahan. Jika semua unsur tersebut ada dan mendukung dalam prosesnya, maka sebuah karya seni akan tercipta dengan sempurna. Jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka nilai estetika dalam seni tersebut akan berkurang atau bahkan menghilang. Yang akan dibicarakan di sini adalah konteks seni tinggi (high art) yang merupakan jenis seni rupa yang diciptakan oleh rekan-rekan penulis dari komunitas Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS) Bumiayu.

Perjuangan di Tengah Orang Lapar
Pengalaman penulis dalam menyajikan sebuah karya seni dalam bentuk pameran-pameran yang di selenggarakan di kota Bumiayu dan sekitarnya memang tidak selamanya berjalan mulus. Banyak kendala dan rintangan di sana-sini, di antaranya adalah kesadaran masyarakat, birokrasi, dan faktor ekonomi masyarakat. Kesadaran masyarakat Bumiayu terhadap seni masih sangat kurang dan bahkan ada yang tidak tahu. Keadaan semacam ini berlaku terhadap seni rupa, bukan pada seni bentuk lain seperti seni pertunjukkan di antaranya adalah musik (band, dangdut, campursari, rebana, dll), teater, tari, dll. Untuk seni pertunjukkan musik populer seperti dangdut dan band cukup mendapat apresiasi yang bagus di lingkungan masyarakat Bumiayu. Ini dikarenakan karena sifatnya yang praktis dan tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak bagi seorang apresiator atau penonton.
Keberadaan seni rupa di lingkungan masyarakat Bumiayu sebenarnya bukan merupakan barang baru. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa sanggar seni di periode tahun-tahun tertentu, misalnya di tahun 80-an ada sebuah sanggar seni yang dinamakan Sanggar Karya Lestari, dan di akhir tahun 90-an muncul sanggar yang lain yaitu Sanggar Kulit. Dengan begini, setidaknya masyarakat Bumiayu pernah mengetahui dan merasakan iklim seni rupa yang cukup dinamis.  Pameran atau kegiatan-kegiatan seni mungkin pernah ada di periode-periode tersebut. Tetapi, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa komunitas-komunitas seni semacam itu tidak dapat bertahan lama dalam eksistensinya. Kita tahu, dalam dunia seni terdapat konstruksi seni yang saling melengkapi satu sama lain, di mana keberadaan seniman harus didukung oleh lembaga seni, audiens, kritikus dan juga media. Jika konstruksi seni tersebut tidak ada atau mungkin ada tetapi tidak berjalan dengan efektif; maka yang terjadi adalah sebuah ketimpangan, di mana seniman akan berkarya sendiri tanpa ada apresiasi, kritisi, dan peliputan media.
Kejadian yang terjadi di lapangan yang dialami oleh penulis dan rekan-rekan komunitas cukup banyak dan bervariatif. Misalnya dalam sebuah pameran seni rupa yang pernah di adakan di Bumiayu dan Brebes. Terdapat cerita-cerita menarik untuk diceritakan kembali di sini. Dalam sebuah pameran seni rupa banyak sekali kritikan dan juga komentar dari audiens yang merupakan masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Komentar dari masyarakat bermacam-macam mulai dari pujian, penghormatan, ejekan, celaan bahkan hinaan yang diungkapkan secara langsung oleh audiens kepada kami. Kekaguman yang diutarakan oleh masyarakat Bumiayu cukup bervariasi, mulai dari sekedar memuji sebuah lukisan misalnya  “Bagus Mas, nglukisnya pakai apa mas, ko bisa bagus kaya gini?” dan “Bagus lukisannya, nggambarnya mesti lama ya, Mas “. Masyarakat Bumiayu pada umumnya sudah mengetahui konsep dari sebuah lukisan dan ketika lukisan itu bagus maka harganya akan mahal juga (dalam pandangan mereka).
Itu mungkin beberapa contoh pujian dari masyarakat Bumiayu dan sekitarnya ketika mereka merasa kagum dan suka terhadap karya seni yang dipamerkan, akan tetapi sayangnya, mereka hanya sebatas mampu mengagumi saja. Dalam artian tidak ada tindak lanjut untuk dapat memiliki atau mengoleksi sebuah karya seni atau lukisan yang dipamerkan tersebut. Hal ini tentunya kembali kepada faktor ekonomi si audiens atau penikmat seni tersebut, ketika faktor ekonomi mencukupi kemungkinan mereka akan berusaha memiliki atau mengoleksi sebuah karya seni tersebut. Cerita akan berbeda ketika audiens tersebut suka sekali atau selera terhadap satu lukisan yang dipamerkan, tetapi kondisi ekonomi audiens tersebut tidak mencukupi; maka yang terjadi adalah sebuah penawaran terhadap karya seni yang di sukai tersebut. Sebenarnya harga yang ditetapkan penulis dan rekan-rekan dalam sebuah pameran telah disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat Bumiayu. Tetapi justru yang terjadi di lapangan kadang berbeda dengan apa yang sudah direncanakan.
Dengan harga lukisan yang cukup tinggi, maka akan terjadi penawaran dari sang audiens. Terkadang penawaran lukisan tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi nilai nominal yang diinginkan, bahkan menawar lukisan sampai ke level yang paling rendah hampir sama dengan barang industri. Alasan dari masyarakat yang banyak ditemui di lapangan antara lain, mereka masih mempertimbangkan ukuran dan juga media yang digunakan dalam pembuatan karya seni itu. Misalkan untuk sebuah lukisan dengan media pensil atau media kering lainnya, lukisan tersebut akan ditawar pada level paling rendah. Alasannya, media yang digunakan hanyalah pensil, pastel, atau pensil warna, di mana media tersebut sangat populer dan mudah didapatkan. Tetapi mereka lupa untuk mempertimbangkan nilai estetika, proses pembuatan, ide, dan konsep cerita karya seni tersebut.
Kejadian di atas dipengaruhi oleh faktor ekonomi masyarakat, sehingga mereka akan berusaha menawar karya seni pada level yang paling rendah tanpa mempertimbangkan nilai artistik dan estetikanya. Hal ini dikarenakan ekonomi masyarakat Bumiayu tidak mencukupi untuk membeli benda seni, sehingga ketika akan membeli mereka tetap mempertimbangkan kebutuhan pokok lebih dulu. Sebenarnya terdapat golongan kelas atas atau elite di dalam masyarakat Bumiayu, tetapi cerita akan berbeda ketika mereka tidak begitu memperhatikan atau mencintai dunia seni. Mereka mempunyai orietasi yang berbeda dalam membelanjakan uang mereka. Walaupun dapat dikatakan berpotensi tetapi saluran pengeluaran mereka bukan ke seni, sehingga market seni di kota Bumiayu masih belum bisa terbentuk. Kalaupun ada masyarakat dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan namun mencintai seni, maka faktor ekonomi-lah yang menghalangi mereka untuk berapresiasi seni. Yang terjadi kemudian adalah mereka mengoleksi benda seni yang menurut pengamatan penulis, merupakan benda seni yang low art dengan harga yang rendah dan murah meriah juga. Mungkin sebuah lukisan dengan harga yang murah dan nyaman dilihat, cukup untuk menghiasi ruang tamu agar terlihat lebih nyeni, padahal belum tentu lukisan tersebut dikerjakan dengan teknik yang tinggi, media yang berkualitas, konsep dan ide yang menarik. Mereka hanya tau bahwa lukisan tersebut bagus dan nyaman dilihat. Itulah beberapa cerita yang ditemui di lapangan, suka duka dalam menyajikan sebuah karya seni di tengah-tengah masyarakat yang belum mengerti akan sebuah nilai estetika.
Membutuhkan perjuangan ekstra bagi penulis dan teman-teman komunitas dalam menumbuhkan minat dan wawasan seni terhadap seni, khususnya di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Dengan mengadakan kegiatan seni seperti pameran, lomba lukis, pelatihan, workshop, diskusi dll, diharapkan muncul sebuah pembelajaran bagi masyarakat Bumiayu. Perlu ditekankan di sini bahwa karya seni murni atau benda seni adalah bukan barang industri yang dapat diproduksi massal. Memang ada seni yang sudah terindustrialisasi, tetapi nilai dari benda seni tersebut juga sesuai dengan proses produksinya yang singkat. Berbeda dengan sebuah karya seni yang diciptakan secara khusus, yaitu dengan jiwa dari si senimannya. Sebagaimana yang dikatakan S. Sudjojono Bapak seni rupa modern Indonesia bahwa “Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa ketok (terlihat,kelihatan). Jadi kesenian adalah jiwa”. []

Sabtu, 26 Januari 2013

Pameran "PAGERMUDA" Di Pendopo Brebesa

PAGER MUDA
 (PAGUYUBAN PERUPA MUDA NGAPAK)

Liputan Pameran Artmosfer, pagermuda, di pendopo kabupaten Brebes, Bulan April-Mei 2012.

           Para perupa muda yang tergabung dalam Paguyuban Perupa Muda Ngapak (PAGERMUDA), akan berpameran bersama di pendopo Kabupaten Brebes. Pameran akan berlangsung dari mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mei 2012. Pameran yang diketuai oleh Alik Setiawan S.Sn., yang merupakan alumni ISI Yogyakarta. Pameran pada kali ini mengangkat tema Artmosfer, dengan maksud untuk menciptakan iklim berkesenian di kabupaten Brebes. Pameran Artmosfer diharapkan menjadi stimulan bagi para perupa muda Brebes dalam berkesenian khususnya seni rupa. Disamping itu membuktikan pada masyrakat bahwa seniman Brebes itu memang ada dan berpotensi dalam mewujudkan iklim berkesenian yang kondusif dan maju. Dengan adanya pameran ini para seniman Brebes diharapkan dapat lebih giat lagi dalam memciptakan karya seni yang berkwalitas dan dapat diapresiasi oleh masyarakat Brebes.
            Pameran Artmosfer sendiri di ikuti oleh para seniman muda seluruh Brebes, baik Brebes utara maupun selatan. Para perupa yang berpartisipasi dalam pameran kali ini antara lain, Sony Hendrawan, Alik Setiawan, Suyatno, Maskur Subaweh, Iwan K, M. Ali Sobah, Purwanto, Agus Pakujati, Bachtiar Fugara, Haris Zulfikar, Khaerunisa, dan Dwi Agung Wibowo. Selain itu menghadirkan pula karya seni lukis dari perupa senior Bumiayu, yaitu Bpk. Darsono. Dan karya-karya yang disuguhkan oleh para perupa Brebes ini cukup bervariasi, menarik, dan berbobot. Karya lukisan yang ditampung dalam pameran ini berjumlah sekitar enam puluh karya lukis dengan berbagai jenis aliran. Jenis lukisan yang dipamerkan mulai dari Naturalis, Realistik, Kaligrafi, Ekspresionis, Surealisme, Kontemporer hingga Abstrak.
           Dengan berbagai macam jenis lukisan yang akan ditampilkan, diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi masyrakat. Pameran yang rencananya akan dibuka oleh ketua Dewan Kesenian Brebes, bapak Lukman Suyanto S.H. Rangkaian acara yang akan berlangsung dalam satu minggu, antara lain workshop berupa melukis, sketsa dan melukis model. Diharapkan rangkaian acara tersebut dapat menarik para apresiator. Acara melukis bersama akan dilakukan oleh para peserta pameran. Disini dapat disaksikan bahwa kemampuan teknik dari para seniman Brebes akan terlihat dan tidak kalah dengan seniman kota lain. Terlaksananya pameran ini berkat dukungan penuh dari Dewan Kesenian Daerah kabupaten Brebes, yang menampung kreativitas dari seniman muda Brebes.
              Dengan dilaksanakan pameran ini, diharapkan iklim berkesenian di kabupaten Brebes dapat dimunculkan. Karena di Brebes memang menyimpan potensi seni yang tidak sedikit. Kedepannya dukungan dan kerjasama dari semua pihak, dapat mewujudkan Atmosfer berkesenian yang produktif, aktif, berkwalitas dan kondusif. Diharapkan kedepannya event-event berkesenian akan sering diadakan di wilayah kabupaten Brebes, khususnya seni rupa yang dapat dikatakan belum terlalu  muncul di wilayah Brebes. Nantinya seni rupa di wilayah Brebes diharapkan akan sejajar dengan seni-seni lain, seperti seni musik.  Dengan hadirnya pameran Artmosfer, akan menjadi sinyal kebangkitan seniman muda Brebes. Dan membuktikan bahwa karya-karya seni dari seniman Brebes tidak kalah dengan seniman daerah lain.
Berikut dokumentasi dari pameran Artmosfer :
Dari kiri : Sony Hendrawan, Alik Setiawan, Ketua Dewan Kesenian Brebes Bpk. Lukman Suyanto, dan Yatno. Berpose di depan karya para peserta pameran.


Para anggota Pagermuda
Berdiri : Alik Setiawan, Agus Pakujati, Bpk.Lukman Suyanto, Yatno, Bpk. Dharsono, Giar, Dwi Agung Wibowo.
Jongkok: Iwan K, M. Ali Sobah, dan Poerwanto.

Pengunjung pameran sedang mengapresiasi karya seni yang dipamerkan.



Sebagian karya yang dipamerkan dalam pameran Artmosfer.

Test Video