Sabtu, 01 Juni 2013

Tradisi Wagean di Bumiayu



 
Tradisi Wagean di Bumiayu
 
Masyarakat Bumiayu tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah “Wagean”, ya sebuah aktifitas jual beli masyarakat Bumiayu yang mengacu pada penanggalan  Jawa atau kalender Jawa. Sebagaimana kita tahu bahwa kalender Jawa merupakan perpaduan antara budaya Islam dan budaya Hindu-Budha. Dan dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang di pakai ada dua yaitu siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari dan siklus pekan Pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Sistem yang di pakai untuk hari pasaran adalah menggunakan siklus pekan Pancawara yang terdiri dari hari-hari seperti Legi, Pahing, pon, Wage dan Kliwon. Jadi Pasar Wage sebuah aktifitas pasar yang berdasarkan penanggalan Jawa, di mana masyarakat Bumiayu dan sekitarnya yang memperjualbelikan barang-barang dagangan. Sebenarnya konsep dari wagean sendiri pada awalnya adalah sebuah wadah untuk memperjualbelikan hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing. Secara historis memang mengacu pada penanggalan Jawa, dimana penanggalan Jawa selalu mempertimbangkan pada hari baik atau keberuntungan melalui Primbon.
 Tradisi masyarakat Jawa selalu berpegang pada aturan atau panduan yaitu berupa Primbon. Di mana pengertian Primbon menurut Franz Magnis Suseno, adalah buku-buku di mana dicatat saat-saat, tempat-tempat dan syarat-syarat lain yang tepat untuk segala macam usaha. Jadi dalam segala sesuatunya masyarakat Jawa selalu memepertimbangkan keseimbangan dalam kehidupan. Hal itu mencakup keseimbangan dengan alam, dunia lain dan kekuatan kosmis. Oleh karena itu manusia (masyarakat Jawa) tidak boleh bertindak gegabah seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial dan ilmiah. Termasuk dalam pemilihan tempat jual beli, pemilihan hari, pemberian nama, pekerjaan dan lainnya masyarakat Jawa mempertimbangkan kesatuan dan keserasian.
Dalam hal pemilihan tempat misalnya menjadi penting dengan alasan keselamatan. Menurut Franz Magnis Susuno, bahwa dalam rangka pandangan Dunia Jawa, manusia tentu berkepentingan agar setiap orang menempati tempatnya yang tepat. Di tingkat masyarakat, tanda yang paling jelas bahwa setiap pihak berada pada tempat kosmisnya yang tepat adalah keselarasan sosial. Dari semua pertimbangan di atas maka tidak salah pemilihan tempat jual beli seperti pasar, memerhatikan aturan yang ada seperti yang di anut masyarakat Jawa. Kenapa hari pasaran Wage berada di Bumiayu, tentunya berdasarkan pertimbangan Primbon dan kalender Jawa serta menurut pendapat para sesepuh.
Aktifitias perdagangan yang berada di ruas jalan utama Bumiayu-Salem, secara historis pada awalnya adalah pasar tempat penjualan hewan ternak dan dinamakan Pasar Hewan. Karena pasar tersebut jatuh pada hari pasaran Wage, maka masyarakat Bumiayu menyebutnya dengan sebutan Pasar Wage. Dan aktifitas warga yang datang  melakukan transaksi jual beli dan interaksi sosial di pasar wage disebut dengan istilah “Wagean”. Hewan ternak yang di perjualbelikan di Pasar Wage antara lain seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci,  jenis burung dan ikan. Pasar Hewan dalam perkembangan selanjutnya, mulai di padati pedagang-pedagang yang berjualan alat pertanian, perkebunan, perikanan, dan kebutuhan lainnya. Di mana komoditi dalam pertanian dan peternakan di dukung oleh alat dan juga kelengkapan lainnya. Maka dari itu tidak heran jika dalam perkembangannya Pasar Wage terdapat pedagang yang mensuplai kelengkapan alat pertanian dan peternakan.
Pedagang alat pertanian yang menjual barang dagangannya di sepanjang Pasar Wage.
Tetapi dengan adanya pedagang yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan pertanian sampai dengan pakaian, tidak membuat transaksi jual beli ternak kehilangan identitasnya. Pasar Wage tetap menjadi ajang jual beli ternak di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Dengan adanya pedagang yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan perlengkapan lain, Pasar Wage semakin ramai di padati oleh pembeli dari berbagai daerah. Warga masyarakat Bumiayu Wagean untuk mencari dan membeli barang-barang dengan harga yang bersaing dan murah. Di pasar Wage memang memperjualbelikan barang dengan harga yang murah, tetapi dengan kwalitas yang tidak berbeda jauh dengan yang ada di toko-toko.
Di Pasar Wage dapat ditemui barang-barang yang tidak ada di toko-toko dan tentunya harga juga lebih murah. Barang-barang seperti fashion, elektronik, barang antik, obat-obatan alternatif, buku-buku, onderdil motor, pernak-pernik asesoris, sampai dengan kuliner semua ada di Pasar Wage. Semua barang-barang tersebut ada dalam kondisi baru dan juga ada yang second, dan tentunya harga juga berbeda dengan yang ada di toko. Di samping itu di Pasar Wage kadang di temui para pedagang yang menjual hewan dari mulai kelinci, ikan, ular, kura-kura, tokek, iguana, burung hantu, monyet, landak dan hewan-hewan eksotik lain, yang tidak lazim dipelihara tersedia di Pasar Wage Bumiayu. Itulah yang membuat daya tarik dari Pasar Wage di Bumiayu selain sebagai ajang jual beli, pasar tersebut sebagai wahana hiburan warga Bumiayu dan sekitarnya.
Dengan adanya para pedagang tersebut membuat daya tarik Pasar Wage, sehingga pasar tersebut selalu ramai dipadati oleh para pembeli dari berbagai wilayah di Brebes Selatan. Dan keramaian pada hari wage tersebut membuat lalu lintas di kota Bumiayu macet selama ada aktifitas Pasar Wage. Dimana kita semua juga tahu, kota Bumiayu pada hari-hari biasa juga selalu macet karena aktifitas pasar dan juga parkir yang semrawut. Apalagi kalau bertepatan dengan adanya Pasar Wage, lalu lintas di Bumiayu dari ruas jalan utama sampai jalan-jalan kecil macet dan tersendat. Jika hari pasaran Wage bertepatan dengan hari minggu atau hari libur Nasional, Pasar Wage semakin ramai dan lalu lintas semakin macet.
Terlebih lagi jika mendekati hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, Pasar Wage semakin ramai dan dipadati pengunjung. Hal ini dikarenakan para perantau yang pulang kampung belanja kebutuhan untuk keperluan lebaran di Pasar Wage. Sehingga warga Bumiayu yang dari rantau tumplek jadi satu, ditambah lagi dengan warga dari sekitar Bumiayu seperti Paguyangan, Tonjong, Bantarkawung dan Salem. Di sisi lain masyarakat Bumiayu juga mengenal tradisi “Prepegan”, adalah waktu dalam hitungan hari yang menandakan akan berakhirnya bulan Ramadhan dan menyambut datangnya Hari Raya. Dengan adanya Prepegan warga Bumiayu mengungkapkan dalam wujud rasa syukur dan kegembiraan menyambut Hari Raya. Sehingga warga mempersipakan segala kebutuhannya menjelang hari raya, sasaran untuk membeli kebutuhan tersebut salah satunya adalah di Pasar Wage. Baik dalam perayaan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, warga  Bumiayu selalu memadati Pasar wage dan melakukan aktifitas wagean.
Aktifitas jual beli di Pasar Wage dan interaksi sosial di pasar tersebut, apabila dicermati merupakan bentuk budaya yang telah tarkait dengan masyarakat dan terbentuk melalui relasi sosial. Di dalam Pasar Wage terbentuk relasi perdagangan melalui kesadaran kolektif secara ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Bedanya dibanding pasar-pasar lain, di pasar Wage ini iklim perdagangan yang terbentuk masih bersifat tradisional. Bentukan dari tindakan-tindakan terdahulu (tradisi) yang terproses panjang oleh perjalanan waktu. Jadi pada intinya memang tradisi “Wagean” bertumpu pada tradisi Jawa baik dalam penanggalan maupun dalam interaksi jual belinya. Bentuk budaya yang dimaksud adalah berlangsung aktivitas jual-beli yang kaya nilai-nilai lokal. Seperti keramahan masyarakat dalam bertegur sapa dan ramainya suasana tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga. Sehingga yang terjadi adanya interaksi sesama warga Bumiayu dan sekitarnya yang lebih hidup ketika berada di dalamnya.
Dalam budaya Jawa memang selau mengedepankan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keramahan dan kebersamaan antar sesama. Filsafat masyarakat Jawa mengajarkan orang dalam pergaulan masyarakat bersikap ramah tamah, menghargai sesama manusia. Lebih spesifik Franz Magnis Suseno menjelaskan, bahwa masyarakat Jawa mengatur interaksi-interasksinya melalui dua prinsip, prinsip kerukunan dan hormat. Sehingga warga Bumiayu melangsungkan segala aktifitasnya berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal tersebut. Tak terkecuali dalam aktifitas jual beli di Pasar Wage, sehingga yang terjadi adalah terjalinnya pertemanan dan persaudaraan. Itulah istimewanya sebuah wagean disamping sebagai transaksi jual beli, juga sebagai ajang untuk silaturahmi dan persaudaraan. Dengan pergi ke wagean kita dapat dipertemukan dengan saudara, teman lama atau bahkan menambah teman melalui transaksi jual beli.
Aktifitas jual beli hewan ternak di Pasar Wage Bumiayu.
Itulah kelebihan dari tradisi wagean di Bumiayu, sehingga setiap hari pasaran wage senantiasa ramai dikunjungi oleh warga Brebes Selatan. Tradisi wagean juga melebur status sosial yang ada di masyarakat, yaitu bertemunya orang kaya dan orang kecil (wong cilik). Di mana kita tahu dalam tradisi Jawa terdapat dua status sosial yaitu Wong Cilik dan Kaum Priyayi. Wagean telah menjadi bagian dari Budaya yang ada di wilayah Bumiayu, dan senantiasa ramai di kunjungi dan dipadati oleh warga. Wagean telah menjadi aktifitas warga Bumiayu dan sekitarnya, yang berdasarkan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Maka dari itu Dengan tingginya animo warga masyarakat Bumiayu yang mengunjungi Pasar Wage, seharusnya perlu di imbangi dengan pembenahan sarana dan prasarana yang lebih menunjang dan lebih baik lagi. Pembenahan jalan raya, peraturan pedagang, retribusi parkir, dan sarana pasar yang ideal, merupakan beberapa upaya dalam melestarikan tradisi wagean di Bumiayu.
Pembenahan sistem yang baik dan teratur diharapkan dapat membuat pasar wage tetap bertahan tanpa meninggalkan tradisi lokal yang ada di wagean. Di sisi lain dengan adanya era globalisasi dan era teknologi, yang tak dapat dibendung  tidak membuat tradisi wagean di Bumiayu itu hilang. Maka dari itu pemerintah harus bersikap bijak dalam menyikapinya, dan tetap berpihak pada budaya kearifan lokal. Dengan menjamurnya budaya pasar modern seperti supermarket, minimarket, dan mall, pemerintah setempat harus tetap mempertimbangkan kearifan budaya lokal yang berpihak pada kerakyatan. Tradisi wagean yang ada di tengah kota Bumiayu tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai salah satu simbol ekonomi dan budaya kerakyatan. Semakin banyak perhatian pemerintah dapat mewujudkan keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan pembangunan, maka pembangunan kota akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Kita sebagai bagian dari masyarakat Jawa, ikut berperan serta dalam melestarikan kearifan budaya lokal. Maka dari itu sebagai warga masyarakat Bumiayu, mari kita lestarikan budaya “wagean” dengan mengunjungi pasar wage dengan sikap yang rukun dan ramah tamah. Dengan semua itu diharapkan tradisi “wagean” yang sudah ada sejak dulu dapat tetap lestari ditengah era globaliasasi.

Salam Budaya!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar