Senin, 28 Oktober 2013

Retorika Sang Pelukis Suara




Retorika Sang Pelukis Suara
Di suatu tempat di sebelah barat Gunung Glasmet, terdapat sebuah daerah dataran rendah yang hijau dan senantiasa subur. Dataran tersebut merupakan sebuah bagian dari sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Barabas, bagian sebelah barat gunung tersebut memiliki keelokan alam yang indah dan hijau. Atas dasar tersebut maka daerah tersebut dinamakan Bumielok. Daerah tersebut masih dipenuhi dengan pepohonan rimbun, ladang, sawah dan hutan. Iklim daerah tersebut sejuk karena masih terdapat banyak pepohonan hijau. Tetapi di pusat kota, di keramaian Bumielok ternyata kotor dan berdebu. Di daerah tersebut mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, buruh dan petani. Bumielok hanya bagian kecil dari daerah Barabas, walaupun kecil daerah tersebut memilki banyak potensi.
Potensi yang dimiliki Bumielok ternyata mempunyai banyak seniman dan juga musisi. Banyak seniman dan musisi yang meramaikan dunia seni di daerah tersebut. Dengan adanya profesi seniman juga musisi, membuat Bumielok semakin dikenal di luar daerah. Tetapi dengan pencapaian artistik para seniman tersebut, membuat mereka sombong dan lupa akan realitas. Kepopuleran mereka terkadang membutakan hati dan juga menimbulkan arogansi. Mereka merasa terlalu cepat puas, sehingga yang terjadi adalah kesombongan dalam karya dan juga sikap. Sebagian musisi dan seniman di Bumielok banyak terjangkit penyakit sosial tersebut, mereka merasa dirinya yang paling hebat dan senior. Sehingga iklim berkesenian di daerah tersebut kurang harmonis dan terjadi persaingan yang tidak sehat. Yang senior merasa dirinya paling hebat dan tidak menggangap bahkan memandang rendah para juniornya. Kritikan dan saran kadang tidak mempan, karena kesombongan telah meyelimuti sebagian para seniman tersebut.
Yang junior kadang juga tidak mengerti tentang unggah-ungguh, terhadap orang yang lebih tua dan terkadang menjengkelkan. Dalam konteks ini tidak perlu saling menyalahkan, butuh kesadaran dari belah kedua pihak. Seniman senior dituntut lebih bijaksana dan yang junior harus tahu diri dan menghormati. Rasanya tulisan ini kepanjangan yah, oke sekarang kita langsung ke pokok bahasan saja. Di lingkungan dunia seni di Bumielok terdapat seniman yang mengaku dirinya sebagai Pelukis Suara (sebenarnya bukan mengaku, cuman pelukis tersebut selalu bercerita tentang melukis suara). Wah, hebat ternyata kota kecil sekecil Bumielok mempunyai seniman yang berkjuluk Pelukis Suara (hahahay).
Pelukis Suara tersebut bermukim di kota Bumielok, dapat dikatakan pelukis tersebut bukanlah warga asli Bumielok. Julukan Pelukis Suara, muncul akibat pelukis tersebut selalu beretorika dan mengumbar sensasi dengan cerita yang muluk-muluk. Sehingga teman-teman seniman dilingkungan Bumielok menyebutnya dengan julukan Pelukis Suara. Sebenarnya Si Pelukis Suara tersebut sama dengan seniman kebanyakan, dia melukis di kanvas dan menggunakan cat. Dimana-mana yang namanya pelukis adalah melukis dengan objek yang berujud, kecuali Uztad Solehpati dapat melukis yang gaib. Lukisan abstrak juga berwujud, hanya saja dalam warna dan bentuknya lepas dari bentuk-bentuk yang ada di alam. Pelukis Suara tersebut selalu atau kadang-kadang beretorika tentang romantisme jaman dulu, dan selalu membuat sensasi dengan cerita-ceritanya.
Keberadaan Sang Pelukis Suara memang telah di akui di lingkungan dunia seni di Bumielok. Disamping jam terbang juga karena usia Si Pelukis tersebut dapat dikatakan senior. Tetapi dengan berbekal semua pengalaman yang dimilki tersebut, dia merasa dirinya paling senior dan hebat. Dalam pergaulan sesama seniman juga musisi, dia selalu beretorika dan romantisme tentang kejayaan masa lalu. Pengalaman saya, selama bergaul dengan Pelukis Suara tersebut, memang kerap bercerita tentang kehebatannya dan juga kejayaan masa lalunya. Tetapi obrolan yang dirasa tidak logis dan tidak masuk akal, saya dapat menyaringnya sehingga tidak terjadi salah interpretasi. Saya sebagai orang yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia seni, sehingga dapat menangkis doktrin yang tidak rasional dari Si Pelukis Suara.
Sekarang timbul pertanyaan, kenapa Pelukis tersebut mempunyai julukan Pelukis Suara?. Julukan tersebut senarnya datang dari seniman-seniman Bumielok, sebagai bentuk ejekan kepada Pelukis Suara tersebut. Awal kisah(wah kaya OVJ aja ni, awal kisah), cerita kenapa muncul julukan Pelukis Suara, dimulai dari retorika Si Pelukis itu sendiri. Di mana pada suatu hari atau setiap bertemu lawan bicara Pelukis Suara tersebut selalu bercerita. Cerita yang mungkin dapat dikatakan tidak masuk akal (malah terkesan mengada-ada). Kurang lebih cerita tersebut seperti ini, Pelukis Suara tersebut melukis dengan mata tertutup, dia melukis di atas kanvas dengan media cat minyak. Alkisah sebelum Sang Pelukis melukis suara, dia melakukan seperti meditasi atau bersekutu dengan Jin atau makhluk halus atau apalah dengan mata tertutup tentunya. Setelah melakukan ritual tersebut barulah dia beraksi dengan cat dan kanvasnya, Si Pelukis Suara mulai melukis suara-suara yang didengarnya dan dilukiskan di atas kanvas kosong.

Setiap ada suara yang didengarnya digoreskan di atas kanvasnya, ketika suara itu keras dan cepat maka goresan kuasnya pun ikut cepat. Ketika suara itu melambat, tentunya goresan kuas sang Pelukis Suara tersebut melambat. Untuk warna sendiri di goreskan asal saja, karena mata Sang Pelukis Suara di tutup. Setelah beberapa goresan jadilah sebuah lukisan yang tentunya tidak jelas objeknya atau abstrak. Warna tentunya tidak sesuai dengan yang di inginkan Pelukis tersebut, kerena saya tahu betul Pelukis tersebut tidak dapat melihat dengan mata tertutup, kecuali pelukis gaib Uztad Solehpati. Hasil lukisan tersebut tentunya abstrak, saya sendiri tidak melihat lukisannya hanya saja saya mendengar langsung retorika dari Pelukis tersebut.
Setelah lukisan suara tersebut jadi, menurut cerita dari Pelukis Suara hasil lukisan tersebut dikonsultasikan ke “orang pinter” (kejawen katanya). Menurut hasil terawang dari “orang pinter” tersebut bahwa ternyata lukisan tersebut membentuk gambar Jembatan Shiratal Mustaqim( sebuah jembatan di akhirat di antara surga dan neraka). Wah-wah hebat yah, Pelukis Suara tersebut dapat melukis Akhirat (hehehe saya tidak kagum). Sekarang timbul pertanyaan, apakah “orang pinter” tersebut pernah ke Akhirat dan melihat jembatan Shirat?. Tentunya belum pernah ada orang yang pernah melihat jembatan tersebut, kalaupun sudah melihat jembatan tersebut harus mati dulu, tetapi apakah ada orang yang mati terus hidup kembali (emangnya zombie heheh). Saya kira “orang pinter” tersebut bukan orang pinter, Cuma orang keminter (sok pinter kali ya hehe).
Memang seperti apa bentuk jembatan Shirat, ada-ada saja mereka, ya itu hanya retorika yang tidak mutu dan meyesatkan. Wah hebat di kota sekecil ada Pelukis Suara yang melukis suara dan membentuk sebuah lukisan jembatan Shirat. Sekarang timbul pertanyaan buat Pelukis Suara tersebut, kalaupun dia hebat dan dapat melukis suara kenapa nama Sang Pelukis Suara tersebut tidak terkenal di Nusantara?. Kalaupun hasil lukisannnya mengguncang dunia persenimanan, kenapa lukisan tersebut tidak dikoleksi oleh para kolektor karena lukisan adalah lukisan fenomenal tentang Akhirat (heheh). Satu lagi kenapa Pelukis Suara tersebut tidak mempatenkan teknik tersebut, yaitu melukis dengan mata tertutup dan mendengarkan suara. Terakhir kalaupun Pelukis tersebut dapat melukis suara, kenapa dia masih menetap di kota kecil Bumielok, harusnya dengan lukisan fenomenal tersebut dia bisa melanglang buana ke penjuru nusantara dengan mengenalkan lukis suara tersebut.
Tidak hanya bercerita atau beretorika yang muluk-muluk dan tidak masuk akal, karena yang mendengar cerita tersebut juga tidak akan percaya. Mungkin yang percaya hanya mereka yang tidak dapat menyaring mana yang benar dan mana yang salah. Yang percaya cerita tersebut hanya anak-anak kemarin sore, dan dikira cerita tentang lukisan suara tersebut hebat dan fenomenal. Menurut saya cerita tersebut hanya retorika saja dan tidak mutu untuk diceritakan. Masih banyak pelukis-pelukis yang lebih rasional dan logis, tanpa harus aneh-aneh melukis yang tidak berujud. Sebenarnya bentuk ekspresi tersebut (melukis suara) semua orang juga bisa melakukannya. Mudah saja, tinggal mata di tutup, cat dan kanvas dipersiapkan sebelumnya, setelah itu barulah melukis. Melukis dengan mengikuti irama suara yang didengarnya, untuk hasil tentunya dari setiap orang akan berbeda-beda, dan tentunya hasilnya akan abstrak.
Sekedar untuk meluruskan saja cerita yang tidak mutu dan menyesatkan tersebut. Sebenarnya bentuk ekspresi “melukis suara” tersebut hanya merupakan  stimulus atau pemicu untuk menggerakan sebuah kuas di atas kanvas. Jadi ketika terdengar suara, kita tinggal menggerakan kuas sesuai dengan irama suara tersebut, maka jadilah sebuah goresan, dan goresan tersebut tidak dapat dikatakan sebuah suara yang ditransformasi dalam bentuk lukisan. Suara tersebut sebagai pemicu tangan kita untuk bergerak mengikuti irama tersebut, dan hasilnya tidak dapat disebut sebagai bentuk dari suara, karena suara sacara unsur tidak berbentuk atau hanya dapat di dengar dan tidak dapat dilukis hanya dapat direkam dalam bentuk audio.
Sebagai seniman hendaknya kita tidak usah aneh-aneh dalam mengolah konsep, atau mencari sesuatu yang berbeda tetapi pada akhirnya hanya sebuah retorika saja. Dan retorika adalah suatu bentuk basa-basi yang tidak mutu dan tidak real, hanya angan-angan saja dan utopia sebuah pemikiran. Dan Pelukis Suara tersebut hanya beretorika saja dan bercerita kepada anak-anak kemarin sore, berharap cerita melukis suara tersebut sesuatu yang fenomenal. Tetapi bagi anak-anak kemarin sore, ketika mendengar cerita tersebut merasa cerita tersebut hebat dan mengagumkan. Tetapi pada intinya adalah sebuah bentuk retorika dan pembodohan dalam sebuah konsep dalam seni rupa. Suara itu tidak dapat dilukis hanya dapat direkam dalam bentuk audio dan didengarkan dengan indra pendengar.   
Dalam seni rupa ada istilah yang disebut dengan Onomatope yaitu melukiskan suara dengan  simbol gambar yang sesuai dengan suara yang didengar atau singkatnya suara yang dapat dilukis. Tetapi dalam konteks ini tidak seperti yang dilakukan oleh Si Pelukis Suara tersebut. sebagai contoh bentuk Onomatope adalah menggambarkan suara mendengkur atau ngorok, suara mendengkur digambarkan dengan bentuk simbol gambar yaitu gergaji yang memotong sebuah kayu. Jadi suara yang ditimbulkan gergaji tersebut sesuai atau mirip dengan suara mendengkur seseorang ketika tidur. Jadi memang suara dapat ditransformasi dalam bentuk gambar, tetapi melalui bentuk simbol-simbol bukan dalam bentuk goresan atau garis. Itu adalah bentuk yang benar dalam pengungkapan atau penggambaran dalam melukis sebuah suara, dengan bentuk simbol dan dikenal dengan istilah Onomatope.
Kalaupun Si Pelukis Suara itu hebat, kenapa ko masih di Bumielok saja, tidak go nasional atau go internasional dengan lukisan suaranya. Sudah jelas dia hanya beretorika atau mengarang cerita dan berharap orang akan kagum dengan hasil karyanya. Tidak usah muluk-muluk dalam berkesenian hanya akan membuat bingung masyarakat dan membuat informasi yang menyesatkan. Tidak semua orang di lingkungan Bumielok kagum mendengar cerita lukisan suara tersebut, itu hanya sebuah bentuk pembodohan kepada masyarakat. Sudahlah kita berkarya sesuai dengan realita saja, di mana sebuah karya seni yang baik adalah karya seni yang dapat membuat perubahan dan menggugah pemikiran menjadi lebih baik. Dan seniman di suatu daerah adalah sebagai agen perubahan (agen of change), maka dari itu dengan karyanya seniman diharapkan dapat membawa perubahan di segala bidang melalui konsep dalam karyanya. Di mana karya seni dapat mengandung muatan dalam bentuk metafor, kritik, saran, atau cerita yang dapat memberikan pencerahan bagi lingkungannya.
Si Pelukis Suara tersebut memang hanya beretorika, selalu bercerita kepada lawan bicaranya. Di mana dalam cerita tersebut selalu mengumbar kepalsuan dan narsisme seseorang seniman. Seniman tidak perlu banyak omong, karena yang berbicara dari seorang pelukis itu bukanlah mulutnya, yang bicara adalah sebuah lukisannya. Jadi ketika ada seniman yang selalu bicara  muluk-muluk, maka yang ada hanyalah “tong kosong berbunyi nyaring”. Maka tidak perlu berbicara panjang lebar atau ngalor ngidul, yang penting tunjukan karya anda, bukan hanya “suara-suara sumbang”. Seniman itu dilihat dari karyanya bukan dari suaranya atau bicaranya. Maka dari itu tidak perlu banyak omong, tunjukan saja karya nyata dan diharapkan karya seni tersebut membawa pencerahan bagi lingkungan. Mari kita selalu bersemangat dalam membuat karya, biarkan orang lain yang menilai karya kita. Sebagasi seorang seniman tentunya kita harus menerima segala bentuk kritik, saran atau masukan dari pihak luar. Tidak ada kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia, maka dari itu kita hendaknya selalu rendah diri dan instropeksi diri.[]
Salam Budaya, tunjukan karya nyata kalian, tetap semangART!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar